Perusahaan perkebunan sawit Cargill mengalokasikan dana sekitar Rp 49 miliar selama 25 tahun pengelolaan hutan desa di Nanga Lauk, Kalimantan Barat.
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perusahaan perkebunan sawit Cargill mengalokasikan dana sekitar Rp 49 miliar selama 25 tahun pengelolaan hutan desa di Nanga Lauk, Kalimantan Barat. Bantuan murni untuk peningkatan kapasitas dan membuka ruang-ruang kelola perhutanan sosial ini diharapkan bisa menjadi contoh kerja sama serupa yang bisa dilakukan korporasi pada berbagai skema perhutanan sosial yang membutuhkan dukungan dana dan pendampingan.
Program ini diharapkan bisa memberikan dukungan masyarakat untuk menjaga fungsi hutan secara berkelanjutan. Dana itu nanti digunakan untuk patroli hutan, pencegahan kebakaran hutan dan lahan, keterampilan bisnis, pemasaran dan pengembangan bisnis, pengelolaan dan pengolahan sumberdaya alam seperti rotan, bambu, dan madu liar, serta ekowisata.
Komitmen pendanaan dari perusahaan sawit multinasional tersebut dikelola menggunakan Mekanisme Konservasi Komoditas Berkelanjutan (SCCM) oleh Lestari Capital melalui organisasi People Resources and Conservation Foundation (PRCF) Indonesia. Program Hutan Desa Nanga Lauk ini berlokasi di Kabupaten Kapuas Hulu yang terdiri atas hutan desa dan hutan produksi terbatas (HPT). Hutan Desa Nanga Lauk seluas 1.430 hektar dengan ekosistem rawa gambut, rawa, dan danau. Adapun HPT seluas 9.169 hektar berupa hutan rawa gambut.
Kasubdit Pemulihan Ekosistem Konservasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) U Mamat Rahmat, Rabu (12/4/2019), di Jakarta, dalam penandatanganan nota kesepahaman (MOU) komitmen pendanaan ini, berharap kerja sama perusahaan dan masyarakat sekitar hutan seperti ini bisa ditiru pelaku usaha lain.
”MOU untuk tujuan membantu masyarakat adalah contoh baik dunia usaha terhadap masyarakat sekitar,” ujarnya.
Apalagi saat ini, penekanan pemerintah adalah mengatasi ketimpangan pengelolaan lahan dan hutan, di antaranya melalui reforma agraria dan perhutanan sosial. Dengan cara pandang ini, baik masyarakat maupun desa di sekitar dan di dalam hutan, menjadi bagian dari aktor pengelola hutan sekaligus melindungi hutan dari ancaman perusakan.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kehutanan Kalimantan Barat Untat Dharmawan mengatakan, masyarakat sekitar hutan bisa sejahtera tanpa mengeksploitasi hutan. Ia mencontohkan, Desa Sutera di Kayong Utara yang merupakan satu-satunya desa mandiri dari total 2.000-an desa di Kalbar pada tahun 2017. Desa ini berada dekat Taman Nasional Gunung Palung serta tidak terdapat industri eksploitatif, seperti pertambangan, perkebunan sawit, dan kehutanan.
Ia menyebutkan, desa-desa lain yang berdampingan dengan industri ekstraktif malah belum masuk kategori desa berstatus mandiri. ”Berdasarkan data Bappeda Kalimantan Barat, ada 1.000-an desa di pinggiran kawasan hutan. Pada umumnya desa-desa ini identik dengan kemiskinan karena akses terbatas untuk pembangunan infrastruktur dan permukiman umum,” ujarnya.
Ada 1.000-an desa di pinggiran kawasan hutan, pada umumnya desa-desa ini identik dengan kemiskinan.
Untat berharap, kerja sama di antara pengelola-pengelola perhutanan sosial dengan perusahaan lain juga terjadi tak hanya di Nanga Lauk. Ia menyebutkan, sampai tahun 2019, realisasi perhutanan sosial di Kalbar sebanyak 129 unit akses kelola yang terdiri 68 hutan desa, 20 hutan kemasyarakatan, 32 hutan tanaman rakyat, dan 9 hutan adat seluas total 278.000 ha, serta kemitraan kehutanan konservasi seluas 45.000 ha.
”Terbitnya perhutanan sosial ini membawa konsekuensi agar perhutanan sosial membawa dampak konkret bagi masyarakat serta hutan tetap lestari. Ini membutuhkan dukungan aksi kolaboratif semua pihak,” ujarnya.
Tokoh masyarakat Desa Nanga Lauk, Rusman, mengatakan, hutan desa ini menjadi tempat hidup bagi hampir 200 keluarga atau 700 jiwa. Masyarakat setempat memanfaatkan hutan lindung tersebut untuk mendapatkan ikan, rotan, dan madu. Dalam setahun, desanya bisa menghasilkan 15 ton madu yang dipasarkan melalui badan usaha milik desa.
Ia mengatakan bantuan pendanaan senilai hampir Rp 2 miliar setiap tahun dari Cargill ini bisa dimanfaatkan untuk peningkatan pendidikan masyarakat setempat serta meningkatkan kapasitas pengelolaan hutan. ”Kami menyambut baik program pengelolaan hutan berkelanjutan ini karena membantu masyarakat sekitar mencari nafkah sekaligus memberikan kontribusi kembali ke hutan yang kami sebut rumah kami,” tuturnya.
Kami menyambut baik program pengelolaan hutan berkelanjutan ini karena membantu masyarakat sekitar mencari nafkah sekaligus memberikan kontribusi kembali ke hutan. (Rusman)
Direktur PRCF Imanul Huda, Rabu (12/4/2019), di Jakarta, mengatakan pihaknya seiring waktu akan mengurangi pendampingan bagi masyarakat Nanga Lauk hingga Lembaga Pengelolaan Hutan Desa (LPHD) bisa mandiri mengelola hutannya. Ini dilakukan dengan meningkatkan kapasitas manajemen lembaga, patrol, serta pemanfaatan hasil hutan nonkayu secara lestari yaitu karet, rotan, dan ikan olahan serta ekowisata.
Sementara itu, selain hutan desa, terdapat HPT yang merupakan area bekas izin pembalakan. Di tempat ini, ia merencanakan kegiatan rehabilitasi hutan dan patroli dilakukan di HPT. Ia mengatakan, areal HPT ini pada masa mendatang bisa dikelola masyarakat melalui perhutanan sosial dengan menggunakan mekanisme kemitraan kehutanan dengan pengelola kesatuan pengelola hutan (KPH).
CEO Cargill Tropical Palm Richard Low mengatakan, komitmen pendanaan ini menunjukkan keseriusan perusahaan akan upaya pelestarian hutan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat. Ia mengatakan, dana komitmen Rp 49 miliar atau sekitar 3,5 juta dollar AS ini diberikan setiap tahun melalui Lestari Capital untuk dijalankan oleh PRCF yang bekerja di lapangan bersama masyarakat Nanga Lauk.