Benahi Celah-celah Penyelewengan
Masih terdapat sejumlah celah penyelewengan yang perlu dibenahi terkait anggaran dana desa, mulai dari pemberian kode wilayah desa hingga tahap penyaluran dana ke rekening desa yang melalui kas daerah kabupaten.
JAKARTA, KOMPAS — Anggaran dana desa yang mencapai Rp 70 triliun untuk lebih dari 74.000 desa di Indonesia dapat mendorong kesejahteraan masyarakat desa. Namun, masih ada sejumlah celah yang rentan diselewengkan mulai dari pengajuan kode wilayah hingga tahap penyaluran dana desa.
Penelusuran Kompas menemukan, penyelewengan-penyelewengan tersebut terjadi pada kasus penyaluran dana desa di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara.
Dari kasus Konawe, celah pertama adalah minimnya verifikasi keabsahan perda terkait pengajuan kode wilayah yang diusulkan pemerintah kabupaten sehingga dapat lolos di pemerintah provinsi hingga ke Kementerian Dalam Negeri. Kondisi ini dapat menjadi celah munculnya perda fiktif yang mendasari pemekaran desa-desa baru.
Baca juga: Rekayasa demi Dana Desa
Surat Rekomendasi Gubernur Sulawesi Tenggara tertanggal 10 Juli 2015 kepada Kemendagri perihal Rekomendasi Pemberian Kode Wilayah Desa di Kabupaten Konawe berujung pada penerbitan kode desa lewat Peraturan Mendagri Nomor 137 Tahun 2017 sehingga 56 desa di Konawe mendapatkan kode wilayah dan selanjutnya memperoleh kucuran dana desa mulai 2017. Padahal, pengajuan 56 desa tersebut berlandaskan Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2011 yang terbukti fiktif.
Kepala Biro Administrasi Pemerintahan Provinsi Sulawesi Tenggara Ali Akbar mengaku, saat 2015, pihaknya tidak memverifikasi keaslian perda yang disampaikan Pemkab Konawe. Menurut dia, pemerintah provinsi tidak memiliki tugas untuk memverifikasi keaslian perda.
”Bukan kewajiban provinsi (untuk verifikasi). Masa provinsi memeriksa yang bukan kewenangannya? Ketika pemkab sudah memenuhi semua persyaratan, kami pemprov ke kemendagri. Yang tahu soal perda adalah kabupaten sendiri. Tanggung jawab verifikasi itu ada di Kabag Hukum Konawe,” ujar Ali Akbar, saat ditemui di Kantor Pemprov Sultra, di Kendari.
Direktur Penataan dan Administrasi Pemerintahan Desa Kemendagri Aferi Syamsidar mengatakan, pihaknya tidak melakukan verifikasi keabsahan Perda No 7/2011. Sebab, menurut dia, Kemendagri hanya memproses secara administrasi semua dokumen yang diajukan pemkab kepada pemprov. ”Provinsi yang (semestinya) melakukan verifikasi faktual,” kata Aferi.
Baca juga: Data Fiktif Desa Mengarah Pidana
Padahal, merujuk Pasal 101 Peraturan Mendagri Nomor 120 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Permendagri No 80/2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah, Menteri dan Gubernur bahkan sudah harus melakukan verifikasi sejak rancangan perda disusun oleh pemkab yang bersangkutan.
Selain itu, Pasal 17 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mencantumkan, kebijakan daerah yang tidak sesuai dengan pedoman, norma, prosedur, dan kriteria yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat, pemerintah pusat wajib membatalkan kebijakan tersebut.
Baca juga: Desa yang Lengang dan Perda Akal-akalan
Permasalahan penyaluran
Celah lain adalah tidak adanya verifikasi faktual terhadap kondisi desa-desa di kabupaten yang semestinya tidak layak mendapat penyaluran atau bahkan sudah tidak ada lagi secara administrasi. Karena desa tersebut bermasalah, anggaran dana desa tidak disalurkan dari rekening kas umum daerah ke rekening desa atau serapan dana desanya nol rupiah. Akibat tidak adanya verifikasi faktual, dana desa tetap dianggarkan oleh pemerintah pusat pada tahun berikutnya.
