Hingga kini, diskriminasi masih dialami perempuan di Afghanistan. Mereka dilarang bersekolah, tak boleh bekerja, tak diizinkan berpolitik, dan tak bisa pergi ke luar rumah tanpa didampingi kerabat laki-laki atau suami.
Oleh
Elok Dyah Messwati
·4 menit baca
Selama pemerintahan Taliban di Afghanistan pada 1996-2001, perempuan di negara itu mengalami diskriminasi. Mereka dilarang bersekolah, tak boleh bekerja, tak diizinkan berpolitik, dan tak bisa pergi ke luar rumah tanpa didampingi kerabat laki-laki atau suami. Hingga kini, diskriminasi itu masih dialami perempuan di Afghanistan. Mereka terus berjuang mendapatkan hak-hak publik.
Bahkan, di tengah kekerasan di negara tersebut, banyak perempuan Afghanistan menjadi korban tewas akibat pertempuran atau ledakan bom. Seperti yang terjadi pada Rabu (27/11/2019) pekan lalu, 15 warga sipil tewas saat kendaraan mereka menabrak ranjau darat yang ditanam Taliban di Provinsi Kunduz, Afghanistan utara.
Juru bicara Kementerian Dalam Negeri Afghanistan Nasrat Rahimi mengatakan, ada 6 perempuan, 1 laki-laki, dan 8 anak-anak tewas dalam insiden itu. Tidak ada kelompok yang mengklaim bertanggung jawab atas ledakan itu. Juga tidak jelas, apakah itu serangan yang ditargetkan menyasar kelompok tertentu.
Geram melihat lemahnya posisi perempuan di negerinya, perempuan muda Afghanistan bernama Sediqa Sherzai mendirikan stasiun radio di Kunduz. Dalam siaran-siaran radionya, ia membahas masalah-masalah yang dihadapi perempuan Afghanistan, mulai dari pendidikan hingga kebebasan perempuan, kekerasan dalam rumah tangga, serta hak waris dan hak perempuan untuk memilih dan mendukung pemilihan umum.
Tak hanya Sherzai yang memperjuangkan perempuan Afghanistan mendapatkan hak- hak publik mereka. Fawzia Koofi, perempuan Afghanistan lainnya, berjuang di ranah politik. Ia adalah wakil perempuan pertama di Majelis Rendah Parlemen Afghanistan yang selamat dari upaya pembunuhan dan penculikan.
Tahun lalu, Koofi dilarang mencalonkan diri lagi dalam pemilihan umum. Karena itu, dia kemudian mendirikan partai sendiri. ”Menjadi perempuan politisi itu sulit. Di mana- mana, penampilan dan pakaian kami diamati, dan kami tak dianggap serius,” katanya.
Menjadi perempuan politisi itu sulit. Di mana- mana, penampilan dan pakaian kami diamati, dan kami tak dianggap serius.
Di tengah diskriminasi yang dialami hingga saat ini, perempuan Afghanistan telah membuat langkah besar di negeri mereka. Tak mau dikungkung dan hanya berdiam di rumah, semakin banyak perempuan Afghanistan yang kini berhasil menyelesaikan pendidikannya dan bekerja di bidang yang sebelumnya didominasi laki-laki.
”Jumlah perempuan adalah setengah populasi di Afghanistan. Perempuan harus memiliki hak dan peluang sama dengan laki-laki di negara ini,” kata Sheila Qayumi, koordinator program di lembaga Equality for Peace and Democracy yang mengadvokasi agar perempuan masuk ke dunia politik.
Namun kenyataannya, masih banyak perempuan yang tidak bersekolah, dipaksa menikah muda, tidak bekerja, dan diperlakukan buruk. Perang selama empat dekade terakhir, sejak pendudukan asing hingga pertempuran saudara, telah menghancurkan ekonomi Afghanistan dan mengakibatkan Afghanistan menjadi negara termiskin di dunia. Hanya sedikit pekerjaan yang bisa dilakukan anak-anak muda.
Kondisi perempuan di Afghanistan sangat berbahaya. Perempuan yang ingin mandiri secara finansial dan menuntut kesetaraan, menurut Qayumi, menghadapi hambatan budaya. Mereka ditentang tidak hanya oleh anggota keluarga yang konservatif, tetapi juga oleh kelompok militan Taliban.
Hampir setengah dari populasi perempuan Afghanistan ingin meninggalkan negeri itu. Hal itu terungkap dalam jajak pendapat Gallup, September 2019. Perempuan Afghanistan lelah karena negeri mereka dilanda perang tak berkesudahan, harus hidup miskin, dan tak memiliki kesempatan mengembangkan diri.
Masih banyak perempuan yang tidak bersekolah, dipaksa menikah muda, tidak bekerja, dan diperlakukan buruk.
Dalam situasi serba terbatas itu, sebagian besar perempuan Afghanistan tidak menyadari hak mereka, atau terlalu takut berupaya memperoleh hak- haknya tersebut. ”Tujuan saya mendirikan stasiun radio ini adalah untuk mendidik perempuan tentang hak-hak mereka, dan membuka pikiran mereka,” kata Sherzai tentang radio yang dikelolanya.
Sebagian besar pekerja di stasiun radio milik Sherzai adalah perempuan. ”Saya ingin meyakinkan keluarga-keluarga di Afghanistan agar mengizinkan anak perempuan mereka belajar di sekolah, tidak menikahkan mereka pada usia muda, dan untuk menghormati pilihan mereka,” kata Sherzai.
Pendanaan untuk stasiun radio yang dibangun Sherzai itu tidak selalu tercukupi. Keluarga Sherzai juga mengkhawatirkan keselamatannya, tetapi Sherzai tak pernah berpikir untuk berhenti. Bahkan, Sherzai tetap melakukan siaran radio dari rumahnya ketika stasiun radionya diserang Taliban dan peralatan siarannya dicuri.
”Impian saya adalah agar perempuan Afghanistan bisa aman dan bebas melakukan apa saja yang mereka ingin lakukan, dan tidak ada laki-laki yang menghentikan langkah mereka,” kata Sherzai.
Di bidang politik, undang- undang di Afghanistan menetapkan kuota yang mencadangkan 68 dari 250 kursi di Majelis Rendah Parlemen Afghanistan bagi perempuan. Hal ini membuat jumlah perwakilan perempuan Afghanistan lebih tinggi daripada rata-rata global 24 persen.
Kuota perwakilan perempuan di parlemen itu mempermudah bagi perempuan memasuki politik. Namun, kata Koofi, saat ini mereka kekurangan uang dan menanggung risiko keamanan lebih besar.
Perempuan tetap sering diremehkan dan tidak dihormati, bahkan di parlemen. Karena itu perempuan Afghanistan harus berjuang keras untuk memperjuangkan hak publik mereka.