Berjuang Melawan Stigma Menyandang Penyakit Kutukan
›
Berjuang Melawan Stigma...
Iklan
Berjuang Melawan Stigma Menyandang Penyakit Kutukan
Menyandang penyakit kusta berarti mengalami penderitaan ganda. Selain melawan penyakit itu sendiri, mereka juga harus menanggung beban stigma orang sekitarnya yang kadang menyebutnya penyandang penyakit kutukan.
Oleh
deonisia arlinta
·4 menit baca
Stigma yang melekat pada orang dengan kusta menjadi penghambat utama penanggulangan penyakit ini di Indonesia. Tidak hanya menghambat dalam memutus mata rantai penularan, stigma juga menghambat penderita untuk bisa mandiri.
Khasiati (45) menjawab satu per satu pertanyaan yang diajukan psikolog dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI) dalam kegiatan bakti sosial Universitas Indonesia di GOR Sitanala, Kota Tangerang, Banten, Selasa (3/12/2019). Keningnya berkerut. Napasnya sedikit terengah. “Ibu, pernah diledek karena penyakit ibu?” tanya psikolog itu.
“Pernah. Dulu tentangga-tetangga malah takut. Dibilang muka saya serem banget, merah-merah. Dibilang saya ini kena guna-guna. Saya sampai enggak mau keluar rumah, enggak mau ketemu orang,” jawabnya sambil menggenggam jemari tangannya yang sudah tidak utuh lagi. “Terus enggak langsung berobat?”
“Enggak. Sembunyi di rumah. Baru lama periksa ke dokter terus disuruh ke sini (RS Sitanala, Tangerang),” ucap Khasiati mengenang dirinya saat dua puluh tahun lalu didiagnosis mengalami kusta.
Hal serupa juga diungkapkan Sumawi (53). Karena merasa malu dan takut pada penilaian orang lain, ia terlambat mendapatkan pengobatan untuk kustanya. Akibatnya, penyakit yang diderita semakin parah sehingga menimbulkan kecacatan.
Namun, lain halnya dengan Popon (68). Sejak tanda dan gejala penyakitnya muncul, keluarga dan lingkungan sekitarnya langsung membantu mencari pengobatan ke dokter. Tidak berselang lama, ia pun dirujuk ke RS SItanala yang kali itu masih menjadi rumah sakit khusus kusta. “Sejak awal tidak ada yang takut atau mengejek. Jadi saya tidak terbebani dengan kondisi ini,” tuturnya.
Data Kementerian Kesehatan sampai November 2019 menunjukkan, kasus kusta yang terdaftar di Indonesia sebanyak 19.640 orang dengan prevalensi 0,73 per 10.000 penduduk. Jumlah ini merupakan merupakan yang tertinggi ketiga di dunia setelah India dan Brasil. Kasus baru pun masih ditemukan, yakni sebanyak 9.670 kasus dengan proporsi kasus baru anak 11,17 persen.
Kepala Subdirektorat Penyakit Tropis Menular Langsung Kementerian Kesehatan Lily Banonah Rivai mengatakan, jika masih ditemukan kasus baru pada anak, artinya masih ada sumber penularan yang belum diatasi sehingga luput dari pengobatan. Padahal, kusta itu dapat disembuhkan dengan pengobatan teratur.
Melalui pengobatan dini, kecatatan dapat dicegah. Proses penyembuhan pun dapat optimal sehingga tidak menjadi sumber penularan ke orang lain. “Kualitas hidup orang yang menderita kusta ataupun orang yang pernah menderita kusta bisa ditingkatkan sehingga bisa hidup lebih produktif dan mandiri,” katanya.
Lawan stigma
Stigma sosial yang masih tinggi untuk orang dengan kusta menjadi satu penyebab deteksi dini sulit dilakukan di Indonesia. Hal ini terutama di daerah endemis di kawasan Indonesia Timur, seperti Papua, Maluku, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara. Wilayah ini masih masuk pada daerah merah yang status eliminasi kustanya belum tercapai.
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Ari Fahrial Syam menuturkan, stigma bahwa kusta mudah menular harus dihapuskan. Penyakit yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae ini ditularkan melalui saluran pernapasan dan kontak kulit dalam waktu lama.
Kusta biasanya akan menyerang kulit, saraf tepi, permukaan saluran pernapasan, dan mata. Adapun gejala dan tandanya antara lain, bercak pada kulit yang biasanya berwarna kemerahan atau tembaga dengan tekstur kering berisik. Tanda lainnya, timbul lepuh atau luka yang tidak disertau rasa nyeri di tangan dan kaki serta kehilangan sensasi di kulit dan kelemahan pada otot.
Kondisi tersebut dapat menimbulkan kecatatan pada penderita sehingga tidak bisa beraktivitas secara maksimal. Untuk itulah, deteksi dan pengobatan dini sangat diperlukan. Sayangnya, selain stigma masyarakat, minimnya sensitivitas dokter terutama di daerah yang jarang ditermukan kasus kusta juga menjadi tantangan dalam upaya deteksi dini tersebut.
Pengabdian masyarakat
Yunia Irawati, Dokter spesialis mata Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM) yang juga menjadi Ketua Katamataku, program bakti sosial FKUI, mengatakan, pengabdian masyarakat yang dilakukan di Kampung Sitanala, Tangerang diharapkan bisa membantu masyarakat setempat bisa lebih berdaya. Rencananya, program ini akan dilakukan selama tiga tahun sampai 2021 dengan tujuan mewujudkan kemandirian sosial-ekonomi masyarakat setempat.
Kampung Sitanala berada di Kota Tangerang, Banten. Kawasan inii dikenal sebagai kawasan kusta karena selain berada di dekat RS Khusus Kusta Sitanala, banyak dari penduduknya adalah orang dengan kusta. Dari 775 penduduk, 164 diantaranya merupakan penderita kusta.
Pada program ini, pembinaan akan dilakukan secara komprehensif dan melibatkan kolaborasi antarfakultas. Pembinaan itu dilakukan antara lain oleh fakultas kedokteran, fakultas kedokter gigi, fakultas psikologi, fakultas teknik, fakultas biologi, dan fakultas vokasi.
“Masing-masing akan berperan sesuai kapasitasnya. Kami akan bantu untuk membina sampai pada pemberdayaan ekonomi masyarakat, terutama untuk memanfaatkan lahan produktif di wilayah ini seperti dengan budidaya hidroponik,” tuturnya.
Dengan berdaya, orang dengan kusta diharapkan bisa melawan stigma yang selama ini membelenggu mereka untuk hidup mandiri dan produktif.