Dari catatan Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT), ada 103 desa yang serapan dana desanya nol rupiah pada 2017, 66 desa pada 2018, dan 250 desa pada 2019. Dari jumlah itu, tiga desa di Konawe yakni Desa Ulu Meraka, Desa Uepai, dan Desa Moorehe tercatat dana desanya tidak tersalurkan sehingga mengendap di kas daerah Konawe. Desa Uepai sudah beralih menjadi kelurahan sedangkan Ulu Meraka sudah pindah ke kecamatan lain.
Adapun pada 2019, selain tiga desa itu, juga terdapat empat desa lainnya yang serapan dana desanya nol, yakni Desa Napooha, Desa Arombu Utama, Desa Wiau, dan Desa Lerehoma.
Baca juga: Mencari Jalan Pintas demi Dana Desa
Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Astera Primanto mengatakan, dalam menyalurkan dana desa dari Rekening Kas Umum Negara (RKUN) ke RKUD, pihaknya menggunakan acuan kode desa. Adapun penetapan jumlah kode desa itu ditentukan oleh Kemendagri.
Sejak 2015 hingga 2019, anggaran desa dari pemerintah terus meningkat. Sebagai gambaran, pemerintah menganggarkan Rp 20,7 triliun pada 2015, kemudian Rp 46,9 miliar pada 2016, Rp 60 triliun pada 2017, Rp 60 triliun pada 2018, dan Rp 70 triliun pada 2019. ”Mereka (Kemendagri) yang tentukan berapa jumlah desa yang layak untuk tahun anggaran sekian. Nah, berdasar hal itu, baru kami anggarkan,” ujar Astera.
Sekretaris Jenderal Kemendes PDTT Anwar Sanusi mengatakan, untuk bisa mencairkan dana desa, aparat desa harus memenuhi persyaratan, yakni membuat APBDes, rencana penggunaan dana desa, dan laporan penggunaan dana desa.
”Jika tercatat nol rupiah pada penyaluran dari RKUD ke rekening desa, artinya uang itu tidak masuk ke rekening desa atau masih berada di RKUD,” ujar Anwar.
Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah Kabupaten Konawe Santoso menjelaskan, Desa Ulu Meraka, Desa Uepai, dan Desa Moorehe urung mendapatkan penyaluran dana desa dari RKUD karena desa itu tidak pernah membuat laporan dana desa.
”Tiga desa ini sejak awal tidak pernah memperoleh penyaluran dana desa dari RKUD karena tidak ada laporannya. Dana desanya tetap tersimpan di RKUD,” ujar Santoso.
Padahal, seharusnya, apabila pada tahun 2017, tiga desa itu tidak membuat laporan, maka seharusnya tiga desa itu tidak akan mendapatkan jatah transfer dari RKUN ke RKUD lagi di tahun berikutnya. Meski penyaluran dari RKUD ke rekening desa tercatat nol rupiah, tetapi di tiga desa ini masih terus memperoleh jatah transfer dari RKUN ke RKUD pada 2018 dan 2019.
Baca juga: Miliaran Rupiah Dana Desa Ditampung di Kas Daerah Konawe
Hal senada juga dijelaskan oleh Astera. Ia mencontohkan, apabila suatu daerah mendapatkan pagu Rp 100 juta, tetapi penyerapannya hanya Rp 60 juta, pada tahun berikutnya, akan ada penyesuaian pagu sehingga daerah itu hanya dapat Rp 60 juta.
”Kalau tidak penuhi syarat, kabupaten tidak akan salurkan. Jika desa itu tidak menerima penyaluran, pada tahapan penyaluran pada tahun berikutnya, tentunya akan kami perhitungkan penyesuaian transfer,” kata Astera.
