Akses Pendidikan Meningkat, Mutu Pemelajaran Masih Stagnan
Pemerintah memiliki komitmen luar biasa untuk meningkatkan akses pendidikan. Namun, ini belum berkorelasi positif dengan mutu pemelajaran. Mutu pemelajaran masih terkendala literasi.
Pemerintah memiliki komitmen luar biasa untuk meningkatkan akses pendidikan. Namun, ini belum berkorelasi positif dengan mutu pemelajaran.
JAKARTA, KOMPAS — Hasil tes Program Asesmen Siswa Internasional atau PISA 2018 menunjukkan Indonesia mengalami peningkatan dalam pemberian akses pendidikan kepada anak-anak. Namun, dari faktor mutu pemelajaran belum ada perubahan signifikan. Karena itu, kecakapan guru mengarahkan siswa mengembangkan minat dan bakat sambil memahami berbagai jalan keluar dari problema sosial harus semakin digenjot.
Tes PISA (Program for International Student Assessment) menguji kemampuan membaca, matematika dan sains. Di dalamnya mencakup materi mengenai literasi keuangan dan kompetensi universal untuk kehidupan sehari-hari. Indonesia meraih skor 371 untuk membaca, 379 untuk matematika, dan 396 di bidang sains. Nilai rata-rata global adalah 500. Dari segi peringkat, ada 76 negara yang mengikuti tes PISA dan Indonesia pada rangking ke-66. Pada 2016, Indonesia berada di peringkat ke-62 dari 70 negara.
Dari segi peringkat, ada 76 negara yang mengikuti tes PISA dan Indonesia pada rangking ke-66.
Pengumuman hasil tes PISA (Program for International Student Assessment) tahun 2018 dilakukan di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, Selasa (3/12/2019). Hadir dari Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), lembaga yang menyelenggarakan tes PISA, Kepala Pendidikan Anak Usia Dini dan Persekolahan Yuri Belfali.
"Para siswa Indonesia mengaku senang di sekolah dan di tengah komunitas masing-masing. Guru-guru juga ketika disurvei menunjukkan kepuasan dan optimisme dalam mengajar. Namun, kenapa hasil pendidikan di Indonesia belum maksimal?" kata Belfali.
Belfali menekankan hasil tes jangan sekadar dilihat dari rangking, tetapi dari substansi dan konteks. Dalam hal ini, OECD memuji Indonesia sebagai negara dengan sampel siswa berusia 15 tahun yang paling beragam. Ada 12.098 siswa dari 399 sekolah yang rentang jenjang pendidikannya dari kelas VII hingga kelas XI. Mereka berasal dari berbagai wilayah dan status ekonomi.
Dari segi persentase, Indonesia termasuk paling besar. Pada tes PISA tahun 2000 hanya 39 persen siswa usia 15 tahun yang ikut. Tahun 2018 sudah 85 persen yang ikut. Bahkan, dari semua negara, Indonesia berani mengikutsertakan siswa bukan hanya dari kota-kota besar dan sekolah elite. Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand, dan Filipina yang skor PISA di atas Indonesia ternyata sampelnya tidak beragam.
Siswa Indonesia juga dipuji karena mampu berkolaborasi dalam belajar. Berbeda dari siswa di negara-negara lain yang cenderung individualis. Hendaknya selain kemampuan kolaboratif ini juga dikembangkan semangat berkompetisi secara sehat agar ada kemauan untuk menghadapi tantangan.
Siswa Indonesia juga dipuji karena mampu berkolaborasi dalam belajar. Berbeda dari siswa di negara-negara lain yang cenderung individualis.
"Indonesia memiliki komitmen luar biasa meningkatkan akses pendidikan, tetapi mutunya masih stagnan karena guru-guru belum mampu memberi pengajaran sesuai kebutuhan siswa yang beragam," ujar Belfali.
Tergantung guru
Hasil PISA menunjukkan, 14 persen siswa Indonesia dari ekonomi miskin bisa memperoleh skor 400 di kategori membaca. Artinya, tidak masalah siswa berasal dari keluarga berekonomi lemah selama guru bisa mengolah potensinya.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kemdikbud Totok Suprayitno menjabarkan, siswa Indonesia mayoritas hanya membaca buku pelajaran, itu pun di kelas. Bahkan, satu dari tiga siswa belum mampu membaca teks yang mengandung grafik, peta, gambar, dan teks berbasis digital.
