Kisruh antara Dewan Pengawas dan Direksi TVRI kembali terjadi. Diharapkan tidak ada intervensi politik dalam penanganan konflik internal ini.
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·4 menit baca
Kisruh antara Dewan Pengawas dan Direksi TVRI kembali terjadi. Diharapkan tidak ada intervensi politik dalam penanganan konflik internal ini.
JAKARTA, KOMPAS — Kisruh pemberhentian sementara Direktur Utama TVRI Helmy Yahya secara mendadak oleh Dewan Pengawas TVRI jangan sampai mengganggu hak publik atas pelayanan siaran di seluruh stasiun TVRI. Pelaksana Tugas Harian Direktur Utama mesti memastikan bahwa seluruh operasional TVRI tetap berjalan baik.
Beredarnya Surat Keputusan Dewan Pengawas (Dewas) Lembaga Penyiaran Publik (LPP) TVRI Nomor 3 Tahun 2019 tentang Penetapan Non Aktif Sementara dan Pelaksana Tugas Harian Direktur Utama LPP TVRI Periode 2017-2022 Helmy Yahya sangat mengejutkan. Sekali lagi, kisruh antara Dewas dan Direksi TVRI kembali terjadi setelah akhir tahun 2013 dan awal 2014 terjadi pemecatan jajaran Direksi oleh Dewas TVRI dan pemecatan Dewas TVRI oleh Komisi 1 DPR.
”Keputusan ini (penonaktifan sementara) menunjukkan adanya problem struktural yang tajam antara dua entitas organisasi tertinggi yang mengelola TVRI (Dewas dan Direksi) yang tidak bisa diselesaikan secara musyawarah. Situasi seperti ini juga pernah terjadi di LPP bekas lembaga penyiaran pemerintah di negara transisi demokrasi, seperti di India dan Thailand,” tutur Pendiri Rumah Perubahan LPP sekaligus Doktor Kajian Sistem Penyiaran Publik di University of Munich, Masduki, Kamis (5/12/2019), kepada Kompas di Jakarta.
Keputusan ini (penonaktifan sementara) menunjukkan adanya problem struktural yang tajam antara dua entitas organisasi tertinggi yang mengelola TVRI (Dewas dan Direksi).
Menurut Masduki, berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2002 Pasal 14 Ayat (7), Dewas memang memiliki otoritas penuh untuk mengangkat dan memberhentikan Dewan Direksi. Meski demikian, selaku pemegang mandat publik, Dewas harus menjelaskan secara terbuka alasan di balik pemberhentian sementara tersebut agar tidak menimbulkan kebingungan. Surat Keputusan Dewas tidak menyebutkan secara spesifik alasan pemberhentian sementara dan mekanisme prosedural yang telah ditempuh Dewas sebelum memutuskan pemberhentian.
Helmy melawan balik
Surat keputusan pemberhentian sementara Helmy Yahya tersebut ditandatangani Ketua Dewas TVRI Arief Hidayat Thamrin, Rabu (4/12/2019). Selang sehari, Helmy langsung menanggapi surat tersebut dengan surat Nomor 1582/I.1/TVRI/2019 yang menyebut SK Dewas TVRI cacat hukum dan tidak mendasar.
”Pemberhentian anggota Direksi sesuai Pasal 24 Ayat (4) disebutkan anggota Dewan Direksi dapat diberhentikan sebelum habis masa jabatannya, apabila: tidak melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, terlibat dalam tindakan yang merugikan lembaga, dipidana karena melakukan tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22. Sementara dasar rencana pemberhentian oleh Dewas kepada saya tidak memenuhi salah satu pun dari poin-poin di atas,” ujar Helmy.
Dasar rencana pemberhentian oleh Dewas kepada saya tidak memenuhi salah satu pun dari poin-poin di atas.
Oleh karena itulah, meski Dewas TVRI telah menjatuhkan SK penonaktifan, Helmy sampai dengan Kamis (5/12/2019) malam masih tetap mengklaim diri sebagai Direktur Utama TVRI yang sah periode 2017-2022 bersama lima anggota direksi lainnya. Mereka tetap akan melaksanakan tugas-tugas harian.
Lembaga independen
Mengingat independensi TVRI sebagai LPP, diharapkan tidak ada intervensi politik dalam penanganan konflik internal ini. ”Pihak-pihak di luar TVRI, terutama para politisi di Senayan (Komisi I DPR), hendaknya menahan diri untuk tidak melakukan intervensi secara langsung kepada TVRI. Becermin dari kasus 2013-2014, intervensi ini membuka konflik yang lebih panjang dan rumit sekaligus berdampak pada krisis anggaran TVRI,” tambah Masduki.
Demikian pula, para pihak yang berkonflik diharapkan tidak melibatkan institusi politik, baik pemerintah maupun parlemen, karena hal tersebut akan mencederai prinsip utama LPP sebagai lembaga yang independen. Karena itu, mekanisme musyawarah internal, mekanisme hukum di luar mekanisme politik (jika musyawarah mentok), adalah solusi yang lebih baik untuk menyelesaikan persoalan ini.
”Beri kesempatan kepada Dirut TVRI untuk membela diri atau melakukan eksaminasi keputusan Dewas ke pengadilan negeri. Para pihak harus memahami dan menjaga marwah TVRI sebagai lembaga milik publik, bukan lembaga politik,” ujarnya menambahkan.
Becermin dari kasus ini, mendesak dilakukan revisi UU 32 Tahun 2002 terkait tata kelola LPP dan secara khusus juga revisi PP Nomor 13 Tahun 2005 terkait TVRI. Revisi bertujuan memperjelas mekanisme pengangkatan, pemberhentian, dan monitoring kinerja Dewas dan direksi dan memastikan agar lembaga ini harus mendapat kontrol yang memadai dari publik, misalnya melalui pembentukan Dewan Khalayak di mana Dewas bisa menggali masukan publik sebelum membuat keputusan.