Mitigasi di Keluarga Penting Menekan Tingkat Risiko
›
Mitigasi di Keluarga Penting...
Iklan
Mitigasi di Keluarga Penting Menekan Tingkat Risiko
Memasuki 15 tahun pascabencana gempa dan tsunami pada 2004, Pemerintah Provinsi Aceh mengarahkan pembangunan mitigasi bencana di tingkat keluarga. Menyiapkan keluarga tangguh bencana menjadi jalan terbaik menekan risiko.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS – Memasuki 15 tahun pascabencana gempa dan tsunami pada 2004, Pemerintah Provinsi Aceh mengarahkan pembangunan mitigasi bencana di tingkat keluarga. Menyiapkan keluarga tangguh bencana menjadi jalan terbaik untuk menekan dampak terburuk.
Kepala Bidang Kesiapsiagaan Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) Bobby Syahputra, Kamis (5/12/2019) menuturkan, penguatan mitigasi bencana tingkat keluarga untuk mempersiapkan semua anggota keluarga memiliki pemahaman yang baik terhadap kebencanaan.
“Setiap keluarga memiliki standar mitigasi ketika terjadi bencana. Ini yang kami harapkan,” kata Bobby.
Penguatan mitigasi bencana tingkat keluarga untuk mempersiapkan semua anggota keluarga memiliki pemahaman yang baik terhadap kebencanaan.
Penguatan kapasitas keluarga terhadap mitigasi bencana dimulai dengan peluncuran Keluarga Tangguh Bencana (Katana) pada Minggu (8/12) di Kecamatan Lhoong, Kabupaten Aceh Besar. Lokasi tersebut pernah luluh lantak dihantam gelombang tsunami 2004.
Bobby mengatakan, deklarasi Katana akan dihadiri lebih dari 2.000 peserta dari kabupaten/kota di Aceh dan beberapa provinsi di Indonesia. Deklarasi akan dipimpin Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo dan Pelaksana Tugas Gubernur Aceh Nova Iriansyah.
Bobby menuturkan, para peserta Katana akan diberi pemahaman tentang kebencanaan dan tata cara evakuasi saat bencana. Selain infrastruktur mitigasi yang baik, pemahaman warga terhadap mitigasi juga sangat menentukan penurunan risiko bencana.
Setelah pembentukan Katana, kata Bobby, akan dilanjutkan penguatan desa disebut dengan Desa Tangguh Bencana (Destana). Beberapa desa di Aceh telah ditetapkan sebagai Destana terutama desa yang pernah dilanda tsunami.
Salah satu desanya Gampong (Desa) Jawa, Kecamatan Kutaraja, Banda Aceh. Desa ini memiliki standar mitigasi bencana bagi warganya. Warga sepakat memfungsikan lantai dua masjid dan sekolah sebagai gedung evakuasi sementara jika terjadi tsunami.
Masih banyak warga yang di zona bahaya belum memiliki pengetahuan cukup tentang kebencanaan. Pada umumnya, mereka pendatang yang tinggal di lokasi itu setelah terjadi tsunami.
Namun, kata Bobby, masih banyak warga yang tinggal di kawasan zona bahaya belum memiliki pengetahuan cukup tentang kebencanaan. Pada umumnya, mereka adalah warga pendatang yang tinggal di lokasi itu setelah terjadi tsunami.
Bobby mengatakan, pemerintah tidak bisa melarang warga membangun rumah di kawasan zona bahaya. Sebab, tanah tersebut milik warga. “Yang bisa kami lakukan adalah menguatkan mitigasi bencana bagi warga yang tinggal di zona bahaya,” ujar Bobby.
Dosen Kebencanaan dari Universitas Syiah Kuala Banda Aceh Nazli Ismail mengatakan, pendidikan kebencanaan harus dimulai dari keluarga, sekolah, hingga lingkungan yang lebih luas.
Para peniliti kebencanaan di Unsyiah bersama BPBA telah menyusun rancangan Qanun/Perda Pendidikan Kebencanaan. Kini, draf qanun tersebut telah diserahkan kepada DPR Aceh untuk disahkan. Dalam qanun itu diatur pendidikan kebencanaan di sekolah, keluarga, dan rencana aksi mitigasi secara menyeluruh.
Dalam qanun itu diatur pendidikan kebencanaan di sekolah, keluarga, dan rencana aksi mitigasi secara menyeluruh.
Peneliti kebencanaan dari Pusat Riset Tsunami dan Mitigasi Bencana Universitas Syiah Kuala Syamsidik, mengatakan, setelah 14 tahun gempa dan tsunami Aceh, sosialisasi mitigasi bencana, simulasi, dan pendidikan bencana ke sekolah tidak boleh berhenti.
Menurut dia, mitigasi bencana harus dilakukan melalui dua pendekatan, yakni noninfrastruktur dan infrastruktur. Noninfrastruktur melalui pendidikan, sosialisasi, dan simulasi secara rutin. Adapun infrastruktur meliputi pembangunan fisik seperti gedung evakuasi, jalur evakuasi layak, dan hutan pantai.
"Keduanya sama penting. Mitigasi secara infrastruktur dan noninfrastruktur harus jalan berbarengan. Namun, saya lihat di Aceh yang berjalan hanya noninfrastruktur," kata kata Syamsidik.
Syamsidik menambahkan, pemerintah telah gagal mengosongkan kawasan rawan tsunami dari permukiman. Bahkan, kini di sepanjang garis pantai di Banda Aceh permukiman kian padat. Beberapa perumahan juga dibangun di daerah rawan bencana.