Lembaga Bantuan Hukum Pers menyusun draf protokol keamanan jurnalis dalam meliput isu-isu kejahatan lingkungan. Menurut rencana, protokol keamanan jurnalis akan diluncurkan pada Januari 2020.
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Lembaga Bantuan Hukum Pers menyusun draf protokol keamanan jurnalis dalam meliput isu-isu kejahatan lingkungan. Langkah ini dilakukan menyikapi minimnya mekanisme perlindungan keamanan terhadap jurnalis saat meliput isu-isu lingkungan.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Ade Wahyuddin mengungkapkan, hingga kini kesadaran para pemilik atau pimpinan media di Indonesia dalam membuat prosedur standar operasi (SOP) atau protokol keamanan masih sangat rendah. Padahal, SOP atau protokol keamanan sangat membantu jurnalis untuk memastikan jaminan keselamatan mereka saat bertugas, khususnya dalam peliputan isu-isu kejahatan lingkungan.
”Dengan adanya protokol keamanan, jurnalis dapat mengelola konsekuensi yang mungkin akan mereka hadapi,” ucapnya, Rabu (4/12/2019), di Jakarta.
Kesadaran para pemilik atau pimpinan media di Indonesia dalam membuat prosedur standar operasi atau protokol keamanan masih sangat rendah.
Karena itulah, sejak akhir November 2019, LBH Pers dibantu peneliti menyusun draf awal protokol keamanan dengan cara meminta masukan dari para jurnalis lingkungan pada 29 November 2019 dalam sebuah diskusi grup terfokus. Diskusi pertama ini berhasil mengakomodasi beberapa masukan terkait tanggung jawab institusi media terhadap jurnalis yang mengalami ancaman atau kriminalisasi saat liputan.
”Hari (Rabu) ini kami menggelar diskusi grup terfokus lanjutan untuk meninjau kembali hasil perbaikan dan usulan pada draf awal protokol keamanan yang sudah ada,” kata Ade.
Dalam proses penyusunan draf protokol keamanan jurnalis, LBH Pers mengundang juga para praktisi lembaga swadaya masyarakat lingkungan. Mereka diminta untuk memaparkan kerja-kerja advokasi yang pernah dilakukan dalam isu-isu lingkungan.
Media kurang peduli
Anggota Tim Penyusun Protokol Keamanan Jurnalis sekaligus Koordinator International Federation Journalists (IFJ) Asia Tenggara, Ratna Arianti, mengatakan, selama ini kebanyakan media cenderung lebih banyak fokus ke peliputan, tetapi tidak berpikir panjang menyiapkan langkah mitigasi jika jurnalis mereka mengalami ancaman saat peliputan. ”Jarang sekali newsroom yang punya rencana menyeluruh,” katanya.
Selama ini kebanyakan media cenderung lebih banyak fokus ke peliputan, tetapi tidak berpikir panjang menyiapkan langkah mitigasi jika jurnalis mereka mengalami ancaman saat peliputan.
Dari sejumlah diskusi yang digelar terungkap kebutuhan-kebutuhan jurnalis dan media untuk memiliki semacam panduan ketika mereka meliput isu lingkungan. Dengan adanya panduan, jurnalis dan media bisa melakukan penilaian risiko sebelum melakukan investigasi lingkungan, termasuk mempersiapkan kemungkinan adanya rumah aman atau safe house.
Dalam draf protokol keamanan jurnalis, tim penyusun juga memasukkan unsur-unsur lain, termasuk antisipasi jika para jurnalis dan media menghadapi ancaman hukum, sengketa pers, dan ancaman keamanan digital. Menurut rencana, protokol keamanan jurnalis akan diluncurkan pada Januari 2020 untuk selanjutnya disosialisasikan ke media-media dan asosiasi-asosiasi jurnalis.
”Kami akan menghadap ke Dewan Pers untuk mendiskusikan dan meminta masukan terkait draf protokol keamanan jurnalis ini. Kami juga akan berdiskusi soal penyediaan rumah aman (safe house) yang selama ini dalam kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis dan narasumber pemberitaan belum jelas mekanismenya,” kata Ade.
Jurnalis terbunuh
Berdasarkan catatan UNESCO Observatory of Killed Journalists, di seluruh dunia, 1.360 jurnalis tewas terbunuh sejak 2 Juni 1993 hingga 10 Oktober 2019. Artinya, dalam 26 tahun belakangan rata-rata 52 jurnalis dibunuh setiap tahun atau sekitar empat jurnalis dibunuh setiap bulan di seluruh dunia.
Dalam 26 tahun belakangan, rata-rata 52 jurnalis dibunuh setiap tahun atau sekitar empat jurnalis dibunuh setiap bulan di seluruh dunia.
Saat UNESCO meluncurkan Observatory of Killed Journalists pada Hari Internasional Anti-impunitas terhadap Kasus Kekerasan pada Jurnalis, 2 November 2018, jumlah jurnalis yang tewas terbunuh di dunia mencapai 1.293 orang. Dengan demikian, setahun terakhir ada 67 jurnalis tewas terbunuh.
Hal ini memberikan gambaran betapa tragisnya risiko yang dihadapi para jurnalis di dunia dalam menjalankan tugas jurnalistik. Hal yang memprihatinkan lagi, data UNESCO 2018 menunjukkan, dalam 89 persen kasus pembunuhan jurnalis, para pelaku tidak dihukum.
Catatan Committee to Protect Journalists (CPJ) lebih tinggi lagi, rata-rata 30 jurnalis di dunia tewas terbunuh setiap tahun. Dari setiap 10 kasus pembunuhan itu, rata-rata sembilan kasus berakhir tanpa ada hukuman bagi pelakunya.
Koordinator Komite Keselamatan Jurnalis Sasmito Madrim mengatakan, di Indonesia pada 2019 setidaknya ada 42 kasus kekerasan terhadap jurnalis saat meliput sejumlah peristiwa, terutama unjuk rasa. Pelakunya mulai dari individu, organisasi sipil, hingga oknum aparat kepolisian.
”Namun, hampir semua kasus kekerasan yang dialami jurnalis tidak diproses hukum,” katanya.