Suku ini dikenal memiliki berbagai kekayaan budaya yang masih kental, mulai dari ritual alam, upacara adat, seni ukir, anyaman, hingga tarian.
Oleh
Deonisia Arlinta
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Suku Kamoro merupakan salah satu suku di Papua yang terkenal dengan seni ukir yang sangat bernilai. Ukiran yang dihasilkan tidak sekadar sebagai karya seni, tetapi juga dipercaya sebagai penghubung dengan leluhur.
Sayangnya, karya ini justru lebih dikenal oleh orang asing daripada masyarakat dalam negeri. ”Lebih sering orang dari luar (negeri) yang cari ukiran dari Kamoro. Peminat dari dalam negeri tidak banyak,” ujar Herman Kiripi (40), salah satu pengukir dari suku Kamoro yang juga Ketua Yayasan Maramowe Weaiku Kamorowe, di sela-sela acara Pameran dan Lelang Seni Ukir dan Anyaman Suku Kamoro, di Jakarta, Kamis (5/12/2019).
Pameran diselenggarakan Yayasan Lontar bersama dengan Yayasan Maramowe Weaiku Kamorowe dan PT Freeport Indonesia di Dharmawangsa Residences, Jakarta, Kamis-Sabtu, 5-7 Desember 2019. Setidaknya ada 150 karya yang dipamerkan, meliputi karya ukir dan karya anyaman. Nantinya, seluruh hasil yang diperoleh dari pameran akan digunakan untuk pengembangan para pengukir dan pelestarian seni budaya Kamoro.
Dalam pameran juga berlangsung lelang karya seni dari para pengukir suku Kamoro. Ada dua karya seni yang dilelang, yakni eme atau gendang khas Papua dan yamate uwou atau perisai berbentuk naga. Keduanya dilelang seharga Rp 3,5 juta dan Rp 1,5 juta.
Pendiri Yayasan Maramowe Weaiku Kamorowe, Luluk Intarti, mengatakan, suku Kamoro merupakan suku yang berada di wilayah pesisir Papua di Kabupaten Timika. Suku ini dikenal memiliki berbagai kekayaan budaya yang masih kental, mulai dari ritual alam, upacara adat, seni ukir, anyaman, hingga tarian. Sebagian besar karya ukir yang dihasilkan dituangkan pada barang yang digunakan setiap hari, seperti perisai, dayung, perahu, dan gendang (eme).
Ada pula ukiran yang dibuat secara khusus sebagai bagian dari ritual adat setempat. Ukiran khusus itu dibuat dalam bentuk Wemawe atau patung yang berbentuk seperti manusia dan Mbitoro atau totem yang digunakan dalam adat pendewasaan seorang anak.
”Wemawe dan Mbitoro bisa menjadi wujud leluhur kami. Lewat keduanya, kami ingin meminta keselamatan dari leluhur agar terhindar dari hal buruk dan bahaya,” ucapnya.
Regenerasi
Meski memiliki nilai budaya yang tinggi, Luluk menuturkan, masalah regenerasi para pengukir dari suku Kamoro menjadi perhatian saat ini. Anak muda Kamoro kini lebih tertarik menggunakan teknologi dalam telepon pintar daripada belajar mengukir bersama orangtuanya.
Untuk mengatasi hal itu, ia pun berupaya mendorong kesadaran anak muda untuk kembali belajar mengukir melalui film. Dalam film ini, dikisahkan seorang anak yang mendapatkan teguran dari leluhur karena sudah meninggalkan kebiasaan mengukir yang telah diwariskan secara turun-temurun.
Direktur Eksekutif Yayasan Lontar Yuli Ismartoro berharap, masyarakat luas bisa semakin mengenal keberagaman budaya Indonesia, termasuk budaya Kamoro melalui pameran dan lelang seni ukir suku Kamoro yang diselenggarakan kali ini. Selain itu, generasi muda suku Kamoro pun bisa semakin sadar untuk terus melestarikan budaya leluhur.
”Karya seni suku Kamoro merupakan bentuk penuturan yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kami harap, pengetahuan tentang tradisi suku Kamoro tidak lenyap karena kearifan lokal seperti ini bisa berkontribusi besar pada kekayaan intelektual bangsa Indonesia,” tuturnya.