Dalam sebulan terakhir konflik satwa lindung di Provinsi Aceh kian masif. Satwa lindung itu masuk ke pemukiman warga.
Oleh
ZULKARNAINI
·4 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Dalam sebulan terakhir, konflik satwa lindung di Provinsi Aceh kian masif. Gajah sumatera memasuki kawasan permukiman di Kabupaten Aceh Timur, Bener Meriah, dan Pidie. Sementara di Aceh Utara, harimau sumatera memangsa ternak warga dan di Aceh Selatan seekor orangutan sumatera terpaksa dievakuasi ke pusat rehabilitasi karena terkena tembakan senapan angin.
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh Agus Ariyanto, Senin (2/12/2019), menuturkan, kondisi tersebut menunjukkan satwa kunci di Provinsi Aceh dalam ancaman serius. Alih fungsi lahan menyebabkan habitat satwa terganggu dan perburuan menjadi penyebab utama konflik satwa lindung di Aceh.
Empat jenis satwa kunci di Aceh adalah gajah, harimau, orangutan, dan badak. ”Harus ada langkah yang komprehensif agar satwa kunci di Aceh terselamatkan. Ini tantangan besar buat kami,” kata Agus.
Dalam sebulan terakhir konflik satwa lindung di Aceh terjadi sangat masif. Di Aceh Timur, Pidie, dan Bener Meriah, kawanan gajah liar berkeliaran ke permukiman warga. Komoditas perkebunan milik warga luluh lantak. Warga rugi secara ekonomi sebab komoditas tersebut merupakan sumber penghasilan mereka.
Agus menuturkan kerusakan habitat membuat satwa liar terpaksa mencari pakan ke luar dari hutan. Dampaknya manusia dan satwa sama-sama terancam. Khusus di Bener Meriah, selama November sebanyak 14 rumah warga rusak berat dan ringan setelah diamuk gajah liar. Sebagian warga mengungsi karena merasa keselamatan terancam.
Kepala Desa Rimba Raya, Kecamatan Pintu Rime, Bener Meriah Muklis mengatakan, konflik gajah liar di desa mereka terjadi sejak 2010 hingga kini belum tertangani permanen. ”Tanaman di kebun habis diinjak gajah, tidak terhitung lagi kerugian ekonomi. Tapi, sama siapa kami harus menuntut ganti rugi,” kata Muklis.
Harus ada langkah yang komprehensif agar satwa kunci di Aceh terselamatkan. Ini tantangan besar buat kami.
Konflik gajah paling sering terjadi di Aceh. BKSDA Aceh mencatat pada 2016 terjadi sebanyak kasus, pada 2017 meningkat menjadi 103 kasus, dan pada 2018 sebanyak 47 kasus. Konflik berupa masuknya gajah liar ke kawasan penduduk. Dampak paling besar adalah kerusakan perkebunan milik warga.
Sepanjang 2015-2018, 38 gajah di Aceh mati. Penyebabnya, antara lain, diburu, diracun, disetrum, dan dijerat. Namun, penyebab kematian dalam sebagian kasus lainnya tidak diketahui. Saat ini, populasi gajah di Aceh 593 ekor, terbagi dalam 35 kelompok yang tersebar di 15 kabupaten/kota.
Harimau pun masuk ke permukiman warga. Di Aceh Utara, dalam sepekan terakhir sebanyak lima sapi warga Desa Lubuk Pusaka, Kecamatan Langkahan dimangsa harimau. Sebagian warga yang tinggal di dekat hutan terpaksa mengungsi.
Kepala Wilayah I Lhokseumawe BKSDA Aceh Kamarudzaman mengatakan harimau itu berhasil digiring ke wilayah hutan setelah diturunkan pawang harimau dari Aceh Barat. ”Namun, ini hanya solusi jangka pendek, tidak tertutup kemungkinan harimau kembali ke kawasan warga untuk mencari makan,” kata Kamarudzaman.
BKSDA Aceh mencatat jumlah populasi harimau di Aceh saat ini sekitar 197 ekor tersebar di kawasan Leuser dan Ulu Masen. Harimau termasuk satwa yang paling diburu untuk diperjualbelikan.
Kondisi orangutan sumatera di Aceh juga mencemaskan. Pada Rabu pekan lalu, seekor orangutan jantan usia 20 tahun dievakuasi ke pusat rehabilitasi.
Orangutan malang itu ditemukan di Desa Teungoh, Kecamatan Trumon, Aceh Selatan, dalam keadaan kritis, mata dan tubuhnya terkena tembakan peluru senapan angin.
Orangutan itu diberi nama Paguh, dalam bahasa Karo artinya kuat. Sebelum Paguh, orangutan bernama Hope juga ditemukan kritis dengan 47 peluru senapan angin bersarang di tubuhnya. Paguh dan Hope adalah cermin betapa orangutan sumatera terus diburu.
Berdasarkan data Human-Orangutan Conflict Response Unit-Orangutan Information Center (HOCRU-OIC), populasi orangutan di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) Aceh dan Sumatera Utara sekitar 13.700 ekor pada 2018.
Menurut Manajer WWF-Indonesia Northern Sumatera Landscape Dede Suhendra, perlindungan terhadap orangutan lemah. Dede mengatakan, jika terus diburu dan diusir dari habitat suatu saat orangutan punah. ”Orangutan satwa penting penyebar benih alami. Jika orangutan punah, hutan akan hilang karena tidak ada penyebar benih,” kata Dede.
Kawasan Esensial
Kepala BKSDA Aceh Agus Arianto mengatakan satwa lindung kini lebih banyak berada di luar kawasan konservasi dan hutan lindung. Menurut Agus perlu solusi jangka panjang agar keberadaan satwa lindung di luar wilayah konservasi terlindungi.
Solusi yang disedang dibahas oleh para pihak adalah membentuk kawasan esensial konservasi. Penatapan kawasan itu yang berada dalam area budidaya atau area penggunaan lain.
Ada enam kawasan esensial berada di Kabupaten Aceh Utara, Aceh Timur, Bener Meriah, Aceh Jaya, Pidie, dan Subulussalam. Kawasan esensial dikelola dengan mengedepankan perlindungan satwa.