Santoso menjelaskan, BPKAD tidak punya kewenangan untuk menghentikan transfer RKUN ke RKUD untuk tiga desa itu. Seharusnya adalah tugas Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD) Kabupaten Konawe yang memberikan rekomendasi kepada kementerian Keuangan.
Kepala BPMD Kabupaten Konawe Keny Yuga Permana mengatakan, tiga desa itu memang tidak pernah lagi direkomendasikan mendapat penyaluran dana desa. Ia mengatakan, kewenangan penyaluran dari RKUD ke rekening desa, ada pada BPKAD Kabupaten Konawe.
”Tugas BPMD adalah memastikan proses penyaluran dan penggunaan dana desa digunakan dengan benar dan tepat,” ujar Keny.
Celah-celah ini membuat dana desa rentan disalahgunakan dan dikorupsi. Tidak hanya pada tingkat elite, tetapi juga sampai ke desa. Merujuk data Indonesia Corruption Watch (ICW), terdapat tren peningkatan kasus korupsi sejak 2015 atau saat dana desa mulai digulirkan hingga 2018. Rinciannya, 17 kasus korupsi pada 2015, kemudian ada 41 kasus pada 2016, 98 kasus pada 2017, dan 96 kasus pada 2018. Kasus-kasus itu menyebabkan kerugian negara mencapai Rp 84,9 miliar.
Pembenahan menyeluruh
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Na Endi Jaweng mengatakan, minimnya verifikasi faktual baik dari pemerintah pusat hingga daerah mulai dari pembentukan perda pemekaran desa hingga transfer dan penyaluran dana desa, menjadi akar persoalan. Kesemrawutan ini kemudian bisa menjadi celah terjadinya penyelewengan dari oknum pemburu rente dana desa.
”Verifikasi yang lemah ini menjadi celah. Kalau ada celah, ini jadi permainan oknum yang berpotensi jadi moral hazard. Pemerintah harus tanggapi ini dengan sangat serius,” ujar Robert Endi.
Ia mengatakan, kekacauan soal dana desa di Kabupaten Konawe ini bukan tidak mungkin terjadi di daerah lainnya. Sebab, Indonesia memiliki lebih dari 74.000 desa yang memperoleh dana desa. Apabila celah-celah ini tidak segera dibenahi, maka bukan tidak mungkin menimbulkan kerugian negara dan kerugian masyarakat karena tidak menikmati pembangunan yang seharusnya dari dana desa itu.
”Verifikasi yang lemah ini menjadi celah. Kalau ada celah, ini jadi permainan oknum yang berpotensi jadi moral hazard. Pemerintah harus tanggapi ini dengan sangat serius,” ujar Robert Endi.
Pemerintah harus melakukan pembenahan total mulai dari pemerintah pusat hingga ke pemerintah daerah. Ia mengusulkan pemerintah pusat untuk membuat satu data nomor induk desa sehingga tidak ada lagi perbedaan data jumlah desa di tiap instansi pemerintah. Selain itu agar penyaluran dana desa tepat sasaran kepada desa yang sah secara legal dan faktual.
Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari mengatakan, seharusnya Kementerian Dalam Negeri berperan aktif dalam memeriksa dan memverifikasi dasar hukum pembentukan desa, kondisi desa, dan kelayakan pemberian kode desa.
”Benar tidak dasar hukumnya? Benar tidak pemberian kode wilayah desanya? Seharusnya Kementerian Dalam Negeri yang memeriksa ini,” ujar Feri.
Baca juga : ”Nasi Matang” Bermasalah di Konawe
Mantan Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT) Eko Putro Sandjojo menyayangkan karena ulah segelintir oknum yang menyelewengkan dana desa, seakan-akan seluruh program dana desa ini buruk dan sarang korupsi.
”Kita punya lebih dari 74.000 desa. Kalau ada kasus penyelewengan sebanyak 1 persen saja, berarti ada 740 desa yang nakal, tapi 73.000 lainnya kan sungguh-sungguh menggunakan dananya untuk pembangunan,” tutur Eko.