Uniknya Balkondes Saka Pitu di Borobudur
Balkondes Saka Pitu di Desa Tegal Arum memiliki bangunan joglo di bagian depan dan dipadu tujuh bangunan homestay berbentuk segitiga, yang dibangun melingkar.
Balkondes Saka Pitu di Tegal Arum, Magelang, Jawa Tengah.Masyarakat di sekitar Candi Borobudur sudah lama menikmati ketenaran nama sang candi berukuran raksasa. Namun, sebagian dari mereka justru dibelit oleh kemiskinan. Bahkan, ada desa di kecamatan itu pernah menjadi desa yang termiskin di Jawa Tengah.
Berawal dari kenyataan itu, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) berusaha membangkitkan perekonomian di setiap desa di Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, dengan membangun Balai Ekonomi Desa atau Balkondes. Pada tahap awal, Balkondes dibangun dengan konsep tempat untuk homestay dan perdagangan.
Di antara 20 Balkondes yang ada, Balkondes Saka Pitu di Desa Tegal Arum merupakan salah satu yang cukup unik. Balkondes dari hasil kucuran dana Corporate Social Responsibility (CSR) Angkasa Pura II itu memiliki bangunan joglo di bagian depan dan dipadu tujuh bangunan homestay berbentuk segitiga, yang dibangun melingkar.
Bangunan joglo yang memiliki arsitektur khas Jawa dipilih sebagai bangunan utama di depan karena memberikan rasa guyub, saling melindungi, penuh keakraban dan kehangatan, serta keterbukaan penghuninya, sudah menjadi kearifan lokal. Eksterior bangunan yang eksotik, tata letak yang unik, dan latar belakang yang berupa pegunungan yang hijau membuat Balkondes Saka Pitu sangat cocok untuk menjadi latar belakang foto yang instagramable. Apalagi jika foto dilakukan menjelang senja, cahaya matahari mulai redup dan lampu-lampu dinyalakan.
Balkondes itu sering digunakan untuk resepsi pernikahan warga desa, pertemuan sampai 40 orang, arisan di taman depan homestay, sampai foto pre-wedding. Bangunan joglo difungsikan sebagai restoran dan tempat berjualan warga sehingga dapat mendongkrak penghasilan warga desa.
“Balkondes Saka Pitu menjadi salah satu balkondes yang menarik dari sisi arsitektur. Banyak dikunjungi warga, termasuk para pelintas yang kebetulan melintas di balkondes ini. Balkondes terfavorit. Apalagi, asyik untuk selfie-selfie,” kata Direktur Manajemen CBT Nusantara, Jatmika Budi Santoso, saat merekomendasikan sejumlah balkondes kepada Kompas di Magelang, Jawa Tengah, Selasa (10/9/2019).
Menyingkap filosofi
Sejak diresmikan pada 7 September 2018, Balkondes Saka Pitu menjadi satu-satunya balkondes yang tidak mengambil nama yang persis sama dengan desanya, Tegal Arum. Balkondes ini menjadi pintu gerbang masuk wisatawan dari arah barat ke Candi Borobudur. Saat ditelisik, Balkondes Saka Pitu memiliki makna filosofis yang mendalam.
“Kami ingin berbeda. Namun, tidak sekadar berbeda. Alangkah sayangnya, ketika Candi Borobudur sudah menjadi magnet luar biasa dalam mendatangkan pengunjung, ternyata keberadaan balkondes belum dapat mengimbangi daya tariknya,” kata Vice President of Airport Engineering Development Angkasa Pura II Radityo Ari Purwoko (yang akrab disapa Oki) selaku Ketua Tim Arsitektur Balkondes Saka Pitu.
Karena itulah, kata Oki, ada “roh” arsitektur yang sengaja ingin dibangun sejak awal groundbreaking pada 7 April 2018. Dengan dana CSR mencapai Rp 5 miliar, tim arsitektur bekerja keras merancang mulai dari pendapa agung berbentuk joglo hingga homestay. Lahan bengkok milik desa Tegal Arum yang digunakan mencapai 6.500 meter persegi.
Dalam dua bulan sebelum dilakukan groundbreaking, Tim Arsitektur AP II mencari-cari maknanya. Secara lelucon, mereka menyebutnya “ilmu cocokologi”. Jauh sebelum itu, tiang penyangga memasuki balkondes ini disiapkan lima unit yang memaknai Pancasila. Namun, selang 2 jam sebelum dilakukan groundbreaking, tim merombak desain menjadi tujuh tiang.
