Keterbatasan pengetahuan bahasa isyarat acap kali membuat kesulitan memulai komunikasi dengan penyandang tunarungu. Penyandang tunarungu juga dilingkupi dunia ”sunyi”. Keterbatasan itu luruh dalam panggung pantomim.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·5 menit baca
Nyoman (17), salah satu murid Sekolah Luar Biasa Negeri 1 Palangkaraya, Kalimantan Tengah, sedang mengajarkan bahasa isyarat kepada teman-temannya yang tidak tuna rungu. Mereka sedang bersiap untuk berpantomim, Rabu (27/11/2019) sore.
Nyoman begitu bersemangat. Tubuhnya meliuk-liuk, ekspresinya lentur disesuaikan dengan alur cerita. Ia melatih gerakan itu selama dua hari terakhir bersama 29 penyandang tunarungu lainnya serta 25 siswa SD Islam Terpadu Al Fuqron, Sekolah Alam Palangkaraya, dan PKBM Chandra Kirana yang menjadi teman dengar. Mereka berpantomim di hadapan banyak orang. Tanpa suara, hanya ditemani lantunan musik yang kadang riang diselipi gemuruh.
Ekspresi Nyoman berubah-ubah. Saat bermain layang-layang, senyumnya makin lebar dan tangannya menarik-narik benang tak kasatmata. Namun saat bersepeda dan jatuh, wajahnya menangis.
Begitu juga anak-anak lainnya. Ada yang berpantomim berdua, bertiga, ada pula yang menyudut sendiri di ujung panggung di Gedung Olah Seni Dinas Pariwisata Kota Palangkaraya.
Liukan tubuh mereka menunjukkan kebahagiaan masa-masa sekolah.
Sebanyak 55 anak dibagi ke dalam beberapa kelompok sore itu. Setiap kelompok memiliki cerita masing-masing. Bukan tentang isu kebakaran hutan dan lahan atau judi, apalagi politik. Ceritanya ringan.
Mereka bercerita tentang dunianya sehari-hari. Bermain layang-layang, memancing, membaca buku, bersepeda, dan banyak aktivitas lainnya, baik di rumah maupun di sekolah.
Liukan tubuh mereka menunjukkan kebahagiaan masa-masa sekolah. Bahagia dengan tidak mendengar, tapi banyak melihat, banyak menyentuh, dan mengecap.
Setiap penampilan diiringi riuh rendah tepuk tangan pengunjung. Penonton, yang sebagian besar orangtua atau keluarga penampil, sontak berdiri setiap satu pertunjukan selesai. Di balik aksi pantomim itu, ada proses belajar dan komunikasi yang selama ini seperti gunung es yang kemudian runtuh. Cair oleh api semangat belajar.
Dua hari sebelum pertunjukan itu, suasananya tidak sama. Nyaris tak ada senyum, tak ada semangat. Yang ada hanya rasa bosan. Nyoman dan teman-temannya di SLB enggan bergabung dengan teman dengarnya.
Begitu juga 25 anak dari SD Islam Terpadu Al Fuqron, Sekolah Alam Palangkaraya, dan PKBM Chandra Kirana yang menjadi teman dengar. Mereka berkelompok, saling melempar wajah penasaran ke kelompok sebelah. Sama-sama bingung mau memulai berbaur dengan cara apa. Kelompok yang satu tak bisa mendengar, sedangkan yang lain tak paham bahasa isyarat.
”Ayok, kita mulai latihan,” teriak Mustakim (32), pengajar pantomim. Tak hanya berteriak, tangannya pun memberi sinyal menggunakan bahasa isyarat ke arah Nyoman dan kawan-kawannya yang berdiri 100 meter dari kelompok lainnya.
Pak, kalau makan bahasa tangannya (isyarat) bagaimana?
Sebagian siswa tunarungu bergumam sambil melirik ke kelompok sebelah. Yudi (12) dari teman dengar pun balas melirik. ”Pantomim itu apa?” tanya Yudi.
Melihat suasana yang masih dingin, Mustakim mengambil posisi di depan dan anak-anak berbaris menghadap ke arahnya. Takim, begitu sapaan akrab pria gondrong itu, memberi penjelasan dengan kata-kata dan bahasa isyarat.
