Buang air besar sembarangan pemicu stunting atau tengkes di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Untuk memutus mata rantai stunting, pemerintah daerah setempat memfasilitasi ketersediaan jamban dan cuci tangan pakai sabun.
Oleh
KHAERUL ANWAR
·4 menit baca
MATARAM, KOMPAS — Buang air besar sembarangan pemicu stunting atau tengkes di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Untuk memutus mata rantai munculnya stunting, pemerintah daerah setempat memfasilitasi ketersediaan jamban dan cuci tangan pakai sabun bagi rumah tangga di desa.
Langkah ini gencar dilakukan mengingat di desa-desa percontohan masih ada warga yang buang air besar (BAB) sembarangan sehingga menjadi tantangan memutus mata rantai pemicu tengkes.
Jadi inovasi-inovasi di daerah juga didorong. Di NTB, misalnya, ada posyandu keluarga.
Menurut Kepala Dinas Kesehatan NTB Nurhandini Eka Dewi, Jumat (6/12/2019), di Mataram, penanggulangan stunting di desa-desa di Lombok Barat cukup bagus, tetapi 80 persen warganya masih BAB sembarangan. Oleh sebab itu, salah satu tujuan program Padat Karya Tunai Desa adalah meningkatkan kualitas kesehatan lingkungan melalui pembangunan sarana sanitasi dan cuci tangan pakai sabun.
Stunting terkait akses air bersih dan, terutama kebiasaan warga BAB. Pantauan Kompas di sejumlah lingkungan di Kota Mataram, meski warga memiliki jamban, masih ada warga yang BAB ke sungai. Rumah warga biasanya dilengkapi dengan sumur dan WC yang jaraknya tidak jauh dari sumur. Sementara air limbah rumah tangga dibiarkan tergenang di sekitar tempat tinggal, menjadi tercemar karena mengundang lalat untuk hinggap.
Lalat yang membawa bakteri itu hinggap di makanan dan minuman yang dikonsumsi antara lain oleh ibu yang memiliki bayi di bawah usia dua tahun. Karena mengonsumsi makanan yang tidak sehat, sang ibu menderita penyakit gangguan pencernaan dan berdampak pada tidak maksimalnya asupan gizi dan nutrisi kepada anaknya.
Oleh sebab itu, program PKTD sektor kesehatan, kata Nurhandini, mencoba mengatasi salah satu penyebab penyakit berbasis lingkungan melalui pembangunan jamban berikut tandon air kecil di rumah warga. Lokasi PKTD di 42 desa di Kabupaten Lombok Barat (8 desa), Lombok Tengah (6), Lombok Timur (6), Sumbawa Barat (3), Dompu (8), Kabupaten Bima (8), dan Lombok Utara (3).
Dari 42 desa sasaran tahun 2018 ditarget pembangunan 840 sarana jamban dan CPTS, tetapi realisasinya adalah 961 sarana jamban dan CPTS. Kemudian tahun 2019 targetnya 42 desa untuk 840 sarana jamban dan CPTS, yang realisasinya 972 sarana jamban dan CPTS. Program PKTD, kata Nurhandini, terus dilanjutkan guna memenuhi target 100 persen ODF.
Dorong daerah
Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto di Kantor Bupati Lombok Barat, Kamis (5/12/2019), seusai melakukan kunjungan kerja ke Desa Kuripan, Kecamatan Kuripan, Lombok Barat, mengutarakan arahan Presiden Joko Widodo, tengkes adalah salah satu isu kesehatan nasional yang harus diselesaikan.
Tengkes merupakan kondisi gagal tumbuh pada anak usia 100 hari sejak dalam kandungan hingga usia dua tahun karena kekurangan gizi kronis dan infeksi penyakit berulang.
Menurut Menkes, pemerintah akan menerapkan strategi percepatan dengan memperkuat usaha konvergensi intervensi terhadap penyebab langsung ataupun tak langsung. Dari situ, pemerintah optimistis dapat menurunkan angka tengkes hingga di bawah 20 persen pada 2024.
Untuk menekan tengkes, harus diperkuat langkah promotif dan preventif. Promotif lebih kepada kegiatan bersifat promosi kesehatan, sedangkan preventif untuk pencegahan.
Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan Kirana Pritasari mengatakan, pemerintah menargetkan angka tengkes bisa berada di bawah 20 persen pada 2024. Oleh karena itu, berbagai intervensi akan terus dilakukan.
Selain intervensi yang sama dengan daerah lain, akan ada juga intervensi yang bersifat lokal. ”Jadi inovasi-inovasi di daerah juga didorong. Di NTB, misalnya, ada posyandu keluarga,” kata Kirana.
Bupati Lombok Barat Fauzan Khalid mengatakan, mereka memang berusaha untuk terus menekan angka tengkes. Pada 2019, angka tengkes di Lombok Barat berada pada angka 23,2 persen. Angka itu turun relatif tinggi dari tahun sebelumnya, yakni 33 persen. ”Tahun 2024, kami menargetkan Lombok Barat bebas stunting,” ujarnya.
Untuk mewujudkan target itu, Fauzan mengatakan, mereka melakukan intervensi dari hulu, misalnya memberikan pil penambah darah untuk 48 sekolah serta mengadakan sarapan bersama satu kali seminggu. Siswa membawa sarapan sendiri dari rumah.
Tahun 2024, kami menargetkan Lombok Barat bebas stunting.
Guru membimbing mereka tentang makanan yang memenuhi syarat gizi dan kesehatan. Program ini merupakan kerja sama Dinas Kesehatan Lombok Barat dan Dinas Pendidikan Lombok Barat untuk secara berkala mengevaluasi langsung ke tingkat satuan pendidikan.
Intervensi hulu juga ditempuh melalui program Gamak atau Gerakan Anti- merarik Kodek (Gerakan Anti Menikah Muda). Desa menindaklanjuti dengan awig-awig (aturan) desa. Kalau ada yang telanjur menikah muda, dipisah. Kalau tidak bisa dipisah, pasangan muda usia itu disarankan menunda memiliki anak.