Golkar yang Selalu dalam Lingkaran Pemerintahan
Meski tidak pernah memenangi pemilihan presiden semenjak 2004, Golkar tidak pernah berada jauh dari lingkar kekuasaan. Selalu ada anggota partai mendapatkan posisi, baik di pilar eksekutif maupun legislatif.
Meski tidak pernah memenangi pemilihan presiden semenjak tahun 2004, Golkar tidak pernah berada jauh dari lingkar kekuasaan di Indonesia. Kader Golkar, nyatanya selalu ikut serta dalam berbagai posisi strategis Pemerintah Indonesia pasca-Reformasi.
Selain dari jumlah kursi di parlemen, Partai Golkar pun menunjukkan dominasinya pada percaturan politik Indonesia melalui kesuksesan kadernya menduduki pos-pos strategis pemerintahan. Bahkan, di tengah naik turunnya tren elektoral Partai Beringin ini, selalu ada anggota partai yang mendapatkan posisi, baik di pilar eksekutif maupun legislatif.
Walau capaian elektoralnya menurun pada Pemilu 2019, Partai Golkar tetap berperan penting di dalam parlemen nasional. Hal ini ditunjukkan dengan terpilihnya Bambang Susatyo, salah satu kader Golkar, sebagai Ketua MPR. Selain Bambang, beberapa kader Golkar juga menempati posisi strategis di Kabinet Indonesia Maju maupun di Parlemen. Di antaranya Azis Syamsuddin (Wakil Ketua DPR), Meutya Hafid (Ketua Komisi I), Ahmad Doli Kurnia (Komisi II), dan Dito Ganinduto (Ketua Komisi XI).
Hal ini selaras jika dilihat dari sejarah kepemimpinan kader Golkar di parlemen Indonesia setelah Reformasi. Kader Partai Golkar telah menduduki posisi strategis parlemen Indonesia, bahkan sejak susunan DPR pertama pasca-Reformasi tahun 1999. Saat itu, Akbar Tandjung berhasil menjabat sebagai Ketua DPR. Tradisi ini berlanjut di DPR periode setelahnya. Sesudah Akbar Tandjung, Agung Laksono menduduki kursi pimpinan DPR periode 2004-2009.
Kursi ketua DPR sempat lepas pada periode 2009-2014, di mana DPR periode tersebut dipimpin Marzuki Alie dari Partai Demokrat. Namun, saat itu dua kader Golkar masih mendapat jatah strategis. Kedua anggota Golkar tersebut ialah Hajriyanto Y Tohari sebagai Wakil Ketua MPR dan Priyo Budi Santoso yang menjabat sebagai Wakil Ketua DPR.
Periode selanjutnya, Golkar kembali menggaet pos strategis di parlemen. Hal ini dikukuhkan dengan terpilihnya Setya Novanto, Ketua Partai Golkar saat itu, sebagai Ketua DPR. Sayangnya, ia harus berhenti di tengah jalan dan digantikan rekan sejawatnya, Bambang Soesatyo, akibat tersandung kasus korupsi KTP-el.
Tak hanya di tingkat parlemen, kontribusi Golkar pun tampak pada pilar eksekutif negara. Walau tak pernah memenangi pilpres, kader Golkar selalu berada di dalam kabinet mana pun pasca-Reformasi. Mulai dari era Presiden Habibie hingga Presiden Joko Widodo selalu memasukkan kader ke dalam kabinet.
Pada masa pemerintahan Habibie, beberapa anggota Partai Golkar ditunjuk untuk mengisi pos-pos menteri. Beberapa di antaranya Akbar Tandjung sebagai Menteri Sekretaris Negara, Wiranto sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan, serta Muladi (Menteri Kehakiman).
Kabinet pemerintah
Hal ini juga terjadi pada Kabinet Persatuan Nasional pada era Presiden Abdurrahman Wahid. Beberapa nama dari Golkar dipilih Gus Dur untuk menjadi bagian dari kabinet. Beberapa kader Golkar yang menjabat kala itu adalah Wiranto sebagai Menko Bidang Politik dan Keamanan, Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Menko Bidang Politik dan Keamanan dan Menteri Pertambangan dan Energi, lalu Agum Gumelar (Menteri Perhubungan), serta Jusuf Kalla yang menduduki kursi Menteri Perindustrian dan Perdagangan.
Nama-nama tersebut pun kembali bertengger di Kabinet Gotong Royong di bawah kepemimpinan Megawati.
Partai Golkar semakin melejit pada Kabinet Indonesia Bersatu I. Walau pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusung Golkar, Wiranto dan Salahuddin Wahid, tidak terpilih, Jusuf Kalla, Ketua Golkar saat itu, terpilih sebagai Wakil Presiden untuk mendampingi SBY yang saat itu menjabat sebagai Ketua Partai Demokrat.