”Pak, kalau makan bahasa tangannya (isyarat) bagaimana,” tanya seorang anak dari teman dengar kepada Takim. Takim pun menunjukkannya. Anak yang duduk di kelas VI itu pun berlari ke arah Nyoman sambil mempraktikkan apa yang baru ia dapat dari Takim.
Takim pun tersenyum. Perlahan suasana dingin itu pun mencair. Di akhir latihan sore itu, anak-anak saling bertukar nomor telepon, bahkan membuat grup Whatsapp.
Bahasa universal
Untuk dua kelompok siswa itu, Takim menggunakan istilah teman tunarungu atau tuli dan teman dengar. Hal itu dimaksudkan agar tidak ada jurang antara mereka yang tunarungu dan yang tidak. Apalagi mereka relatif seumuran sebagai anak sekolah. Semua teman bermain dan belajar.
”Pantomim itu bahasa universal, jadi bisa menjadi jembatan agar teman dengar dan teman tuli berbaur, menghabiskan waktu bersama. Sehingga mereka saling menerima,” ungkap Takim.
Selama masa latihan, kata Takim, ada dialog di antara anak-anak didiknya. Dialog itu pun bertahan sampai pertunjukan usai. ”Teman dengar mau memulai, tapi gak tahu mulainya bagaimana karena tak tahu bahasa isyarat. Sementara yang tuli sudah malu sedari awal,” jelasnya.
Ini inklusi pendidikan lewat pantomim.
Takim berharap, metodenya bisa diterapkan di sekolah-sekolah, tak hanya untuk sekolah luar biasa, tetapi juga sekolah biasa. Pantomim yang juga merupakan bahasa isyarat diharapkan menjadi pemantik agar mereka bisa menguasai bahasa isyarat yang baku. Dengan demikian, baik teman dengar maupun teman tuli bisa berinteraksi dan saling menerima.
”Mereka itu sebagian ada yang bertetangga, tetapi baru main bareng pas di sini (pantomim),” ujar Takim.
Sedikitnya terdapat tiga sekolah luar biasa di Kota Palangkaraya dan 24 SLB di Provinsi Kalimantan Tengah. Namun, baru kali ini mereka berbaur di satu panggung dengan teman dengar atau murid dari sekolah biasa, yakni dengan berpantomim.
”Ini inklusi pendidikan lewat pantomim. Sehingga teman dengar menghargai teman tuli dan teman tuli tidak merasa diri rendah karena kemampuan mereka pada dasarnya seimbang,” ungkap Takim.
Gelar teater
Kegiatan pantomim itu merupakan rangkaian acara Gelar Teater yang diadakan Payung Literasi Palangkaraya (PLP), sebuah komunitas yang berisi seniman berbagai karya seni, pegawai negeri, dan pekerja profesional lain. Gelar Teater itu dilaksanakan Rabu, Jumat, (29/11), dan Sabtu (30/11).
Yusi, Koordinator PLP, mengungkapkan, acara-acara tersebut merupakan suplemen untuk anak-anak dari semua kalangan agar mampu melihat literasi dari sudut pandang yang lebih luas. Literasi tidak sekadar membaca dan menulis, tetapi juga mementaskan karya seni dan budaya. ”Kalau hanya membaca, kan, mereka sudah dapat di sekolahnya. Jadi suplemen ini lebih ke aplikasinya,” ungkap Yusi.
Selain pantomim, kegiatan itu juga berisi teater, musikalisasi puisi, pembacaan cerpen, monolog, dan berbagai kegiatan lain. Sebagian besar penampil adalah anak-anak sekolah, juga anggota PLP.
Dengan kegiatan itu, kata Yusi, semua sekat keterbatasan dibuka. Mereka tidak lagi melihat latar belakang, tetapi berperilaku dan berbahasa sama melalui pantomim juga karya seni lainnya.
Pada awalnya, bahasa isyarat seolah hanya milik penyandang tunarungu. Seiring perjalanan waktu, mereka yang bukan tunarungu merasa perlu mempelajari bahasa isyarat. Pantomim bisa menjadi jembatan dialog di antara keduanya.