Elektabilitas Kesampingkan Status Bekas Napi Korupsi
›
Elektabilitas Kesampingkan...
Iklan
Elektabilitas Kesampingkan Status Bekas Napi Korupsi
Bekas koruptor yang masih ngotot mencalonkan diri di pemilihan kepala daerah sudah jelas melanggar etika politik. Jadi, sekalipun tak ada yang melarangnya, partai politik dituntut mempertimbangkan etika politik itu.
Oleh
Dhanang David/Kurnia Yunita/I Gusti Agung
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ketiadaan larangan bagi bekas terpidana korupsi untuk maju dalam pemilihan kepala daerah membuka kemungkinan pemilihan selanjutnya akan kembali diwarnai calon pimpinan daerah berstatus bekas napi korupsi. Apalagi partai politik membuka ruang itu. Status pernah dipenjara karena korupsi bisa dikesampingkan asalkan elektabilitasnya tinggi.
”Tidak bisa dimungkiri bahwa target setiap partai adalah untuk memenangi proses pilkada (pemilihan kepala daerah). Kita pun tidak bisa membatasi hak seseorang untuk mencalonkan diri, apalagi jika bekas napi korupsi tersebut memiliki elektabilitas yang tinggi di daerahnya,” tutur Ahmad Doli Kurnia, fungsionaris Partai Golkar, saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (6/12/2019).
Sebelumnya, Kamis, KPU mengunggah Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pencalonan Pilkada di laman resmi KPU. Dalam aturan itu, tak ada larangan bagi bekas terpidana korupsi untuk maju di pilkada. Padahal, saat regulasi itu masih berupa rancangan, larangan itu dimasukkan oleh KPU.
Sebagai gantinya, PKPU No 18/2019 melimpahkan kepada partai politik terkait bekas napi korupsi yang ingin maju dalam pilkada. Pada Pasal 3A peraturan itu disebutkan, saat seleksi bakal calon kepala/wakil kepala daerah, bakal calon harus diutamakan bukan terpidana korupsi.
PKPU tersebut menjadi pedoman teknis bagi penyelenggara pemilu di daerah yang akan menyelenggarakan pilkada. Pilkada terdekat akan digelar tahun depan, di 270 daerah.
Doli melanjutkan, saat seleksi bakal calon, partai akan terlebih dahulu melakukan survei untuk melihat elektabilitas mereka. Jika ternyata saat survei bakal calon berstatus terpidana korupsi memiliki elektabilitas yang tinggi dan kansnya terpilih di pilkada besar, tak tertutup kemungkinan Golkar mengusungnya.
Tanggung jawab partai
Berbeda dengan Golkar, PDI-P dan Nasdem berjanji akan menolak bakal calon berstatus bekas terpidana korupsi di pilkada. Hal ini sekalipun tidak diatur di PKPU atau peraturan perundang-undangan lainnya.
”Kalau kemudian dikembalikan ke mekanisme partai, saya kira memang partai harus didorong agar mereka yang bekas terpidana korupsi itu tidak bisa menjadi calon. Dan, di PDI-P itu sudah pasti, jelas (akan ditolak), karena yang terpidana korupsi pun sudah dipecat di PDI-P, otomatis begitu,” kata Wakil Sekjen PDI-P Arif Wibowo.
Bahkan, tak hanya yang berstatus bekas napi korupsi, bakal calon yang dikenal berperilaku atau bersikap tidak baik di mata publik pun akan berat untuk bisa diloloskan jadi calon dari PDI-P. Untuk itu, PDI-P disebutnya sudah terbiasa menelusuri rekam jejak bakal calon sebelum partai memutuskan.
”Partai bertanggung jawab terhadap perekrutan dan seleksi para calon kepala/wakil kepala daerah. Berangkat dari hal itu, sudah menjadi kewajiban partai untuk memastikan calon yang dihadirkan ke publik terbebas dari masalah-masalah yang bisa membuat citra partai menjadi buruk,” ujarnya.