Tak ayal, beberapa nama dari Golkar pun dipercaya untuk mengisi pos menteri, seperti Aburizal Bakrie sebagai Menko Kesejahteraan Rakyat dan Menko Perekonomian, M Andi Mattalatta yang menduduki kursi Menkumham, dan Fahmi Idris yang menjabat Menteri Perindustrian dan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Walau baru bergabung ke koalisi di tengah jalan, Partai Golkar tetap mendapat jatah menteri pada era Pemerintahan Joko Widodo. Nama-nama kader Golkar, seperti Luhut Binsar Pandjaitan, Airlangga Hartanto, Idrus Marham, dan Agus Gumiwang, pun dipercaya untuk mengisi pos kementerian Menko Polhukam, Menko Kemaritiman dan Sumber Daya, Menteri ESDM, Menteri Perindustrian, dan Menteri Sosial. Posisi Golkar yang terus berada di koalisi praktis ”mengamankan jatah” kementerian untuk anggota Partai Golkar hingga lima tahun ke depan.
”Catch-All Party”
Salah satu kunci kesuksesan Partai Golkar untuk bertahan setelah runtuhnya Orde Baru bisa jadi disebabkan oleh karakter catch-all. Istilah ini digagas Otto Kirchheimer dalam melihat perubahan karakteristik partai. Secara umum, catch-all berarti menampung kelompok-kelompok sosial sebanyak mungkin. Alih-alih menyandarkan perolehan suara dari ideologi, partai dengan karakteristik ini mengandalkan program maupun keuntungan bagi para anggotanya.
Hal ini berbeda dengan beberapa partai di Indonesia yang lain, seperti PPP, PKB, dan PKS yang berafiliasi dengan golongan Muslim serta PDI-P dan Gerindra yang memiliki kedekatan tertentu dengan kelas menengah kebawah, kelompok sekuler abangan, maupun kaum petani.
Keuntungannya, Partai Golkar bisa masuk ke mana saja, tanpa mengkhawatirkan batas ideologis, kelompok, kelas, ataupun batasan sosial lain. Bagi partai yang tidak memiliki karakteristik catch-all, mungkin akan lebih sulit untuk mengembangkan basis massa mereka akibat keterikatan sosial yang terbentuk setelah mereka mengidentifikasikan diri menjadi payung bagi golongan tertentu.
Walaupun begitu, konsep catch all party juga memiliki kelemahan, yakni berkurangnya daya tarik politik di tengah politik identitas masyarakat yang menyolid. Ini terindikasi dari semakin tergerusnya suara Golkar di kantong-kantong suara Pulau Jawa ataupun luar Jawa. Wilayah Jawa Barat, misalnya, banyak direbut PKS dan Gerindra. Demikian juga wilayah Sulawesi Selatan ataupun Sumatera bagian utara, direbut partai-partai nasionalis dan partai Islam.
Dengan tren suara yang terus menurun, Partai Golkar harus bisa memecahkan permasalahan dan mengonsolidasi kekuatan, terutama di tingkat daerah. Partai Beringin pun harus bergerak cepat untuk bersiap menghadapi Pilkada 2020, mengingat turunnya performa partai ini pada pilkada sebelumnya di tahun 2015.
Saat itu, kondisi Golkar memang sangat memprihatinkan. Dari total 12 pasangan calon kepala daerah yang diusung Partai Golkar, tidak ada satu pun dari mereka yang menang. Kader Golkar hanya tertolong oleh koalisi mereka bersama dengan partai lain.
Soliditas dan keberanian
Jika dilihat lebih dalam, kegagalan ini salah satunya berasal dari perbedaan pendapat di pengurus daerah atas siapa calon yang akan diusung. Mereka yang berafiliasi dengan kubu Munas Ancol mengusung calon yang berbeda dengan mereka yang berada di kubu Munas Bali. Kisruh di level daerah ini tentu patut disayangkan, mengingat ada konsekuensi terlepasnya wilayah yang menjadi basis Partai Golkar seperti di Jawa Barat bagian utara, Sulawesi Selatan, dan Sumatera bagian utara.
Maka, walau kerap mengalami konflik internal, Golkar harus tetap bisa menjaga soliditas anggotanya. Riuh di DPP harus bisa dimitigasi agar tidak berimbas ke pergulatan di tingkat daerah. Selain itu, terkait dengan Pemilu 2024, Golkar harus bisa jeli melihat perubahan tren politik saat ini. Salah satu yang mulai disuarakan saat ini adalah keberanian Golkar untuk mulai mengajukan calon presiden atau wakil presiden Pilpres 2024.
Salah satu kunci kesuksesan Partai Golkar untuk bertahan setelah runtuhnya Orde Baru bisa jadi disebabkan oleh karakter catch-all.
Perkembangan teknologi informasi juga berpengaruh dalam menggaet simpati dan suara publik. Alih-alih partisipasi massa, yang sebelumnya digunakan sebagai cara ampuh menggaet suara, marketing di media, baik media massa dan media sosial, memiliki peran penting dalam memompa perolehan suara dalam pemilu.
(Litbang Kompas)