Sejak 2012, Marwandi, warga Desa Juru Seberang, Tanjung Pandan itu, memutuskan menjadi penjaga hutan mangrove. ebagai putra daerah yang juga bekas penambang, Marwandi berupaya menyadarkan warga untuk memperbaiki alamnya.
Oleh
Rhama Purna Jati
·4 menit baca
Kematian enam orang rekan sesama pekerja tambang akibat longsoran tanah menjadi titik balik hidup Marwandi (38). Warga Desa Juru Seberang, Tanjung Pandan itu, memutuskan menjadi penjaga hutan mangrove. Dia bekerja keras menjadi pelestari agar lingkungan tetap asri di kawasan Bangka Belitung.
Marwandi sudah bergelut pada aktivitas penambangan timah tak resmi sejak 26 tahun lalu. Tepatnya sejak ia duduk di bangku SMP. "Dengan menambang timah, saya dapat uang lebih cepat," kata Marwandi saat ditemui di Taman Mangrove Belitung, pertengahan Oktober 2019 lalu.
Bagi Marwandi tidak sulit mendapatkan uang puluhan atau ratusan juta rupiah saat itu. Harga timah yang tergolong tinggi membuatnya menjadi penambang sukses di Belitung. Biasanya dalam sekali penggalian dia menggarap lahan seluas setengah hektar. “Saya pernah mendapatkan timah sebanyak 1 ton dalam satu hari," katanya. Saat itu harga timah sekitar Rp 150.000 per kilogram.
Secara tidak langsung, menjadi penambang timah telah membentuknya menjadi sosok yang serakah dan tidak pernah puas akan hasil yang sudah dia dapatkan. "Saya menambang dari pagi sampai malam. Hampir lupa dengan keluarga,"ungkapnya.
Di sisi lain, bekerja di lahan tambang timah tergolong berisiko. Setiap penggalian, pekerja berada dalam ancaman besar. Risiko terbesar adalah tertimbun. Bahkan, selama ia berkerja sebagai penambang, setiaknya sudah enam rekannya harus meregang nyawa karena tertimbun di lokasi penambangan timah.
Melihat buruknya dampak dari penambangan tak resmi itu, sejak tahun 2012, Marwandi memutuskan untuk berhenti. Ia memilih kembali ke desa tempat tinggalnya Desa Juru Seberang. Pada tahun 1981, desa ini rusak akibat penambangan lepas pantai sebuah perusahaan timah sejak tahun 1943.
Sebagai putra daerah yang juga bekas penambang, Marwandi berupaya menyadarkan warga untuk memperbaiki alamnya. Alhasil, warga juga memiliki visi yang sama terutama para nelayan mulai mewujudkan hal itu. “Mereka menilai, kerusakan alam ini, juga berpengaruh pada hasil tangkapan ikan warga yang selama ini bekerja sebagai nelayan,” ungkapnya.
Mereka menimbun lubang dengan pasir yang ada dan menanaminya dengan tanaman. Di sisi lain, warga juga mengajak penambang untuk berhenti. “Tidak mudah melakukan itu, karena menambang sudah menjadi budaya,” ungkap Marwandi.
Bantuan
Akhirnya, bantuan dari pemerintah pun datang, mereka menginisiasi agar kawasan ini menjadi Kawasan Hutan Kemasyarakatan (HKm) pada tahun 2013. Alhasil, masyarakat bisa turut mengelolanya. Berbagai bantuan datang dari para pihak mulai dari Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) dan Yayasan TERANGI yang turut membina warga dan membangun sejumlah sarana senilai Rp 2 miliar selama 18 bulan dari Februari 2017-Juni 2018.
Proyek ini berhasil menghimpun bantuan dari instansi lain sejumlah Rp 21,9 miliar. Sejak saat itu, dibukalah Taman Mangrove Belitung yang secara langsung memberikan dampak ekonomi kepada masyarakat setempat.
Dengan bantuan ini program rehabilitasi semakin masif. Rehabilitasi mangrove mencapai 45 hektar, dan pendapatan warga meningkat. Ada 203 warga yang masuk dalam kepengurusan, sekitar 40 warga di antaranya bekerja untuk mengelola kawasan termasuk merehabilitasi kawasan dengan menanam mangrove. “Dengan mengembalikan fungsi mangrove, ekosistem akan kembali membaik,” ungkap Marwandi.
Bahkan, HKm ini mampu mengumpulkan pendapatan kelompok hingga Rp 60 juta per tahun dari hasil kunjungan wisatawan. Di tahun 2018, jumlah pengunjung mencapai 74.000 orang, meningkat dibanding tahun sebelumnya yang hanya 34.000. Sampai Oktober 2019, jumlah pengunjung Kawasan Taman Mangrove Belitung sudah mencapai 65.000 orang.
Minat masyarakat untuk melakukan rehabilitasi sangat tinggi. Mereka menyadari dengan merehabilitasi mangrove banyak keuntungan yang mereka peroleh, baik dari sisi membaiknya lingkungan dan pendapatan dari hasil tangkapan yang meningkat. Di dalam Belitung Mangrove Park, warga yang menjadi anggota dilibatkan untuk mengelola tanam wisata tersebut, mulai dari keterlibatan suku laut untuk membuat atraksi sampai budidaya kepiting.
Memang pendapatan yang Marwandi terima saat mengelola hutan tidak sebanyak saat menjadi penambang. “Pendapatan saya menurun hingga 90 persen,” ungkapnya. Namun rasa bersalah telah merusak lingkungan tidak lagi menghantuinya. Rasa itu telah berganti dengan kepuasan karena turut berperan menjaga lingkungan untuk generasi mendatang.