Kekerasan Berbasis Jender Masih Luput dari Perhatian
›
Kekerasan Berbasis Jender...
Iklan
Kekerasan Berbasis Jender Masih Luput dari Perhatian
Kekerasan berbasis jender terus terjadi dan menimpa perempuan pekerja migran mulai dari pelecehan/kekerasaan seksual hingga pemerkosaan.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kekerasan berbasis jender yang dialami perempuan pekerja migran Indonesia di luar negeri masih luput dari perhatian pemerintah, dan masih dilihat sebagai hal yang terpisah dalam dunia tenaga kerja. Padahal kekerasan berbasis jender terus terjadi dan menimpa perempuan pekerja migran mulai dari pelecehan/kekerasaan seksual hingga pemerkosaan.
Selama ini, sebagian besar perempuan pekerja migran yang menjadi korban kekerasan berbasis jender tidak berani berbicara, apalagi melaporkan kasus-kasus kekerasan seksual yang dialaminya. Selama ini yang banyak dilaporkan lebih pada kasus-kasus yang terkait dengan pelanggaran ketenagakerjaan, eksploitasi kerja, kontrak yang tidak sesuai, atau gaji yang tidak dibayar.
“Berdasarkan pengamatan kami dan temuan kami di lapangan, khususnya ketika kami melakukan wawancara, contohnya dengan enam perempuan pekerja migran, hampir semua mengalami kekerasan berbasis jender, mengalami kekerasan seksual. Hanya saja mereka tidak melaporkan pemerkosaan dan pelecehan seksual yang dialami ketika mereka bekerja di luar negeri,” kata Nunik Nurjanah, National Program Officer UN Women Indonesia dalam Diskusi “Memastikan Migrasi Aman dan Adil untuk Perempuan Pekerja Migran” di Jakarta, Kamis (5/12/2019).
Mereka tidak melaporkan pemerkosaan dan pelecehan seksual yang dialami ketika mereka bekerja di luar negeri.
Selain Nunik, juga tampil sebagai pembicara Saiti Gusrini (Senior Programme Manager European Instrument for Democracy and Human Rights, Uni Eropa), Eva Trisiana (Direktur Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Luar Negeri, Direktorat Jenderal Pembinaan Penempatan dan Perluasan Kerja Kementerian Tenaga Kerja), R Wisantoro (Direktur Pelayanan Pengaduan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia/BNP2TKI), Maizidah Salas (Pengurus DPN Serikat Buruh Migran Indonesia), dan Ida Neni Wahyuni (purna pekerja migran Indonesia).
Menurut Nunik, kekerasan berbasis jender tidak banyak terungkap karena isu tersebut dianggap seolah-olah terpisah dari isu migrasi dan pelanggaran kerja. Para perempuan yang mengalami kekerasan seksual dan pemerkosaan pun tidak berani berbicara.
“Itu diketahui setelah diwawancara, dan mereka mengakui itu. Ketika mereka tidak melaporkan, itu sebetulnya merupakan bahaya yang besar dan efeknya sangat sayangnya. Karena korban-korban, para purna pekerja migran mengalami trauma, yang penyelesaiannya tidak pernah mereka terima,” kata Nunik.
Ketika ditanya, mengapa tidak mau melapor, rata-rata para korban menjawab mereka takut disalahkan dan dideportasi. Ketika dipulangkan mereka khawatir mendapat stigma disalahkan oleh lembaga-lembaga layanan.
Ketika ditanya, mengapa tidak mau melapor, rata-rata para korban menjawab mereka takut disalahkan dan dideportasi.
Nunik mencontohkan ada kasus yang menimpa seorang pekerja migran Indonesia di Malaysia yang menjadi korban perdagangan orang, melarikan diri dan melapor ke KBRI, ceritanya malah dianggap halusinasi.
Dalam diskusi tersebut Ida Neni yang pernah menjadi pekerja migran Indonesia ke Malaysia dan Singapura menuturkan ketika berangkat ke luar negeri dia tidak mengetahui jika dirinya ilegal. Diberangkatkan dari Batam ke Singapura seperti berlibur, tapi ketika sampai di Singapura sudah ada yang menjemput dan dikurung di sebuah tempat hingga mendapat majikan.
“Dalam keadaan sakit saya harus bekerja,” ujar Ida yang mengaku gajinya tidak dibayar serta berbagai perlakuan buruk yang dialaminya.
Eva mengungkapkan bahwa pemerintah berupaya melakukan perbaikan terkait pelayanan pekerja migran Indonesia di luar negeri. Di dalam negeri, untuk melindungi pekerja migran hingga kini pemerintah berkomitmen mengoptimalkan program desa migran produktif (desmigratif). Saat ini sudah ada 402 desmigratif di berbagai daerah.
Panduan pelatihan
Diskusi dalam rangka 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan juga dirangkaikan dengan Peluncuran “Panduan Pelatihan bagi Penyedia Layanan untuk Perempuan Pekerja Migran Korban Kekerasan” yang dihadiri Jamshed Kazi (UN Women Representative and Liaison to ASEAN), Michiko Miyamoto, Director of ILO Country Office of Indonesia and Timor Leste, dan Hans Farnhammer (First Counsellor). Dari pemerintah hadir Rafail Walangitan, Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan (PHP) dalam Ketenagakerjaan pada Deputi PHP Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA).
Panduan Pelatihan Penguatan Kapasitas Penyedia Layanan untuk Perempuan Pekerja Migran Korban Kekerasan telah diuji coba untuk melatih anggota Gugus Tugas Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), organisasi perempuan, organisasi buruh migran, dan perusahaan penempatan (P3MI) di Jawa Barat.
Selain pendekatan yang berpihak kepada korban dan menempatkan mereka sebagai subjek utama layanan, panduan tersebut juga untuk memberikan pengetahuan dan keterampilan bagi penyedia layanan tentang bagaimana berkomunikasi secara efektif dan menghindari pernyataan yang menstigma dan menyalahkan korban.
Jamshed Kazi, mengatakan meskipun kontribusi pekerja migran Indonesia terhadap ekonomi daerah dan nasional signifikan, masih banyak di antara perempuan pekerja migran menghadapi risiko kekerasan, diskriminasi dan eksploitasi sepanjang siklus migrasi mereka.
Masih banyak di antara perempuan pekerja migran menghadapi risiko kekerasan, diskriminasi dan eksploitasi sepanjang siklus migrasi mereka.
“Kami percaya bahwa modul ini akan relevan dan berguna bagi penyedia layanan garda depan untuk memberikan panduan dan dukungan kepada perempuan pekerja migran dalam melindungi dan memenuhi hak-hak mereka untuk bebas dari kekerasan,” katanya.
Adapun Rafail mengungkapkan KPPPA hingga kini berkomitmen untuk secara aktif meningkatkan kualitas hidup setiap perempuan termasuk pekerja migran, termasuk menyediakan kondisi yang lebih baik bagi semua pekerja migran, terutama pekerja migran perempuan.
Rafail mengutip data BNP2TKI (September 2019), dari total 22.796 orang PMI yang berangkat ke luar negeri, 64 persenadalah perempuan. Mereka memang berkontribusi pada pembangunan ekonomi, memberi negara itu 10,97 miliar dolar AS per tahun. Namun diakuinya, karena tidak memiliki keterampilan dan pengetahuan yang memadai, banyak dari pekerja migran menghadapi banyak masalah.
“Perempuan pekerja migran rentan terhadap kekerasan, diskriminasi, eksploitasi, pelecehan berbasis gender, dan menjadi korban perdagangan orang,” katanya.