Data Fiktif Desa Mengarah Pidana
Pembentukan puluhan desa baru di Konawe Sulawesi Tenggara diduga menggunakan data fiktif. Kepolisian pun mengusut kerugian negara dari penyelewengan ini.
KONAWE, KOMPAS — Pembentukan banyak desa dengan menggunakan peraturan daerah fiktif di Konawe, Sulawesi Tenggara, diduga terkait dengan bancakan dana desa yang bakal dikucurkan ke desa-desa baru tersebut. Polda Sulawesi Tenggara dibantu KPK tengah mengusut dugaan kerugian negara akibat bancakan dana desa di Konawe.
Liputan investigasi harian Kompas mengungkap dugaan kongkalikong pejabat eksekutif dan legislatif di Konawe untuk membentuk desa-desa baru dengan data fiktif. Pengakuan mantan Kepala Bagian Pemerintahan Kabupaten Konawe Jumrin Pagala yang ditemui di salah satu rumah tahanan di Sulawesi Tenggara mengungkap bagaimana desa-desa baru dirancang di peternakan milik Bupati Kery Saiful Konggoasa.
Menurut Jumrin, pada pertengahan 2014, di peternakan milik Kery di Desa Amonggedo Baru, Kecamatan Amonggedo, dia mendapat perintah untuk segera mengurus kode wilayah desa yang baru dibentuk. Sebuah surat berisi daftar 52 desa dikirimkan ke Biro Pemerintahan Sulawesi Tenggara pada April 2015 dan ditandatangani oleh Kery.
Baca juga : Rekayasa demi Dana Desa
Menurut Jumrin, desa-desa yang dimasukkan dalam Perda No 7/2011 atas perintah pimpinan agar desa tersebut mendapatkan kode wilayah. ”Jelas itu Pak Bupati. Perintah itu (agar) dimasukkan semua (desa) yang belum mendapatkan kode,” kata Jumrin.
Akan tetapi, pengajuan tersebut ditolak Pemprov Sultra karena ada 34 desa belum memenuhi syarat, dan 18 desa tidak terdaftar sama sekali. Semua desa yang diajukan ke Pemprov Sultra tidak memiliki landasan perda sebagai syarat utama pendefenitifan desa, sekaligus syarat untuk mendapatkan kode wilayah.
Desakan bupati membuat Jumrin mencarikan perda untuk pembentukan 52 desa baru. Belakangan perda tersebut bermasalah karena dibuat dengan tanggal mundur (backdate), yakni Perda Kabupaten Konawe Nomor 7 Tahun 2011. Dalam perda tersebut, Pemkab Konawe malah memasukkan empat desa baru sehingga total desa yang diajukan ada 56.
Selain Bupati Konawe Kery S Konggoasa, menurut Jumrin, nama-nama desa juga hasil usulan anggota DPRD Konawe tahun 2015 Ardin (kini menjabat sebagai Ketua DPRD Konawe) dan Ketua DPRD Konawe saat itu Gusli Topan Sabara (kini menjabat Wakil Bupati Konawe).
Setelah dokumen perda ditandatangani, Jumrin membawa surat pengajuan kode wilayah untuk 56 desa di Konawe yang ditandatangani Sekretaris Daerah Konawe saat itu Achmad Setiawan pada 29 Juni 2015. Surat pengajuan itu turut melampirkan Perda Nomor 7 Tahun 2011.
Kondisi ini sesuai dengan fakta pemekaran di desa-desa yang tercantum pada Perda No 7/2011. Sebagai gambaran, Desa Arombu Utama di Kecamatan Latoma baru mekar secara definitif pada 2015, kemudian Desa Lalowulo dan Desa Waworaha di Kecamatan Besulutu baru mekar pada 2014. Namun, desa-desa itu seolah-olah sudah mekar sejak sebelum 2011 karena dicantumkan dalam Perda No 7/2011.
