Jumlah tersebut naik dibandingkan dengan Prolegnas 2015-2019 yang terdiri atas 189 RUU. Hal itu juga bertentangan dengan kesepakatan DPR dengan Kemenkumham serta DPD saat rapat kerja pada Rabu (4/12/2019) malam.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat menetapkan 247 rancangan undang-undang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020-2024. Sebanyak 50 rancangan undang-undang di antaranya masuk Prolegnas Prioritas 2020.
Penetapan tersebut dinilai ambisius mengingat DPR periode 2014-2019 hanya mampu menyelesaikan 18 persen dari total rancangan undang-undang (RUU) dalam Prolegnas 2015-2019. Berdasarkan catatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, dari 189 RUU dalam daftar prioritas jangka menengah 2015-2019, DPR menuntaskan pembahasan 35 RUU.
Ketua Panitia Kerja (Panja) Tata Cara Penyusunan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) DPR Rieke Diah Pitaloka seusai Rapat Kerja Penetapan Prolegnas dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Kamis (5/12/2019), di Kompleks Parlemen, Jakarta, menjelaskan, telah menetapkan 247 RUU masuk dalam Prolegnas Jangka Menengah 2020-2024. Sejumlah RUU berasal dari usulan DPR, pemerintah, dan DPD.
Selain itu, untuk lima tahun ke depan juga ada tiga RUU masuk dalam daftar kumulatif terbuka atau RUU di luar Prolegnas yang dalam keadaan tertentu dapat diajukan DPR atau presiden. Ketiganya adalah RUU tentang Koperasi, Mahkamah Konstitusi, serta Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Rieke mengakui, jumlah tersebut naik dibandingkan Prolegnas 2015-2019 yang terdiri atas 189 RUU. Hal itu juga bertentangan dengan kesepakatan DPR dengan Kemenkumham dan DPD saat rapat kerja pada Rabu (4/12/2019) malam.
Dalam rapat sebelumnya, Ketua Baleg dari Fraksi Partai Gerindra DPR Supratman Andi Agtas mengatakan akan membatasi jumlah RUU dalam daftar prioritas jangka menengah, yaitu maksimal 150 RUU. Pembatasan tersebut sudah didasarkan pada pembagian tugas terhadap 11 komisi, baleg, dan panitia khusus DPR.
Pembatasan merupakan tindak lanjut evaluasi kinerja legislasi DPR periode 2014-2019 yang rendah. Berdasarkan catatan Kemenkumham, dari 189 RUU yang ada dalam daftar prioritas jangka menengah 2015-2019, hanya 35 RUU yang tuntas dibahas.
Namun, Rieke menolak jika penetapan 247 RUU dalam Prolegnas 2020-2024 dikatakan ambisius. Sebab, belum tentu semua RUU yang ada dalam daftar itu akan dibahas selama lima tahun ke depan.
”Meski sudah masuk di daftar panjang (long list), pembahasan RUU harus melewati tahap Prolegnas prioritas tahunan. Jadi, jumlah sebanyak ini tidak masalah karena memang berasal dari masukan masyarakat dan yang lainnya,” kata Rieke.
Selain itu, DPR juga telah mengubah aturan tentang tata cara penyusunan Prolegnas. Beleid itu, kata Rieke, mengatur bahwa perubahan terhadap Prolegnas jangka menengah dan tahunan bisa dilakukan kapan saja.
Tidak seperti pada periode 2014-2019, pengubahan Prolegnas harus menunggu satu tahun. ”Jika sudah ada satu prioritas yang selesai, kita sudah bisa memasukkan urutan berikutnya supaya pembahasan bisa lebih cepat,” ujarnya.
Menkumham Yasonna H Laoly mengatakan, penambahan itu dilakukan untuk mengakomodasi aspirasi semua pihak. Hal itu bukan masalah karena ke depan, pembahasannya masih perlu melewati sejumlah perdebatan dan pertimbangan untuk masuk dalam prioritas tahunan.
”Yang penting setelah membuat prioritas kita bisa mengerjakannya. Kita perlu membuatnya dengan baik, komprehensif, tak hanya kuantitas, tetapi juga kualitasnya terjamin,” kata Yasonna.
Perencanaan lemah
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, menilai, penetapan Prolegnas ini menunjukkan kelemahan manajemen perencanaan DPR. Penentuan prolegnas, yang semestinya mempertimbangkan urgensi, kalah oleh kompromi di Baleg.
”Prolegnas tampak semata-mata hanya instrumen untuk menampung saran dan usulan saja. Padahal, semestinya Prolegnas memperlihatkan arah politik legislasi DPR, pemerintah, dan DPD,” ujar Lucius.
Menurut dia, keberadaan ratusan RUU tanpa arah politik legislasi yang jelas berpotensi mengulang keburukan kinerja DPR periode sebelumnya. Selain tidak optimal secara kuantitas, kualitasnya pun diragukan.
Selain itu, upaya memasukkan 247 RUU dalam Prolegnas 2020-2024 juta bertentangan dengan semangat penyederhanaan RUU atau mekanisme omnibus law yang digaungkan Presiden Joko Widodo. Untuk mewujudkan mekanisme tersebut, pemerintah dan DPR setidaknya harus menggunakan tahun pertama untuk mengkaji kebutuhan penyederhanaan legislasi.
Pelibatan publik
Rieke mengatakan, selain RUU Prolegnas 2020-2024, DPR juga menetapkan 50 RUU yang ada dalam Prolegnas Prioritas 2020. Dari total 50 RUU, ada empat yang merupakan hasil mekanisme luncuran (carry over) dari periode sebelumnya.
Tiga RUU merupakan usulan pemerintah, yaitu RUU tentang Bea Materai, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), dan RUU Pemasyarakatan. Selain itu, ada pula RUU tentang Pertambangan, Mineral, dan Batubara.
”Catatan kami, RUU yang masuk dalam carry over tetap harus mendapatkan pembahasan yang mendalam tentang pasal-pasal yang mendapatkan perhatian khusus dari publik,” ujar Rieke.
Menurut Lucius, pembahasan keempat RUU perlu dimulai dari awal, bukan sekadar melanjutkan proses yang terhenti pada periode sebelumnya. Pelibatan publik juga tak bisa alpa dalam pembahasan tersebut. Sosialisasi isu krusial yang akan dibahas juga harus dilakukan agar masyarakat dapat memberikan saran yang relevan.