Untuk mempercepat proses, Menteri Kesehatan Dr Terawan menyatakan bahwa izin edar obat dan obat tradisional yang selama ini berada di Badan POM akan dikembalikan ke Kementerian Kesehatan.
Oleh
Sampurno
·4 menit baca
Menteri Kesehatan Dr Terawan baru-baru ini menyatakan bahwa izin edar obat dan obat tradisional yang selama ini berada di Badan POM akan dikembalikan ke Kementerian Kesehatan. Ide dasar Dr Terawan untuk mempercepat proses izin edar obat perlu diapresiasi karena memang dirasakan masih birokratif dengan durasi yang lama.
Sebenarnya akhir-akhir ini telah ada perubahan terkait relaksasi ketentuan untuk mempercepat proses registrasi obat, tetapi implementasinya masih dirasakan belum bermakna. Perbaikan regulasi belum berdampak signifikan pada kecepatan proses registrasi obat. Lambannya proses registrasi obat ini merugikan semua pihak, baik bagi industri farmasi maupun masyarakat luas. Merugikan industri karena mereka kehilangan peluang dalam memasarkan produknya. Masyarakat dirugikan karena mereka tak punya akses cepat untuk memperoleh obat-obat baru yang sangat dibutuhkannya.
Namun, upaya percepatan izin edar obat harus tetap dalam koridor kesatuan sistem pengawasan, tak boleh terfragmentasi antara pre dan post- market control. Dalam kaitan ini, Peraturan Presiden No/2017 tentang Badan POM Pasal 3 (1) menyatakan, kewenangan pre dan post-market diberikan kepada Badan POM. Demikian juga Pasal 4 huruf a perpres itu menyebutkan: memberikan kewenangan kepada Badan POM untuk menerbitkan izin edar.
Kata kunci utama dalam masalah registrasi obat ini yang mesti dilakukan adalah memangkas birokrasi yang berbelit yang menimbulkan kerugian dan inefisiensi.
Pengawasan ”pre-market”
Sistem pengawasan obat terdiri dari dua subsistem, yaitu pengawasan pre-market dan post-market. Pengawasan pre dilakukan melalui evaluasi terhadap keamanan, khasiat, dan kualitas obat. Evaluasi ini untuk memastikan bahwa obat sebelum diizinkan untuk diproduksi dan diedarkan di masyarakat harus benar-benar dapat dipertanggungjawabkan soal keamanan, khasiat, dan mutunya agar tak berisiko pada kesehatan konsumennya.
Di sinilah pangkal permasalahan di Indonesia. Implementasi sistem evaluasi obat menjadi ruwet dan berbelit, memakan waktu lama sampai dua tahun. Padahal, obat itu sudah cukup lama beredar di luar negeri, terutama di negara-negara maju yang sistem evaluasinya diakui WHO.
Lembaga otoritas pengawasan obat Singapura, HSA (Health Sciences Authority), akan merilis obat-obat yang telah disetujui oleh EMA (European Medicine Agency) dan US FDA (Food and Drug Administration) pada bulan berikutnya. Artinya, Singapura hanya berselang waktu satu bulan dengan negara maju dalam merilis obat-obat baru. Indonesia harus menunggu 1-2 tahun, yang karena itu masyarakat kita harus membeli obat itu ke Singapura.
Hasil evaluasi obat yang diregistrasi di negara-negara maju yang dipublikasi di EMA dan EPAR (European Public Assesment Report) dapat digunakan sebagai referensi untuk melakukan evaluasi obat yang akan beredar di negeri ini. Selain itu, Indonesia seharusnya memiliki hubungan langsung G-to-G dengan beberapa negara, seperti halnya Singapura memiliki nota kesepahaman (MoU) dengan US FDA, EMA, Australian TGA dan lain-lain. Indonesia mesti membangun jaringan lebih luas dengan banyak negara untuk mempercepat sistem evaluasi obat di Indonesia.
Registrasi obat produksi nasional
Pertumbuhan industri farmasi dalam negeri saat ini tercatat terendah selama 20 tahun terakhir. Meski demikian, kontribusi industri farmasi domestik/nasional masih sekitar 75 persen. Menghadapi situasi yang sangat sulit ini, pemerintah sudah seharusnya memberi kemudahan, termasuk dalam registrasi obat dengan menyederhanakan mata rantai sistem evaluasinya.
Untuk perusahaan manufaktur farmasi yang telah memiliki sertifikat CPOB (Cara-cara Pembuatan Obat yang Baik) dan bahan baku serta bahan-bahan yang lain telah dikenal berkualitas internasional yang baik mestinya registrasinya dapat dilakukan dengan cepat. Apalagi, registrasi obat generik oleh perusahaan farmasi yang telah memiliki izin edar branded generic mestinya bisa disetujui dalam waktu lima hari kerja.
Pemerintah sudah seharusnya memberi kemudahan, termasuk dalam registrasi obat dengan menyederhanakan mata rantai sistem evaluasinya.
Dalam konteks percepatan pemberian izin edar obat yang menjadi lebih penting adalah pengawasan post-market-nya. Audit implementasi CPOB dalam semua proses produksi obat adalah kunci penting untuk menjamin kualitas dan keamanan obat-obat yang beredar. Dalam audit komprehensif yang dilakukan Badan POM itu akan dapat ditelusuri secara saksama apakah proses yang ada dalam dokumen registrasi dilaksanakan secara konsisten atau tidak. Produsen akan ketahuan oleh auditor Badan POM jika melakukan penyimpangan yang dapat merugikan publik secara luas.
Berdasar uraian di atas, dapat disimpulkan registrasi obat sesungguhnya dapat dipercepat, baik untuk obat inovasi baru maupun obat kopi (me too product). Perbaikan dalam registrasi obat mesti memerhatikan dua hal. Pertama, konsistensi dan kepastian penerapan ketentuan yang berlaku: tidak ada lagi ”kebijakan operasional”. Kedua, kepastian dari janji time line yang ada dalam peraturan. Kepastian time line ini umumnya tidak dapat dipenuhi dan karena itu proses registrasi obat dirasakan lamban oleh kalangan industri farmasi.
Untuk kosmetika di Indonesia sudah ada perbaikan dengan sistem notifkasi online, tetapi durasinya masih relatif lama, sekitar 2-3 bulan. Untuk produk kosmetika yang sama di Thailand, jika mendaftar di pagi hari, maka pada sore hari telah disetujui notifikasi untuk beredar di Thailand. Prosesnya sederhana dan sangat cepat, kurang dari 12 jam, tetapi tetap dapat melindungi masyarakat. Dalam hal notifikasi online kosmetika, kita juga dapat menerapkan percepatan seperti di Thailand itu.
SampurnoApoteker; Mantan Dirjen POM 1998-2001 dan Kepala Badan POM RI 2001-2006