"Siswa, terlepas kaya atau pun miskin, yang diajar oleh guru dengan kepandaian menggunakan teknologi digital dalam kegiatan sehari-hari memiliki skor 40 poin di atas rata-rata," ucapnya.
Kami menemukan di mayoritas sekolah yang dimaksud \'membaca\' baru sebatas menyuruh siswa membaca teks dengan nyaring.
Siswa-siswa ini mengaku ketika belajar selalu diminta mengemukakan pendapat baik secara lisan maupun tulisan. Guru meminta mereka mencari sumber-sumber informasi akurat dari media massa terkait topik yang mereka baca di buku teks dan menganalisanya berdasar isu sosial terkini. Sementara itu, siswa yang disurvei gemar membaca komik, novel, majalah, koran, dan teks daring memiliki skor 50 poin lebih dari rata-rata.
"Kami menemukan di mayoritas sekolah yang dimaksud \'membaca\' baru sebatas menyuruh siswa membaca teks dengan nyaring. Guru juga masih keliru mengartikan merangkum dengan menyalin teks. Padahal merangkum adalah siswa menulis pemahaman mereka atas teks," kata Totok.
Mendikbud Nadiem Makarim dalam pidatonya mengakui disparitas sarana dan prasarana masih menjadi masalah sehingga pemerintah akan didorong pemerataan sumber daya manusia serta infrastruktur. ”Hasil penilaian PISA adalah masukan berharga untuk mengevaluasi dan meningkatkan kualitas pendidikan yang menjadi fokus pemerintah lima tahun ke depan. Menekankan pentingnya kompetensi guna meningkatkan kualitas untuk menghadapi tantangan abad ke-21,” katanya.
Guna mencapai tujuan tersebut, Kemdikbud akan melakukan inovasi dan terobosan yang diperlukan untuk mempercepat proses dan melakukan lompatan di bidang pendidikan. Salah satu yang sedang dikaji Kemdikbud adalah pembenahan sistem asesmen.
Asesmen perlu dibuat agar fokus pada kompetensi mendasar yang berguna secara luas. Hasil asesmen juga akan bermanfaat bagi perbaikan praktik pengajaran atau pun perumusan kebijakan pendidikan. ”Kita harus berani berubah dan berbenah. Sesuai arahan Presiden untuk menciptakan SDM unggul, kami akan menelaah upaya untuk melakukan terobosan- terobosan,” kata Nadiem.
Kita harus berani berubah dan berbenah. Sesuai arahan Presiden untuk menciptakan SDM unggul, kami akan menelaah upaya untuk melakukan terobosan- terobosan.
Dia meminta para guru membangun optimisme siswa terhadap kemampuan masing-masing. Kepercayaan diri ini akan mendorong keberanian untuk bereksplorasi dalam belajar. ”Guru jangan takut dengan teknologi. Literasi digital membuat guru bisa memiliki rasa penasaran untuk menjelajah pengetahuan baru dan mengembangkan diri,” katanya.
Ia meminta guru-guru membangun optimisme siswa terhadap kemampuan masing-masing. Artinya, guru juga menerapkan pemikiran bahwa siswa mampu sukses dengan kekhasan setiap individu. Kepercayaan diri ini akan mendorong keberanian untuk bereksplorasi dalam belajar.
"Guru juga jangan takut dengan teknologi. Literasi digital membuat guru bisa memiliki rasa penasaran untuk menjelajah pengetahuan baru dan mengembangkan diri," kata Nadiem.
Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kemdikbud Supriano mengatakan terkait pemakaian teknologi informasi dan komunikasi semakin digalakkan di ruang-ruang kelas. Ada beberapa program yang dilakukan, salah satunya adalah mengajak guru dan siswa memakai aplikasi maupu situs Rumah Belajar. Dapat juga digabung dengan berbagai situs lainnya selama sesuai dengan kaidah pendidikan.
Selain itu, dalam pelatihan Peningkatan Kompetensi Guru yang kini melibatkan 200.000 guru fokus kepada guru yang sudah cakap TIK dan pemanfaatannya untuk pemelajaran. Guru-guru ini bisa menjadi penggerak di sekolah dan komunitas masing-masing mengenai pemelajaran yang multiplatform.