Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta memvonis anggota Komisi VI DPR dari Fraksi Partai Golkar periode 2014-2019, Bowo Sidik Pangarso dengan pidana penjara 5 tahun dan denda Rp 250 juta, Rabu (4/12/2019)
Oleh
Sharon Patricia
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta memvonis anggota Komisi VI DPR dari Fraksi Partai Golkar periode 2014-2019, Bowo Sidik Pangarso, dengan pidana penjara selama 5 tahun dan denda Rp 250 juta, Rabu (4/12/2019). Majelis hakim juga mencabut hak politik Bowo selama 4 tahun terhitung seusai menjalani hukuman pidana.
Vonis terhadap Bowo lebih rendah daripada tuntutan oleh jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi, yaitu 7 tahun dengan denda Rp 300 juta. Bowo divonis untuk perkara tindak pidana korupsi suap bidang pelayaran antara PT Pupuk Indonesia Logistik dan PT Humpuss Transportasi Kimia dan penerimaan lain yang terkait jabatan.
Ketua Majelis Hakim, Yanto menyampaikan, vonis terhadap Bowo telah mempertimbangkan bahwa hal yang memberatkan karena Bowo terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Sementara hal meringankan, Bowo telah berlaku sopan dalam persidangan, belum pernah dihukum, bersikap kooperatif, dan mengakui bersalah serta menyesali perbuatannya.
”Terdakwa (Bowo) juga telah mengembalikan seluruh uang yang diterimanya dari hasil tindak pidana korupsi kepada KPK. Menimbang bahwa setelah mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan, hukuman yang dijatuhkan sudah pantas, layak, dan adil sesuai dengan rasa keadilan masyarakat,” kata Yanto.
Dalam dakwaan sebelumnya, Bowo didakwa menerima suap sebanyak Rp 2,6 miliar dan gratifikasi sebesar Rp 8,6 miliar. Sementara yang disetorkan sejumlah Rp 10,4 miliar. Selisih uang sebesar Rp 52,95 juta akan dikembalikan kepada Bowo.
Bowo menerima suap, baik secara langsung dari mantan General Manager Komersial PT Humpuss Transportasi Kimia (HTK), Asty Winasty dan Direktur PT HTK, Taufik Agustono maupun melalui Direktur Keuangan PT Inersia Ampak Engineers (IAE), M Indung Andriani K.
Bowo juga menerima uang sejumlah Rp 300 juta dari Direktur Utama PT Ardila Insan Sejahtera, Lamidi Jimat. Padahal, diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan kepada Bowo sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya.
Sementara untuk gratifikasi, dari 2016 hingga 2018, Bowo menerima gratifikasi berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, yaitu penerimaan-penerimaan tersebut berhubungan dengan jabatan terdakwa selaku wakil ketua sekaligus selaku anggota Komisi VI DPR dan anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR.
Fakta persidangan tidak dapat dipakai untuk memutus vonis terhadap dirinya. Sebab, fakta persidangan tidak dapat mendatangkan mantan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita dan mantan Direktur Utama PT PLN Sofyan Basir
Bowo dikenai Pasal 12 huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atas suap yang diterima. Sementara untuk gratifikasi, Bowo dikenai Pasal 12 B Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Atas putusan Majelis Hakim, Bowo menyatakan akan pikir-pikir dan menentukan keputusan apakah akan menerima atau mengajukan banding paling lambat Rabu (11/12/2019) depan. Selain itu, Yanto mengatakan, permohonan Bowo untuk menjadi justice collaborator tidak dapat dikabulkan.
Terhadap putusan ini, Bowo menyatakan fakta persidangan tidak dapat dipakai untuk memutus vonis terhadap dirinya. Sebab, fakta persidangan tidak dapat mendatangkan mantan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita dan mantan Direktur Utama PLN Sofyan Basir.
”Artinya, fakta persidangan tidak bisa mendatangkan mereka, bukti tidak ada, fakta tidak ada, kemudian saya divonis dengan tidak ada bukti dan saksi. Apakah ini keadilan apakah ini fakta persidangan?” ujarnya.