Firmansyah, Ketua Badan Perwakilan Desa (BPD) Lalowulo, menyebutkan, Desa Lalowulo baru terbentuk secara definitif pada 2014 setelah memasuki masa persiapan selama setahun. Pada tahun 2011, belum ada Desa Lalowulo karena masih tergabung pada Desa Asunde sebagai desa induk.
Firmansyah mengakui, Desa Lalowulo terbentuk secara definitif dan mendapat kode wilayah sesuai dengan janji politik Ardin (Ketua DPRD Konawe saat ini) yang maju sebagai anggota DPRD Konawe pada 2014 dengan daerah pemilihan salah satunya di Kecamatan Besulutu.
Data palsu
Tak hanya dibuat dengan rekayasa, data yang ada di dalam perda itu juga tidak sesuai dengan kondisi nyata di 56 desa yang dimekarkan dalam perda palsu itu. Misalnya di Desa Arombu Utama, Kecamatan Latoma, desa seluas 16 kilometer persegi, terdapat 46 keluarga dengan 198 jiwa. Namun, di dalam Perda No 7/2011 tentang Pemekaran Desa di Konawe, Desa Arombu Utama disebutkan memiliki penduduk sebanyak 173 keluarga dengan 1.030 jiwa.
Hal serupa ditemukan di Desa Lerehoma, Kecamatan Anggaberi. Desa ini berpenduduk sebanyak 65 keluarga dengan 200 jiwa lebih. Namun, dalam perda itu, Desa Lerehoma disebutkan memiliki 190 keluarga dengan 1.077 jiwa.
Jumlah penduduk yang tercatat di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Kabupaten Konawe di sejumlah desa itu juga berbeda dengan yang tercatat di Perda No 7/2011. Data Dinas Dukcapil per 7 November 2019 menyebut Desa Wiau, Kecamatan Routa, memiliki penduduk sebanyak 7 keluarga dengan 7 jiwa, dan Desa Napooha, Kecamatan Latoma memiliki penduduk sebanyak 30 keluarga dengan 123 jiwa.
Sementara itu, di dalam Perda No 7/2011, jumlah penduduk di Desa Wiau sebanyak 192 keluarga dengan 1.070 jiwa dan jumlah penduduk di Desa Napooha memiliki 188 keluarga dengan 1.077 jiwa.
Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari mengatakan, perbuatan merekayasa peraturan daerah itu bukan hanya sekadar pelanggaran administrasi, melainkan juga merupakan tindak pidana.
”Penipuan yang berkaitan dengan dokumen negara itu pidana. Kita harus lihat lagi lebih luas, apa tujuan pemalsuan itu? Apakah benar untuk mendapatkan dana desa? Apakah ada relasi kesengajaan atau tidak?” ujar Feri Amsari, saat dihubungi, Jumat (29/11/2019).
”Penipuan yang berkaitan dengan dokumen negara itu pidana. Kita harus lihat lagi lebih luas, apa tujuan pemalsuan itu? Apakah benar untuk mendapatkan dana desa? Apakah ada relasi kesengajaan atau tidak?”
Menurut Feri, pembuatan dan pengajuan perda fiktif itu masuk ranah pidana karena melanggar Pasal 263 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang pemalsuan surat yang seolah-olah sejati dengan ancaman hukuman penjara maksimal 6 tahun.
Baca juga: ”Nasi Matang” Bermasalah di Konawe
Feri Amsari mengatakan, perda yang direkayasa pembuatannya juga sudah pasti isinya tidak sesuai fakta. Maka tidak heran jika isinya mengada-ada agar terlihat meyakinkan. ”Dokumen itu palsu, tentu isinya tidak ada yang berdasarkan fakta,” kata Feri.
Selain itu, pelaku bisa dijerat hukuman lainnya, seperti tindak pidana korupsi apabila aparat penegak hukum ditemukan unsur penggelapan uang dana desa.
