Bunga dan Ketidakpaduan Aparat Dinilai Hambat Pelayaran Nasional
›
Bunga dan Ketidakpaduan Aparat...
Iklan
Bunga dan Ketidakpaduan Aparat Dinilai Hambat Pelayaran Nasional
Tingginya bunga pembiayaan dan ketidakpaduan aparat penegak hukum di laut dinilai menghambat perkembangan industri pelayaran nasional. Para pelaku berharap pemerintah mengatasi segenap hambatan itu.
Oleh
NINA SUSILO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelaku industri pelayaran meminta pembiayaan berbunga rendah dan bertenor panjang. Selain itu, aparat penegak hukum diharapkan terpadu di laut. Pelayaran nasional diyakini makin berkembang jika problem itu teratasi.
Para pengusaha yang tergabung dalam Indonesia National Shipowners’ Association (INSA) menyampaikan hal itu ke Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (4/12/2019). Hadir dalam pertemuan itu antara lain Ketua Umum INSA Carmelita Hartoto dan pengurus INSA lain serta Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi.
INSA berharap industri pelayaran dapat pembiayaan lebih murah dengan tenor lebih panjang seperti pembiayaan infrastruktur. Carmelita membandingkan tarif bunga pembiayaan di negara tetangga yang bisa 2 persen, sedangkan industri pelayaran nasional dikenakan bunga 11-14 persen dan pembiayaan infrastruktur 6 persen.
Tenor pinjaman yang berkisar 5-7 tahun juga dinilai menyulitkan pelayaran nasional dalam membangun kapal baru. Tenor pinjaman pembangunan kapal baru diharapkan 10-15 tahun. ”Kami berharap (bunganya) satu digit. Adapun tenornya bisa 10-15 tahun,” ujarnya.
Kendala lain yang dihadapi adalah banyaknya penegak hukum di laut. Saat ini, setidaknya ada Badan Keamanan Laut Republik (Bakamla), Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai (KPLP) Indonesia, serta Korps Kepolisian Air dan Udara. INSA pun menanyakan rencana pembentukan penjaga pantai (coast guard) di Indonesia.
”Kami berharap KPLP dari Kementerian Perhubungan melapor langsung ke Presiden sehingga tak ada lagi dualisme atau tigalisme penegak hukum di laut yang memberatkan anggota kami,” ujar Carmelita menambahkan.
Biaya logistik
Banyaknya penegak hukum membuat kapal-kapal Indonesia sering dihentikan tanpa alasan jelas. Biaya bahan bakar jadi lebih tinggi. Waktu tempuh pelayaran juga kerap memanjang dan membuat waktu tiba tak tepat. Dengan demikian, biaya logistik menjadi mahal.
Pada 2019, armada kapal nasional berkisar 27.200 kapal. Jenis kapal yang dimiliki pengusaha kapal Indonesia juga beragam, termasuk kapal very large crude carrier (VLCC) dan panamax.
Seusai pertemuan, Budi Karya menyatakan, Presiden Joko Widodo ingin ekonomi Indonesia terus tumbuh. Oleh karena itu, industri dalam negeri harus kuat, termasuk industri perkapalan yang diharapkan jadi tuan rumah di negara sendiri.
Sementara itu, penerapan aturan baru Organisasi Maritim Internasional (IMO) tentang bahan bakar kapal diyakini bakal mendongkrak biaya pengiriman. Harga barang berpotensi naik dan kenaikannya dikhawatirkan akan dibebankan kepada konsumen.
IMO menyepakati upaya mengurangi emisi sektor pelayaran melalui pemakaian bahan bakar minyak dengan kandungan sulfur yang lebih rendah. Terhitung mulai 1 Januari 2020, kandungan sulfur maksimum dalam bahan bakar kapal yang diizinkan adalah 0,5 persen, jauh lebih rendah dari regulasi saat ini, yakni 3,5 persen.
Kepala Bidang Hubungan Luar Negeri INSA Suyono, ditemui di sela-sela sidang majelis IMO ke-31 di kantor pusat IMO di London, Inggris, Sabtu pekan lalu, menyatakan, harga bahan bakar minyak kapal dengan kandungan sulfur 0,5 persen saat ini sekitar Rp 14 juta per ton. Angka itu sekitar Rp 2 juta lebih mahal dibandingkan bahan bakar kapal yang mengandung sulfur 3,5 persen.
Dengan selisih itu, biaya operasional dipastikan naik jika kapal beralih ke bahan bakar yang lebih rendah kadar sulfurnya. Namun, selain harga yang lebih mahal, ketersediaan bahan bakar itu di Indonesia dinilai belum mencukupi kebutuhan.