Petani bernama Yudiansyah Harianto (39) tewas diduga diterkam harimau di Desa Tebat Benawa, Kelurahan Penjalang, Dempo Selatan, Pagar Alam, Sumsel. Tahun ini sudah ada tujuh korban tewas konflik satwa di Sumsel.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
PAGAR ALAM,KOMPAS—Konflik antara harimau dengan warga kembali terjadi di Desa Tebat Benawa, Kelurahan Penjalang, Kecamatan Dempo Selatan, Kota Pagar Alam, Sumatera selatan. Seorang petani bernama Yudiansyah Harianto (39) tewas diduga diterkam harimau sumatera (panthera tigris sumatrae).
Dengan kematian Yudiansyah, sedikitnya sudah ada tujuh korban jiwa akibat konflik manusia dengan hewan dilindungi tahun ini dari total 25 konflik yang terjadi di Sumsel. Jumlah korban jiwa naik lebih tiga kali lipat dibandingkan kasus tahun lalu dengan dua korban tewas dalam 10 kasus.
Kepala Kepolisian Sektor Dempo Selatan Inspektur Satu Zaldi Jaya, Kamis (5/12/2019) menuturkan, Yudiansyah ditemukan tewas dengan kondisi mengenaskan di kawasan perkebunan kopi di dalam kawasan hutan Desa Tebat Benawa. “Jenazah hanya menyisakan tulang belulang, hanya bagian kaki saja yang masih utuh,” katanya. Saat ini, jenazah korban yang merupakan warga Kabupaten Lahat itu berada di RS Besemah, Pagar Alam.
Evakuasi pada korban dilakukan oleh tim gabungan dari TNI/Polri, Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Wilayah II Lahat, Satuan Pamong Praja Pagar Alam, dan dibantu warga. “Ada 100 personel yang dikerahkan untuk melakukan evakuasi,” ungkapnya.
Jarak antara perkebunan kopi dengan permukiman warga cukup jauh dengan waktu tempuh sekitar satu jam dengan kendaraan bermotor. “Selain itu, petugas harus berhati-hati karena kemungkinan kelompok harimau masih berada di sekitar korban,” kata Zaldi.
Dengan kejadian itu, selama empat hari terakhir, konflik harimau dengan warga di kawasan Tebat Benawa sudah terjadi dua kali. Senin (2/12/2019), Marta Rolani (24) warga Dusun Tebat Benawa, Kelurahan Penjalang, Kecamatan Dempo Selatan saat berkebun di ladang kopinya juga didatangi harimau. Ia menyelamatkan diri dengan naik pohon namun terluka di bagian kaki.
Konflik semestinya menjadi momentum bagi semua pihak untuk memulihkan kembali wilayah jelajah (koridor) satwa dengan membangun sistem ekosistem esensial. (Genman S Hasibuan)
Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Sumsel Genman Suhefti Hasibuan menerangkan, berdasarkan, keterangan dari tim yang ada di lapangan, lokasi kejadian berada di kawasan hutan lindung dan tidak jauh dari lokasi Marta bertemu dengan harimau.
Kejadian ini menambah panjang kasus konflik antara manusia dengan satwa dilindungi di Sumsel. Sepanjang tahun ini, tercatat ada 25 konflik satwa dilindungi dengan manusia. Sebanyak tujuh orang tewas, dan dua korban terluka.
Konflik paling banyak terjadi dengan harimau sumatera (10 kasus) dilanjutkan beruang madu (6 kasus), gajah sumatera (4 kasus), buaya muara (3 kasus), dan babi hutan (2 kasus).
Kebanyakan konflik terjadi di kawasan area penggunaan lain (APL) yang letaknya berada di perbatasan dengan kawasan hutan. “Kawasan perbatasan ini memang sangat rawan karena sangat dekat dengan habitat satwa,” katanya.
Genman menambahkan, dalam tiga tahun terakhir, konflik satwa dan manusia ini terus meningkat. Di tahun 2018, konflik satwa mencapai 10 kasus yang menelan 2 korban tewas. Angka itu meningkat dibandingkan kasus tahun 2017 yang hanya delapan kasus dengan 2 korban tewas.
Genman mengatakan banyaknya konflik satwa di tahun ini dipengaruhi oleh sejumlah faktor seperti mulai tergerusnya habitat satwa akibat alih fungsi lahan. Dalam beberapa kasus, banyak habitat satwa yang sudah menjadi lahan perkebunan, pertambangan, persawahan, atau infrastruktur.
Banyaknya konflik semestinya menjadi momentum bagi semua pihak untuk memulihkan kembali wilayah jelajah (koridor) satwa dengan membangun sistem ekosistem esensial. Namun, upaya ini tidak bisa dilakukan sendiri dan membutuhkan keterlibatan semua pihak.
Upaya meminimalisir konflik, lanjut Genman, hanya bisa dilakukan dengan pendekatan lanskap. “Karena itu, penyelesaian konflik tidak hanya menggunakan satu metode karena setiap kawasan memiliki kondisi yang berbeda-beda,” kata Genman.
Peneliti Harimau Sumatera dari Forum Harimau Kita Yoan Dinata menerangkan, sebenarnya harimau sumatera tidak memiliki sifat menyerang manusia. Namun karena ada faktor internal dan eksternal, harimau menjadi lebih agresif. Faktoro itu adalah terganggunya habitat harimau dan semakin berkurangnya jumlah mangsa.
Untuk itu, ungkap Yoan lebih baik manusia mengurangi aktivitas yang bisa merusak habitat satwa. Selain itu, perlu ada penyesuaian hidup berdampingan dengan satwa buas bagi masyarakat yang tinggal dekat dengan habitat satwa.