Indonesia kembali terpilih sebagai anggota Dewan IMO kategori C periode 2020-2021. Sementara, Badan Pemeriksa Keuangan terpilih sebagai auditor eksternal IMO periode 2020-2023.
Oleh
Mukhamad Kurniawan
·3 menit baca
[caption id="attachment_11028543" align="alignnone" width="720"] Sidang majelis ke-31 Organisasi Maritim Internasional (IMO) yang digelar di kantor pusat IMO di London, Inggris, Jumat (29/11/2019).[/caption]
Suasana kantin di Lantai 4 Kantor Pusat Organisasi Maritim Internasional (IMO) di Albert Embankment, Lambeth, London, Jumat (29/11/2019) malam atau Sabtu dini hari waktu Indonesia, begitu hangat. Kontras dengan udara dingin di luar gedung yang menusuk tulang.
Para delegasi Indonesia, antara lain dari Kementerian Perhubungan, Kementerian Luar Negeri, dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), saling mendekap, menepuk pundak, dan bersalaman. Ada senyum, tawa, dan tangis haru. Mereka lalu memanjatkan doa sebelum makan bersama.
Malam itu, lewat pemungutan suara yang melibatkan 174 negara anggota IMO, Indonesia terpilih kembali menjadi satu dari 20 negara anggota Dewan IMO Kategori C periode 2020-2021. Sementara raihan suara BPK dalam voting mengungguli auditor Inggris dan Italia dalam pemilihan auditor eksternal IMO periode 2020-2023.
Dewan Kategori C berasal dari negara-negara yang memiliki kepentingan khusus dan peran besar dalam transportasi laut dan navigasi maritim. Keberadaannya memastikan keterwakilan semua wilayah geografis utama di dunia.
Sebagai negara kepulauan, Indonesia perlu terlibat dan berperan lebih jauh dalam pergaulan sektor kemaritiman internasional. Dengan menjadi anggota dewan, Indonesia memiliki hak untuk menyuarakan kepentingan. Indonesia juga bisa berperan aktif dalam pengambilan keputusan internasional terkait keselamatan dan keamanan pelayaran serta isu-isu lain di sektor kemaritiman.
Keterpilihan kembali Indonesia di Dewan IMO serta BPK sebagai auditor eksternal juga membuka akses lebih luas untuk mempelajari praktik-praktik pengelolaan keuangan dan operasional pelayaran terbaik di dunia. Apalagi ada sederet pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan Indonesia segera, terutama terkait keamanan dan keselamatan pelayaran, pengelolaan lingkungan laut, dan kesejahteraan masyarakat pesisir.
Ada sejumlah pelajaran di masa lalu tentang pentingnya menjalin kerja sama dan menjalankan komitmen internasional. Pada Juli 2001, misalnya, Pemerintah Malaysia menolak masuknya feri Indonesia, antara lain dari Pelabuhan Batam, Tanjung Balai Karimun, dan Tanjung Pinang, karena tidak memenuhi persyaratan sertifikasi pelayaran internasional dari IMO.
Hari-hari ini, oleh karena alasan sertifikasi pula, para awak kapal penangkap ikan asal Indonesia yang bekerja di luar negeri mendapat hak dan fasilitas yang lebih rendah. Sertifikat yang mereka bawa tidak diakui secara internasional. Baru tahun ini Indonesia meratifikasi konvensi IMO tentang standar pelatihan, sertifikasi, dan dinas jaga bagi awak kapal penangkap ikan.
Pada pertengahan 2004, arus perdagangan internasional di Indonesia terancam terganggu seiring pelaksanaan sertifikat keamanan internasional bagi kapal-kapal dagang dan pelabuhan (ISPS). Sebab, ketika itu, baru lima dari 141 pelabuhan di Indonesia yang mengantongi sertifikat Kode ISPS. Ketentuan itu diberlakukan oleh IMO tanpa kompromi.
Ancaman serupa bisa terjadi tahun depan. Sebab, mulai 1 Januari 2020, negara-negara anggota IMO sepakat menerapkan aturan penggunaan bahan bakar kapal dengan kandungan sulfur maksimum 0,5 persen, jauh lebih rendah dari ketentuan saat ini yang 3,5 persen demi menekan emisi karbon dioksida. Namun, bahan bakar dengan spesifikasi itu baru tersedia di Jakarta dan Balikpapan.
Jika kapal-kapal asal Indonesia tidak patuh, mereka berpotensi dilarang sandar di pelabuhan-pelabuhan di luar negeri. Ada sejumlah ketentuan internasional lain terkait peningkatan keselamatan dan keamanan pelayaran. Akankah kita mengabaikannya? Kiranya, selain segera menyelesaikan segenap pekerjaan rumah di dalam negeri, Indonesia perlu tetap aktif dalam pergaulan internasional.