Unicef Serukan Penghentian Kampanye Antivaksin di Medsos
›
Unicef Serukan Penghentian...
Iklan
Unicef Serukan Penghentian Kampanye Antivaksin di Medsos
Beberapa pekan sebelum campak mewabah, tingkat imunisasi di Samoa menurun menjadi 30 persen. Informasi antivaksin menyebar di media sosial. Sebagian pengunggah tinggal di negara maju.
Oleh
kris mada
·3 menit baca
APIA, KAMIS — Perusahaan-perusahaan pengelola media sosial didesak menghentikan penyebaran kampanye antivaksin. Kampanye seperti itu diduga ikut menurunkan tingkat vaksinasi, yang berujung pada mewabahnya campak di Samoa dan sejumlah negara kepulauan di Pasifik Selatan. Sejauh ini, 62 orang tewas di Samoa gara-gara wabah itu.
”Jelas mereka bertanggung jawab untuk bertindak dan memastikan masyarakat, khususnya mereka yang rentan, mendapat informasi guna menjaga nyawa anak-anak,” kata Sheldon Yett, Kepala Unicef Wilayah Kepulauan Pasifik, di Apia, Kamis (5/12/2019).
Beberapa pekan sebelum campak mewabah, tingkat imunisasi di Samoa menurun menjadi 30 persen. Informasi antivaksin menyebar di media sosial (medsos). Sebagian pengunggah tinggal di negara maju. Hal itu, antara lain, dilakukan seorang penulis asal Australia yang menyamakan imunisasi wajib dengan fasisme Nazi.
”Sangat menyedihkan, ini bisa jadi hukuman mati bagi anak-anak di daerah dengan tingkat imunisasi rendah,” ujar Yett.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyalahkan kampanye antivaksin yang tersebar di medsos. ”Jelas sekali ada orang yang membuat pernyataan salah soal vaksin di media sosial. Sayangnya, kampanye itu diamini di Samoa, di mana sejumlah orang meragukan kualitas layanan kesehatan dan punya masalah dengan penyedia (vaksin) lokal,” tutur Yett.
Menurut dia, permintaan itu bukan sensor. Perdebatan agar awam mendapat informasi adalah hal baik. Walakin, itu bukan alasan untuk menyebarkan hal tidak berdasar, seperti antivaksin.
Yett tidak menampik, ada kasus anak balita meninggal setelah diimunisasi pada 2018. Insiden itu memicu penundaan vaksinasi selama delapan bulan. Penyelidikan menemukan bahwa vaksinnya tidak bermasalah. Kala itu, perawat yang menyuntik dua anak balita tersebut mencampurkan vaksin dengan pembius. Seharusnya vaksin itu dicampur dengan air.
Terkait meningkatnya penyebaran wabah campak, Pemerintah Samoa menetapkan negara itu dalam situasi darurat. Seluruh orang yang tidak berkepentingan diperintahkan untuk tetap di rumah. Perintah tersebut diberlakukan sejak Rabu (4/12/2019). Akibatnya, seluruh Samoa tampak sunyi. ”Orang menunggu vaksinasi di rumah. Tim vaksinasi sudah siap keliling,” kata Yett.
Warga yang belum divaksinasi diperintahkan memasang bendera merah di halaman rumahnya. Bahkan, bendera itu juga dipasang di kediaman Perdana Menteri Samoa Tuilaepa Sailele Malielegaoi. Sebab, salah seorang keponakannya baru pulang dari Australia dan butuh vaksinasi.
Malielegaoi marah karena ada yang membuat lelucon soal orangtua menyembunyikan anak untuk menghindari vaksinasi. ”Obat untuk ini cuma vaksinasi,” ujarnya.
Ia menolak tudingan bahwa pemerintahannya bertanggung jawab atas wabah saat ini. Sebab, pemerintahannya dinilai tidak cukup tangkas mendorong vaksinasi.
Selain di Samoa, wabah campak juga dilaporkan tersebar di Tonga dan Fiji. Walakin, tingkat vaksinasi lebih tinggi di Tonga dan Fiji sehingga tidak ada korban jiwa seperti di Samoa. Tingkat vaksinasi di Samoa rata-rata 55 persen, sementara Fiji bisa mencapai 90 persen.
Meski vaksinasi tinggi, Fiji tetap mengantisipasi penyebaran campak lebih luas. Seluruh aktivitas olahraga ditunda sampai Januari. ”Perkumpulan orang untuk kegiatan olahraga tidak tepat untuk situasi sekarang. Bersama Kementerian Kesehatan, kami berusaha menghentikan ini. Sekarang, ada 15 kasus di negara ini,” tutur Kepala Komisi Olahraga Fiji Peter Mazey. (AP/AFP)