Perjuangan Mahasiswa Difabel untuk Mengikuti Perkuliahan
Buat mahasiswa difabel, kuliah bukanlah hal yang mudah terutama di kampus yang falitasnya belum ramah. Mahasiswa berkursi roda, misalnya, mesti mengandalkan teman-temannya yang mau membantu menggotong ke ruang kuliah
Buat mahasiswa difabel, kuliah bukanlah hal yang mudah. Perlu perjuangan ekstra untuk mengatasi rasa minder atau menyiasati fasilitas kampus yang belum ramah pada mereka. Yuk kita ikut perjuangan beberapa kawan difabel di beberapa kampus.
Perjuangan Fahmi Husaen (22) mengikuti kuliah di Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada berakhir sudah. Ia lulus dari Departemen Teknik Elektro dan Informatika dan telah diwisuda 20 November lalu.
Rabu (27/11/2019). ia datang ke kampus untuk sebuah urusan. Dari situ, kami tahu perjuangannya untuk kuliah jauh lebih berat daripada mahasiswa lain pada umumnya. Anak sulung dari empat bersaudara pasangan Murtandlo dan Anik Marwati itu, menceritakan, tiap hari ia diantar dengan mobil ke kampusnya. Saat mobil tiba di tempat parkir, teman-teman kuliahnya yang sangat baik siap membantu menggendong Fahmi turun dari mobil dan mendudukkannya di atas kursi roda. Mereka kemudian mendorong kursi roda itu melintasi jalan di Departemen Teknik Elektro dan Informatika, Sekolah Vokasi UGM.
Ketika kuliah diadakan di lantai dua dan tiga, teman-teman kuliah Fahmi siap menggotongnya dari lantas satu. Mereka mesti melewati 32 anak tangga untuk satu lantai. “Gedung di Sekolah Vokasi memang belum punya fasilitas memadai untuk pengguna kursi roda. Tidak ada lift untuk ke lantai atas. Katanya karena gedung ini gedung tua dan cagar budaya, sulit untuk diubah,” ujar Fahmi, Rabu (27/11/2019).
Fasilitas kampus yang belum ramah pada difabel hanya satu halangan saja. Fahmi juga harus bergulat mengatasi rasa minder yang menghampirinya sejak ia terkena penyakit yang membuat otot kakinya melemah saat lulus SD. “Aku sempat enggak mau sekolah. Terus ayah dan ibu mendorong aku untuk tetap melakukan hal yang aku suka, yakni mendesain mobil,” cerita Fahmi.
Untuk urusan mendesain, Fahmi tidak ada bedanya dengan orang-orang lain fisiknya normal. Bahkan, ia mencatat prestasi melebihi membanggakan antara lain mendapat medali perak dalam ajang Seoul International Invention Fair 2018. Karyanya sepatu yang bisa membuat kaum difabel menjalani terapi independen yang dikontrol lewat telepon pintar. Bersama dua mahasiswa UGM lainnya, ia juga memenangi dua medali emas dalam Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (Pimnas) 2018.
"Dari situlah saya makin percaya diri dan bertekad untuk kuliah. Bahkan, saya ingin bisa mendesain mobil listrik,” ujar Fahmi yang baru saja terpilih menjadi Pemuda Difabel Beprestasi 2019.
Layanan khusus
Perjuangan ekstra juga mesti dilakukan Nisa, Irbah, dan Aulia. Nisa, mahasiswa D3 Program Studi Tata Rias dan Kecantikan Universitas Negeri Yogyakarta mengaku hampir menyerah untuk kuliah. Mahasiswa yang menyandang bisu dan tuli itu mengaku kesulitan kesulitan mengikuti kelas teori.
"Beruntung teman-teman baik dan membantu aku dengan mencatatkan bahan kuliah dosen. Kalau dosen kuliahnya pakai slide, sangat membantu,” ujar Nisa yang mengandalkan bahasa isyarat untuk berkomunikasi.
Ia pun pernah dihinggapi rasa minder lantaran mesti berkomunikasi dengan bahasa isyarat. Namun, akhirnya ia menemukan cara komunikasi yang lebih mudah yakni berkomunikasi dengan cara tertulis. Beberapa temannya kemudian terdorong untuk belajar bahasa isyarat, dan itu membantu Nisa.
“Sebenarnya sangat membantu jika ada penerjemah bahasa isyarat. Ada relawan, tapi tidak bisa sepenuhnya diandalkan. Saya harus bisa mandiri,” ujar dara bernama asli Annisa Restu Dewi yang memiliki IPK sekitar 3,2.
Irbah Fauhan, mahasiswi Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Jakarta, juga menempuh jalan yang tak mudah untuk mengikuti kuliah. Penyandang tunarungu ini mengatakan, ada dosen yang paham paham dengan kondisinya, ada yang tidak. “Ada dosen yang tahu saya memiliki kebutuhan khusus, tapi dosen itu tidak mau memberikan PPT yang digunakan untuk menjelaskan di kelas supaya saya bisa belajar mandiri,” ujar Irbah seperti diterjemahkan Ade Nur Laila yang mendampingi Irbah.
Mahasiswa UNJ lainnya, Aulia Bening Safira yang menyandang tunadaksa setiap kuliah mesti meniti tangga kampus untuk mencapai ruang kuliahnya di lantai tiga. Ia bersusah payang menggunakan tongkat kruk yang menopang salah satu kakinya yang tidak sempurna. “Gedung FIP masih pakai tangga, jadi pergerakan saya kurang,” ungkap Aulia.
Jika kuliah digelar di gendung baru yang dilengkapi lift, Aulia tidak perlu bersusah payah seperti itu. Namun, faktanya hampir semua perkuliahan di program studinya digelar di gedung lama yang tidak dilengkapi lift.
Kampus ramah
Sebenarnya, pemerintah Kemenristekdikti pada 2017 telah mengeluarkan Permenristekdikti Nomor 46 tentang Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus. Aturan itu menjamin hak-hak penyandang disabilitas untuk mengakses pendidikan di perguruan tinggi.
“Kami berharap perguruan tinggi lebih memperhatikan dan peka terhadap keberadaan dan kebutuhan mahasiswa penyandang disabilitas. Tentunya supaya mahasiswa disabilitas dapat mengikuti proses pembelajaran dengan baik dan mampu mencapai prestasi terbaik mereka,” kata Ismunandar, Direktur Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan.
Beberapa kampus sudah mulai mengupayakan lingkungan kampus yang ramah pada mahasiswa difabel. Universitas Indonesia, misalnya, memiliki unit pelayanan untuk mahasiswa disabilitas agar mereka bisa menempuh pendidikan secara optimal. Demikian pula dengan Universitas Brawijaya, Malang yang telah telah mendirikan Pusat Studi dan Layanan Disabilitas (PSLD) pada 2012.
Lembaga itu memberikan layanan pendampingan, tutorial, digitalisasi buku, pelatihan bahasa isyarat, konseling, dan lainnya untuk mahasiswa berkebutuhan khusus. "Saat ini kami sedang merintis aplikasi yang bisa menghubungkan pendamping dan mahasiswa berkebutuhan khusus," ujar Koordinator Bidang Tutorial PSLD UB Wahyu Widodo.
Seandainya semua kampus memiliki fasilitas ramah pada mahasiswa difabel, tak akan ada lagi mahasiswa dengan kursi roda yang mesti digotong teman-temannya hanya untuk mencapai ruang perkuliahan. (WER/*)