Bahkan, dari sembilan homestay yang didesain, akhirnya diputuskan menjadi tujuh unit saja dengan titik sentral melingkar sehingga bangunan homestay terkesan saling berhadapan. Tujuh unit itulah yang disebut Saka Pitu (tiang tujuh). Memasuki pintu masuk, memang terpampang tujuh tiang bertuliskan Filosofi Saka Pitu yang terdiri dari Pitutur, Pituwas, Pituhu, Pituduh, Pitungan, Pituna, dan Pitulungan.
Oki dengan keterampilan gerakan-gerakan tangan menjelaskan, homestay pertama disebut Pitutur (wicara) berarti segala tutur kata manusia hanya digunakan untuk hal-hal baik dalam kehidupan. Selanjutnya, Pituwas atau nasihat yang harus digunakan sebagai pegangan hidup bagi diri sendiri maupun orang lain.
Pituhu (menurut) menyiratkan makna untuk selalu menuruti nasihat yang baik dalam menjalankan hak dan kewajiban sehari-hari. Ketiganya membawa pada filosofi Pituduh (petunjuk) dalam memecahkan berbagai masalah hidup manusia dan juga sebagai petunjuk menjalani kehidupan supaya tidak tersesat.
Namun, dalam menjalankan kehidupan, diingatkan adanya filosofi Pitungan (perhitungan). Artinya, tidak boleh selalu hitung-hitungan dalam menjalankan kehidupan. Keikhlasan dalam menjalankan petunjuk baik yang akan maupun sudah dijalankan, meskipun harus ada pengorbanan yang harus ditanggung diri sendiri.
Filosofi Pituna (kerugian) menyiratkan makna bahwa pengorbanan tanpa banyak perhitungan terhadap sesuatu tidak akan membawa pada kerugian, melainkan lebih membawa pada keuntungan. Berkah dari Sang Pencipta berupa kepuasan batin, hidup lebih baik, dan kebaikan-kebaikan lainnya.
“Setelah menerapkan enam filosofi itu, niscaya manusia akan memperoleh Pitulungan (pertolongan) baik melalui orang tua, saudara, teman, dan tentu saja dari Allah,” jelas Oki.
Satria Phinandita, arsitek internal AP II, menjelaskan, bentuk homestay mengambil model rumah sederhana suku Jawa yang disebut Limasan. Namun, bentuknya menyerupai segitiga sama sisi. Filosofinya, membuang air secepat mungkin. Tidak ada kelembaban maupun kebocoran.
“Sisi-sisinya ditarik ke bawah, menyiratkan filosofi membumi. Dari kejauhan terkesan bangunan segitiga,” jelas Satria.
Kearifan lokal dipertahankan, walaupun aspek kemewahannya ditempatkan pada pendapa agung berbentuk joglo. Asal-muasal arsitektur homestay yang dibuat melingkar pun mengandung makna rasa guyub, tempat keakraban dan bersatu dipertemukan di titik sentral homestay.
Material bangunan pun berasal dari kayu-kayu bekas bangunan rumah lama yang dirancang oleh workshop Joglo.id. Bahkan, pendapa pun semula ingin menggunakan pendapa bekas Nitisemito, pengusaha rokok kretek zaman Belanda di era tahun 1980-an. Sayangnya, pendapa tersebut terlanjur dijual ke orang lain karena AP II terlambat membelinya.
Akhirnya, AP II menggunakan joglo peninggalan dari seorang lurah di Desa/Kecamatan Purwosari, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, yang usia joglonya kurang lebih mencapai 250 tahun. Hal itu dapat diamati dari ukiran yang belum menggunakan pattern (tidak ditemukan perulangan pola yang persis sama baik ulir maupun ukurannya).
Keunikan lainnya, lantai pendapa ini pun menggunakan tegel merek Kunci, lampu penerangan pendapa pun menggunakan model kantor pos zaman Belanda. Sejak dibangun, tim arsitektur pun menghendaki adanya komitmen kepala desa maupun warga desa untuk menjaga suasana menjadi tetap asri. Hijau lahan pertanian, ditemani pepohonan yang menjulang makin memperkaya makna balkondes ini.