Perangi ”Stunting” dengan Perbaikan Lingkungan dan Ekonomi
›
Perangi ”Stunting” dengan...
Iklan
Perangi ”Stunting” dengan Perbaikan Lingkungan dan Ekonomi
Kementerian Kesehatan fokus menekan angka tengkes atau stunting di Indonesia dengan meningkatkan kualitas lingkungan dan ekonomi masyarakat. Hal itu menjadi salah satu strategi mewujudkan sumber daya manusia unggul.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
·4 menit baca
GERUNG, KOMPAS — Kementerian Kesehatan fokus menekan angka tengkes atau stunting di Indonesia dengan meningkatkan kualitas lingkungan dan ekonomi masyarakat. Hal itu menjadi salah satu strategi mewujudkan sumber daya manusia unggul pada 2045 bertepatan dengan 100 tahun Indonesia merdeka.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Terawan Agus Putranto menyampaikan hal itu seusai Serah Terima Aset Intervensi Kesehatan Lingkungan di kantor Bupati Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, di Gerung, Kamis (5/12/2019). Dalam kunjungan kerja itu, Terawan dan rombongan juga meninjau Desa Kuripan, Kecamatan Kuripan, Lombok Barat, yang menerima bantuan serta Rumah Sakit Umum Pusat Provinsi NTB.
Sesuai arahan Presiden Joko Widodo, menurut Terawan, tengkes menjadi satu dari dua isu kesehatan nasional yang harus diselesaikan. Isu lain adalah jaminan kesehatan nasional.
Tengkes adalah kondisi gagal tumbuh pada anak karena kekurangan gizi kronis dan infeksi penyakit yang berulang. Penyebabnya rendahnya asupan gizi dalam waktu cukup lama, terutama dalam periode emas seribu hari pertama kehidupan (HPK) yang dihitung sejak anak dalam kandungan hingga usia 2 tahun. Menurut Riset Kesehatan Dasar, sekitar 30,8 persen anak usia di bawah lima tahun mengalami tengkes pada 2018.
Terkait hal itu, pemerintah akan menerapkan strategi percepatan dengan memperkuat usaha konvergensi intervensi terhadap penyebab langsung ataupun tak langsung. Dari situ, pemerintah optimistis dapat menurunkan angka tengkes hingga di bawah 20 persen pada tahun 2024 (Kompas, 4/7).
Terawan mengatakan, dalam menekan tengkes, pemerintah memperkuat langkah promotif ataupun preventif. Promotif lebih kepada kegiatan bersifat promosi kesehatan, sedangkan preventif untuk pencegahan.
Menurut Terawan, akses sanitasi lingkungan layak, seperti juga air minum, jamban, dan sebagainya, adalah hak asasi manusia. Namun, kurangnya akses terhadap sanitasi layak dan air bersih, sangat berkolerasi dengan tingginya angka penyakit infeksi yang berdampak pada tengkes.
Dalam menekan tengkes, pemerintah memperkuat langkah promotif ataupun preventif. Promotif lebih kepada kegiatan bersifat promosi kesehatan, sedangkan preventif untuk pencegahan.
Pemerintah, saat ini, tengah melaksanakan program Padat Karya Tunai Desa (PKDT) di bidang kesehatan lingkungan. Program itu berupa stimulan untuk meningkatkan kualitas sanitasi sebagai pemenuhan kebutuhan layanan dasar bersama masyarakat dan pemerintah.
”PKTD telah dilaksanakan pada 531 desa di seluruh Indonesia. Dari program itu, sebanyak 10.621 sarana sanitasi jamban dan cuci tangan pakai sabun telah terbangun untuk 10.621 keluarga atau sekitar 53.000 jiwa. Program itu juga telah menyerap tenaga kerja 42.480 orang,” kata Terawan.
Menurut Terawan, program tersebut telah berjalan sejak 2018. Dia pun berharap, PKDT bisa membawa dampak besar bagi masyarakat dalam meningkatkan kualitas lingkungan ataupun ekonomi. Sekaligus menjadi salah satu langkah besar pencegahan tengkes.
Upaya promotif dan preventif, kata Terawan, harus menjadi prioritas. Oleh karena itu, ia meminta jajaran Kementerian Kesehatan agar anggaran untuk dua langkah strategis itu ditambah.
Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan Kirana Pritasari mengatakan, pemerintah menargetkan angka tengkes bisa berada di bawah 20 persen pada 2024. Oleh karena itu, berbagai intervensi akan terus dilakukan. Selain intervensi yang sama dengan daerah lain, akan ada juga intervensi yang sifatnya lokal.
”Jadi inovasi-inovasi daerah juga kami dorong. Di NTB misalnya, ada posyandu keluarga,” kata Kirana.
Terawan menambahkan, pemerintah akan mendukung upaya-upaya daerah menekan angka tengkes, termasuk di Lombok Barat. Bupati Lombok Barat Fauzan Khalid mengatakan, mereka memang berusaha untuk terus menekan angka tengkes. Pada 2019, angka tengkes di Lombok Barat sekitar 23,2 persen. Angka itu turun cukup tinggi dari tahun sebelumnya 33 persen. ”Tahun 2024, kami menargetkan Lombok Barat bebas stunting,” kata Fauzan.
Untuk mewujudkan target itu, Fauzan mengatakan, pihaknya melakukan berbagai intervensi dari hulu. Misalnya, memberikan pil penambah darah untuk 48 sekolah serta mengadakan sarapan bersama satu kali seminggu.
”Siswa membawa sarapan sendiri dari rumah. Namun, kami bimbing mana makanan yang memenuhi syarat gizi dan kesehatan. Secara formal, telah ada kerja sama antara Dinas Kesehatan Lombok Barat dan Dinas Pendidikan Lombok Barat untuk secara berkala mengevaluasi langsung ke tingkat satuan pendidikan,” kata Fauzan.
Intervensi hulu lainnya adalah dengan membuat gerakan Gamak atau Gerakan Anti Merarik Kodek (Gerakan Anti Menikah Muda). Hal itu diwujudkan dalam bentuk awig-awig aturan desa. Jika telanjur menikah muda, diupayakan untuk menunda memiliki anak.
Intervensi hulu, menurut Fauzan sangat penting dan sangat menentukan. ”Anak-anak ini adalah harta karun. Masa depan bangsa terletak pada sejauh mana kesehatan, kebugaran, kepintaran, dan kecerdasan dari anak-anak kita,” kata Fauzan.
Ketua Kelompok Keswadayaan Masyarakat Desa Kuripan Hasbi menambahkan, pernikahan dini memang menjadi salah satu tantangan dalam mencegah tengkes di desanya. Saat ini, ada 161 anak balita yang menderita tengkes. Tantangan lain adalah kesadaran masyarakat menjaga lingkungan.
”Kami terus memberi imbauan. Termasuk sekarang menyalurkan bantuan berupa pemberian makanan tambahan (PMT) di posyandu dan untuk ibu hamil. Termasuk menyediakan jamban dan sarana cuci tangan dengan sabun,” kata Hasbi.