”Periksa pihak-pihak yang terlibat dan telusuri apakah ada unsur kesengajaan? Apakah ada dana yang mengucur ke kantong-kantong pribadi? Jika benar, bisa tergolong tindak pidana korupsi,” ujar Feri.
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Egi Primayoga, mengatakan, upaya merekayasa perda agar memperoleh dana desa adalah modus baru. Sebelumnya, bentuk penyelewengan dana desa lebih banyak pada penyalahgunaan anggaran seperti penggelapan dana, peningkatan nilai proyek yang tak semestinya, dan laporan pertanggungjawaban yang fiktif.
Upaya dengan sengaja memanipulasi perda menunjukkan adanya niatan (mens rea) dari pelaku. Untuk itu, para pelaku yang terkait perda fiktif itu juga melanggar tindak pidana. Adapun pasal yang dikenakan antara lain Pasal 378 KUHP tentang Penipuan dan Penggelapan dengan ancaman kurungan penjara empat tahun.
Baca juga : Desa yang Lengang dan Perda Akal-Akalan
Proses hukum
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara Ajun Komisaris Besar Harry Goldenhardt mengatakan, pihaknya tengah melakukan penyelidikan terkait kasus ini. Ia menjelaskan, kasus ini bermula dari laporan masyarakat kepada Polres Konawe pada Januari 2019 yang mengatakan ada beberapa desa yang tidak ada penghuninya. Kasus itu kemudian dibawa ke Polda Sultra.
Dari hasil penyelidikan, tim Tipikor Polda Sultra meneliti dokumen-dokumen yang ditemukan di lapangan dan pada Juli 2019 status proses hukum ini dinaikkan menjadi penyidikan.
Pihak polda Sultra sudah memeriksa 57 saksi dan meneliti sejumlah dokumen yang terkait kasus ini. Meski demikian, pihaknya belum menunjuk tersangka dalam kasus ini.
”Saat ini kita masih menunggu proses audit terhadap dugaan potensi kerugian keuangan negara,” ujar Harry.
Ditanya apakah perda fiktif ini melanggar pidana, Goldenhardt mengatakan, pihaknya masih melakukan pemeriksaan lebih lanjut. Pihaknya sudah memeriksa saksi-saksi baik dari hukum pidana dan ahli administrasi negara.
”Yang jelas penyidik tipikor masih fokus terhadap pada apa yang terjadi di awal tadi. Yakni dugaan adanya desa fiktif dan penyalahgunaan keuangan negara. Tidak tertutup kemungkinan terhadap kasus pidana lainnya,” kata Harry.
Direktur Penataan dan Administrasi Pemerintahan Desa Kementerian Dalam Negeri Aferi Syamsidar Fudail menyatakan, Perda Konawe No 7/2011 yang memuat pengajuan kode wilayah terhadap 56 desa tidak sah menjadi acuan karena cacat hukum. Semestinya Pemprov Sultra memverifikasi perda tersebut sebelum mengirimkan surat rekomendasi. Kendati perda itu cacat hukum, Kemendagri tidak akan mencabut keberadaan 56 desa tersebut.
Salah satu unsur masyarakat yang melaporkan kasus itu ke kepolisian adalah Ikatan Mahasiswa Indonesia Konawe (IMIK). Ketua IMIK Jakarta Muhamad Ikram Pelessa mengatakan, aparat penegak hukum harus mengusut tuntas kasus ini.
Dikonfirmasi soal kongkalikong pembuatan perda fiktif untuk membentuk desa baru, Ketua Satuan Tugas Dana Desa Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Bibit Samad Rianto menyatakan, yang terjadi di Konawe adalah modus bancakan dana desa oleh pejabat daerah.
”Manajemennya enggak benar, ya, seperti ini. Akhirnya buat bancakan oleh yang berwenang. Yang tadinya kelurahan jadi desa lagi. Kemudian desa tertinggal inginnya tertinggal terus agar duitnya lebih banyak,” ujar mantan komisioner KPK ini.