Ayatollah Ali Sistani dan kota Najaf dikenal menolak mengakui sistem politik Velayat-e Fakih yang diterapkan di Iran oleh Pemimpin Revolusi Ayatollah Imam Khomeini.
Oleh
Musthafa Abd Rahman, dari Kairo, Mesir
·3 menit baca
KAIRO, KOMPAS -- Kota Najaf serta-merta beralih menjadi pusat perlawanan terhadap pengaruh Iran di Irak. Ini terjadi akibat unjuk rasa paling berdarah di negara itu yang melanda Najaf sejak Kamis pekan lalu hingga Selasa (3/12/2019). Sedikitnya 70 orang tewas dan ratusan orang luka-luka di Najaf dan Nasiriyah sejak Kamis.
Kota Najaf, kota suci bagi penganut Syiah, terletak 176 kilometer di selatan kota Baghdad. Gubernur Najaf Luay al-Yassiry, Jumat lalu, mengumumkan masa berkabung tiga hari atas jatuhnya korban dalam jumlah besar itu. Pengunjuk rasa di Najaf menyerang dan membakar kantor konsulat Iran di kota itu sebanyak dua kali dalam sepekan, yakni Rabu pekan lalu dan hari Minggu (1/12/2019).
Pengunjuk rasa pada Senin lalu coba menyerang kompleks kuburan Ayatollah Mohammad Baqir al-Hakim di kota Najaf. Baqir al-Hakim, yang selama hidupnya dikenal loyalis Iran, adalah pendiri dan pemimpin Lembaga Tinggi Revolusi Islam di Irak (SCIRI). Ia mengasingkan diri ke Iran selama lebih dari 20 tahun, kemudian kembali ke Irak pasca-ambruknya rezim Saddam Hussein tahun 2003. Ia meninggal pada 29 Agustus 2003 di kota Najaf.
Para ulama, tokoh masyarakat, dan pimpinan polisi kota Najaf, Senin malam, menggelar pertemuan khusus guna meredam unjuk rasa di kota itu. Dalam pertemuan tersebut disepakati, milisi Saraya Salam ditempatkan di posisi antara tempat konsentrasi pengunjuk rasa dan kompleks kuburan Baqir al-Hakim agar tidak terjadi upaya penyerangan lagi terhadap kompleks kuburan tersebut.
Delegasi komisi keamanan dan luar negeri parlemen Irak diberitakan, Selasa kemarin, juga mengunjungi Najaf dalam upaya menenangkan kota tersebut. Bagi elite politik Irak, ketenangan kota Najaf sangat penting untuk menjaga hubungan baik dengan Iran, sekaligus untuk menunjukkan kemampuan pemerintah menciptakan keamanan di tempat strategis tersebut.
Kota Najaf selama ini dikenal memiliki nilai strategis terpenting kedua bagi kaum Syiah di Irak setelah Baghdad.
Kota Najaf selama ini dikenal memiliki nilai strategis terpenting kedua bagi kaum Syiah di Irak setelah Baghdad. Di kota Najaf, diyakini terdapat kuburan Imam Ali Ibn Abi Talib, saudara sepupu dan menantu Nabi Muhammad SAW. Imam Ali Ibn Abi Talib merupakan imam besar bagi kaum Syiah di seluruh dunia.
Kota Najaf juga menjadi tempat kediaman Ayatollah Ali al-Sistani (89), pemimpin spiritual kaum Syiah di Irak yang menjadi rujukan mereka di semua sektor kehidupan, seperti keagamaan, ekonomi, politik, sosial, dan budaya.
Salah satu pemimpin politik paling berpengaruh di Irak saat ini, yaitu pemimpin aliansi Saairun yang memiliki kursi terbanyak di parlemen saat ini (54 kursi), Moqtada al-Sadr, juga lebih sering banyak berada di Najaf daripada di Baghdad. Sistani ataupun Sadr dikenal memiliki sikap independen dan jauh dari pengaruh Iran.
Bahkan, Sistani selama ini juga disebut berjuang mempertahankan supremasi posisi kota Najaf di mata kaum Syiah di seluruh dunia. Posisi supremasi itu coba diambil alih oleh kota Qom di Iran. Pasca revolusi Iran 1979 yang menaikkan citra kota Qom di Iran, timbul persaingan antara Qom dan Najaf.
Sistani dan kota Najaf dikenal menolak mengakui sistem politik Velayat-e Fakih yang diterapkan di Iran oleh Pemimpin Revolusi Ayatollah Imam Khomeini.