Sebagian kalangan gusar dengan praktik demokrasi di Indonesia. Lalu muncul wacana mengembalikan sistem pemilihan eksekutif ke pemilihan tidak langsung. Padahal, solusi problem demokrasi ialah perbaikan partai politik.
Oleh
Ingki Rinaldi
·3 menit baca
Kegusaran sebagian kalangan itu didasari kecenderungan tingginya biaya politik. Kualitas pemimpin yang dihasilkan dari model pemilihan langsung juga dipertanyakan. Praktik politik uang relatif marak terjadi. Hal ini, bersama-sama dengan biaya politik yang tinggi, dipandang sebagai celah masuk dilakukannya tindak pidana korupsi.
Beberapa hal tersebut memunculkan sejumlah narasi untuk kembali ke model pemilihan di masa sebelum reformasi. Misalnya usulan kembali melakukan pemilihan presiden oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan pemilihan kepala daerah oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Namun, di tengah elite yang mendorong model pemilihan itu, ada persoalan lain yang perlu mendapat prioritas dibenahi. Partai-partai politik dinilai belum memberikan contoh ideal praktik demokrasi. Sebagian di antaranya terlihat dengan masa jabatan sebagian ketua umum partai politik yang berlangsung selama bertahun-tahun tanpa pernah diganti. Hal lain terkait dengan transparansi dan akuntabilitas sumber-sumber keuangan.
Hal ini menciptakan kondisi yang seolah paradoksal antara partai politik sebagai aktor paling berpengaruh bagi jalannya praktik demokrasi dan komitmen partai politik terhadap penegakan prinsip-prinsip demokrasi.
Christopher Meckstroth (2015) yang menulis buku The Struggle for Democracy: Paradoxes of Progress and the Politics of Change menyebutkan, demokrasi sering kali gagal tepat di mana satu pihak atau lebih bersikeras dengan hak mereka secara sepihak untuk memaksakan pilihan terkait dengan versi lembaga-lembaga ”demokratis”.
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Marsudi Syuhud dalam acara Satu Meja The Forum dengan topik ”Jalan Mundur Demokrasi?” yang ditayangkan Kompas TV, Rabu (4/12/2019) malam, mengatakan, pemilihan langsung melahirkan sejumlah ketegangan. Hal ini muncul dalam lingkup keluarga, kelompok masyarakat, dan organisasi.
Selain itu, imbuh Marsudi, korban yang ditimbulkan dalam pemilihan langsung tidak sedikit. Berikutnya adalah ongkos sosial yang mahal. Keempat, menurut Marsudi, menguatnya politik identitas atas nama agama.
Wacana agar pemilihan presiden kembali dipilih oleh MPR mengemuka antara lain setelah pertemuan pimpinan MPR dengan jajaran pimpinan PBNU, Rabu (27/11), di Jakarta.
Marsudi menggarisbawahi, jika terdapat persoalan dengan mudarat yang lebih besar, hal itu yang mesti diurus. Dalam hal ini, mengoreksi model pemilihan secara langsung dan mengembalikannya lagi kepada praktik pemilihan tidak langsung merupakan mitigasi risiko atas berbagai ancaman yang harusnya lebih diurusi.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengingatkan, pilihan masyarakat di sejumlah survei yang secara dominan masih tetap menginginkan model pemilihan secara langsung. Ia menegaskan bahwa pilihan rakyat untuk lebih memilih model pemilihan secara langsung relatif merata di semua tingkatan pemerintahan hingga provinsi dan kabupaten/kota.
Mode standar
Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah yang juga hadir dalam diskusi yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo itu mengajukan pertanyaan menggugah tentang kemungkinan adanya kerinduan cukup kuat untuk kembali pada tradisi non-demokrasi. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa Indonesia cenderung lebih lama hidup dengan model pemerintahan otoritarianisme.
”Saya agak curiga, default mode (mode standar) kita (bangsa Indonesia) ini senang dengan keterpimpinan absolute power (kekuasaan absolut),” sebut Fahri.Hal ini mewujud pada praktik penguatan negara dan kepemimpinan alih-alih berdialog kepada rakyat dan masyarakat sipil tatkala muncul permasalahan. Praktik dengan menarik segalanya ke dalam kekuasaan negara ini, imbuh Fahri, terkait tren konsolidasi otoritarianisme di sejumlah negara.
Tren itu, disebut Fahri, juga menguat di partai politik. Hampir semua partai politik terkonsolidasi kekuatannya dengan kepemimpinan absolut. Elite politik dengan mengatasnamakan rakyat cenderung ingin mengembalikan tradisi absolutisme itu.
Tokoh nasional Emil Salim menyebutkan, penyebab kecenderungan pilihan untuk kembali pada model kekuasaan absolut disebabkan partai-partai politik yang tidak demokratis. Ia mencontohkan pemimpin-pemimpin di sejumlah partai besar yang selama puluhan tahun menjadi ketua.
”Oleh karena itu, keadaan partai politik kita itu yang mesti diperberes,” ujar Emil.
Perbaikan ini termasuk transparansi sumber dana dan akuntabilitas keuangan dalam pemilu. Ia menyebutkan, terdapat dugaan tatkala menghadapi pilkada, maka tingkat korupsi bakal naik menyusul calon yang memerlukan uang dari donatur.
Solusi yang mesti diambil, imbuh Emil, ialah menyehatkan partai politik. Mengubah cara memilih presiden, dengan mengembalikannya kepada pilihan MPR dan kepala daerah kepada DPRD, dinilai sebagai langkah mundur. ”Mundurnya demokrasi kalau presiden dipilih MPR. Mundur besar. Supaya maju, partainya harus dibersihkan,” sebut Emil.
Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Ahmad Basarah mengingatkan agar demokrasi jangan dipahami secara linear. Akan tetapi, lebih sebagai proses sirkuler yang melahirkan tesis, antitesis, sintesis, dan seterusnya. Dinamika politik berubah. Ia mengatakan agar jangan alergi dengan gagasan dan pendapat dari berbagai kalangan.