Anak yang tidak mendapatkan ASI eksklusif berisiko 15 kali lebih besar terkena pneumonia. Sementara jika paparan anak terhadap asap biomassa dikurangi, hal itu bisa menurunkan kejadian pneumonia hingga 50 persen.
Oleh
Deonisia Arlinta
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pneumonia masih menjadi penyebab utama kematian anak usia di bawah 5 tahun di Indonesia. Minimnya kesadaran masyarakat terhadap upaya pencegahan serta deteksi dini mengakibatkan penanganan yang dibutuhkan menjadi terlambat.
Konsultan respirasi anak Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo/Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang juga anggota Ikatan Dokter Anak Indonesia, Nastiti Kaswandani, mengatakan, kematian pada anak akibat pneumonia seharusnya bisa dicegah jika ditangani sejak dini. Untuk itu, orangtua perlu mengenali gejala dan tanda bahaya pneumonia.
”Orangtua sebaiknya sudah langsung sadar adanya faktor risiko pneumonia ketika anaknya mengalami napas cepat lebih dari 60 kali per menit, adanya tarikan dinding dada ke dalam yang sangat kuat, serta tangan dan kaki terasa dingin. Jika satu saja tanda tersebut muncul, anak harus langsung dirujuk ke rumah sakit,” tutur Nastiti di Jakarta, Rabu (4/12/2019).
Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan 2018 mencatat, prevalensi pneumonia pada anak usia di bawah 5 tahun sebesar 2,1 persen, artinya 2 dari 100 anak mengalami pneumonia. Dari laporan rutin puskesmas pada Januari sampai Agustus 2019, ada 239.561 kasus pneumonia pada anak balita.
Nastiti menambahkan, semakin muda usia anak akan semakin berisiko mengalami pneumonia. Hal ini karena kekebalan tubuh anak belum terbentuk secara sempurna. Selain itu, kondisi anak yang berisiko tinggi mengalami pneumonia adalah bayi prematur, bayi dengan kelainan jantung bocor, malnutrisi atau gizi buruk, serta tinggal di lingkungan yang padat, jorok, dan kotor.
Pneumonia merupakan kondisi peradangan pada jaringan paru yang disebabkan oleh virus, bakteri, ataupun jamur. Bakteri yang paling sering menyebabkan pneumonia adalah Streptococcus pneumoniae (pneumokokus) dan Haemophilus influenzae tipe B (Hib). Virus penyebab pneumonia tersering adalah respiratory syncytial virus (RSV).
Paparan asap
Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Aman Bhakti Pulungan menuturkan, masih tingginya kasus pneumonia pada anak menandakan upaya pencegahan dan penanggulangan penyakit ini belum optimal. Setidaknya ada empat aspek yang harus diperhatikan untuk menangani kasus ini, yakni cakupan imunisasi dasar, air susu ibu (ASI) eksklusif, status gizi, serta pajanan polusi dan asap rokok.
Anak yang tidak mendapatkan ASI eksklusif berisiko 15 kali lebih besar terkena pneumonia. Sementara jika paparan anak terhadap asap biomassa dikurangi, hal itu bisa menurunkan kejadian pneumonia hingga 50 persen.
”Semua faktor ini tidak dilakukan secara maksimal. Padahal, pneumonia jadi penyebab tertinggi kematian anak balita di Indonesia,” katanya.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat, lebih dari 800.000 anak balita meninggal akibat pneumonia. Pada 2018, terdapat 19.000 anak balita yang meninggal akibat pneumonia di Indonesia.
Tri Setyanti dari Subdirektorat Imunisasi Direktorat Surveilans dan Karantina Kementerian Kesehatan menyebutkan, saat ini vaksin pneumonia untuk mencegah penularan dari bakteri Hib sudah diberikan dalam program imunisasi dasar. Namun, vaksin untuk mencegah penularan dari pneumokokus masih dilakukan sebagai program demonstratif di dua provinsi dengan kasus tertinggi di Nusa Tenggara Barat dan Bangka Belitung.
Jumlah perkiraan kasus di kedua provinsi ini lebih dari 6 persen dari total populasi anak balita yang ada. ”Kami rencanakan pemberian vaksin ini akan menyeluruh di seluruh Indonesia pada 2024 nanti,” ujarnya.