Penerapan aturan baru Organisasi Maritim Internasional tentang kandungan sulfur bahan bakar kapal maksimal 0,5 persen (dari 3,5 persen saat ini) mulai 1 Januari 2030 diyakini bakal mendongkrak biaya pengiriman via kapal.
Oleh
Mukhamad Kurniawan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Penerapan aturan baru Organisasi Maritim Internasional tentang bahan bakar kapal diyakini bakal mendongkrak biaya pengiriman. Harga barang berpotensi naik dan kenaikannya dikhawatirkan akan dibebankan ke konsumen.
Organisasi Maritim Internasional (IMO) pertengahan tahun ini menyepakati upaya mengurangi emisi sektor pelayaran melalui pemakaian bahan bakar minyak dengan kandungan sulfur yang lebih rendah. Terhitung mulai 1 Januari 2020, kandungan sulfur maksimum dalam bahan bakar kapal yang diizinkan adalah 0,5 persen, jauh lebih rendah dari regulasi saat ini, yakni 3,5 persen.
Kepala Bidang Hubungan Luar Negeri Indonesia National Shipowners Association (INSA), Suyono, ditemui di sela-sela sidang majelis IMO ke-31 di kantor pusat IMO di London, Inggris, Sabtu (30/11/2019) berpendapat, harga bahan bakar minyak kapal dengan kandungan sulfur 0,5 persen saat ini sekitar Rp 14 juta per ton. Angka itu sekitar Rp 2 juta lebih mahal dibandingkan bahan bakar kapal yang mengandung sulfur 3,5 persen.
Dengan selisih itu, biaya operasional dipastikan naik jika kapal beralih ke bahan bakar yang lebih rendah kadar sulfurnya. Namun, selain harga yang lebih mahal, ketersediaan bahan bakar itu di Indonesia dinilai belum mencukupi kebutuhan.
Menurut Suyono, PT Pertamina (Persero) memang telah menyediakan bahan bakar minyak untuk kapal dengan kandungan sulfur 0,5 persen. Namun, sejauh ini baru tersedia di Jakarta dan Balikpapan.
“Harapan kami bahan bakar itu juga tersedia di Aceh, Belawan, Padang, Palembang, Semarang, Surabaya, Pontianak, Banjarmasin, Bali, Manado, Makassar, Ambon, Biak, Sorong, Jayapura, Timika, dan Merauke agar ketika kapal sandar di wilayah itu bisa mengisi bahan bakar dengan standar yang sama,” ujarnya.
Laporan IHS Markit berjudul "Navigating Choppy Waters: Marine Bunker Fuel in a Low-Sulfur, Low-Carbon World", sebagaimana dikutip Xinhua, menunjukkan bahwa kepatuhan terhadap peraturan itu akan mengakibatkan biaya pengiriman yang lebih tinggi untuk sebagian besar kargo, termasuk elektronik, mobil, petrokimia, dan bahkan tarif kapal pesiar.
Menurut laporan itu, industri-industri pengilangan dan pengiriman tidak siap untuk perubahan besar-besaran dalam regulasi bahan bakar oleh IMO yang mulai berlaku tahun depan. Dampak pasar yang dihasilkan akan besar, mahal, dan berjangkauan luas.
Bersiap
Direktur Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan, Agus H Purnomo menyatakan, pemerintah Indonesia telah bersiap untuk menjalankan regulasi tersebut. Lembaga dan instansi terkait seperti Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Kementerian Perhubungan, Pertamina, dan asosiasi pengusaha telah beberapa kali bertemu untuk membahas kesiapan penerapannya.
“Pertamina sudah menjual (bahan bakar kapal dengan kandungan sulfur 0,5 persen). Kami sudah mengirim edaran ke ppppihak terkait dan berharap tidak ada kendala dalam penerapannya,” kata Agus.
Komite Perlindungan Lingkungan Kelautan IMO telah membahas peraturan yang lebih keras tentang emisi belerang dan langkah-langkah lain untuk memenuhi tujuan mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 50 persen dari tingkat 2008 pada tahun 2050. Reuters melaporkan, sektor pelayaran internasional menyumbang sekitar 2 persen dari emisi karbon dioksida (CO2) yang dipersalahkan atas pemanasan global.
Industri pelayaran mengkonsumsi sekitar 4 juta barel per hari bahan bakar bunker laut Perubahan aturan itu diperkirakan bakal berdampak pada lebih dari 50.000 kapal dagang secara global serta membuka pasar baru yang signifikan bagi produsen bahan bakar.