Sementara di Nasdem, menurut Wakil Ketua Umum Nasdem Ahmad M Ali, menolak bakal calon berstatus bekas napi korupsi di pilkada sudah lama dipraktikkan partai. Kebijakan serupa akan dilanjutkan di pilkada selanjutnya.
Untuk mengantisipasi bakal calon bekas napi korupsi masih coba diloloskan oleh pengurus Nasdem di daerah, pengawasan ketat diterapkan.
Dia menjelaskan, Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Nasdem hanya berhak mengusulkan nama-nama untuk diusung menjadi bakal calon kepala daerah. Adapun keputusan tetap di tingkat Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Nasdem.
Pada tahapan ini, pengurus DPP memeriksa rekam jejak bakal calon yang diusulkan DPD. Apabila terindikasi pernah terlibat kasus korupsi, bisa dipastikan bakal calon itu akan dicoret. Apalagi jika bakal calon itu berstatus bekas napi.
Larangan berikut mekanismenya itu pernah pula dipraktikkan saat Pemilu Legislatif 2019. Saat seleksi calon anggota legislatif (caleg) dari Jawa Barat, partai menemukan seorang calon yang terindikasi terkait kasus korupsi dan akhirnya partai memutuskan untuk menggugurkannya.
”Kendati dia calon potensial, kalau ada terindikasi korupsi, akan kami batalkan pencalonannya,” ucapnya.
Belum cukup
Sekalipun partai sudah memiliki mekanisme untuk melarang bekas napi korupsi maju di pilkada, Ali menilai hal itu belum cukup. Dia mendorong agar larangan diatur di Undang-Undang Pilkada.
Dengan diatur di undang-undang, lebih bisa dipastikan calon pimpinan daerah yang disodorkan oleh partai ke publik adalah calon-calon terbaik yang tidak pernah dipenjara karena korupsi.
”Hal itu penting karena masyarakat juga butuh keadilan dengan mendapat figur yang bebas dari rekam jejak korupsi,” ujar Ali.
Arif Wibowo yang kini menjabat Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi PDI-P membuka kemungkinan itu. ”Mungkin saja revisi Undang-Undang Pilkada Nomor 10 Tahun 2016 untuk memasukkan larangan itu,” lanjutnya.
Hanya saja, revisi tidak mungkin dilakukan saat ini karena tahapan Pilkada 2020 sudah berjalan. Jika revisi dipaksakan, tahapan berpotensi terganggu. Selain itu, sebelum memasukkan larangan tersebut, terlebih dahulu perlu dilihat revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. Revisi undang-undang ini sudah masuk Program Legislasi Nasional 2020-2024.
”Kalau revisi mengubah, memperbaiki, dan memperkuat kelembagaan partai, kaderisasi, perekrutan, dan seleksi anggota partai dan seterusnya, sebenarnya pada undang-undang yang menyangkut teknis penyelenggaraan pemilihan sudah selesai itu,” ucapnya.
Etika politik
Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro, menilai, eks koruptor yang masih ngotot mencalonkan diri di pilkada sudah jelas melanggar etika politik. Jadi, sekalipun tak ada aturan yang melarangnya, partai politik harus tetap mempertimbangkan etika politik tersebut.
Korupsi, katanya, merupakan perbuatan tercela dan menggerus moral politik. ”Partai politik harus mendidik rakyat dengan menyelenggarakan demokrasi yang substantif. Salah satu bentuk dari demokrasi substantif itu adalah dengan mengedepankan moral politik,” katanya.
Kendati demikian, dia pesimistis partai-partai politik akan berkomitmen mewujudkan etika politik itu. Pemilu tahun lalu menunjukkan bahwa etika dan moral politik belum menjadi ukuran penting bagi partai, salah satunya kehadiran bekas terpidana korupsi di antara caleg yang diusulkan partai.