Peran-peran perempuan dalam komunitas tidak hanya terbatas pada peran-peran tradisional dan sosial. Dalam ruang politik dan keamanan, perempuan memiliki peran penting.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·3 menit baca
NUSA DUA, KOMPAS —Keterlibatan perempuan dalam demokrasi dinilai mampu membuat sistem itu menjadi lebih inklusif. Menteri Luar Negeri RI Retno LP Marsudi dalam panel diskusi menteri Bali Democracy Forum Ke-12 di Nusa Dua, Bali, Kamis (5/12/2019), mengatakan, peran perempuan penting dalam membangun rasa percaya dan mempromosikan dialog.
”Ketika perempuan terlibat dalam upaya membangun perdamaian, negosiator, 35 persen perjanjian akan bertahan sekitar 15 tahun,” kata Retno.
Retno mengatakan, peran lebih yang diberikan kepada perempuan memungkinkan tumbuhnya pendekatan-pendekatan yang lebih positif. ”Ketika perempuan menjadi pembuat kebijakan, mereka lebih kecil kemungkinan untuk menggunakan pendekatan yang agresif. Perempuan juga menggunakan pendapatan untuk berinvestasi dalam pemberdayaan ekonomi, mengentaskan rakyat dari kemiskinan, dan investasi pendidikan anak,” katanya.
Pemberdayaan perempuan, menurut Retno, akan meningkatkan demokrasi yang inklusif suatu negara. Berdasarkan riset Kementerian Luar Negeri terhadap 209 negara dan entitas, suatu negara akan semakin berketahanan jika memiliki kebebasan dan inklusivitas lebih.
Peran perempuan
Wakil Perdana Menteri serta Menteri Hubungan Internasional dan Kerja Sama Namibia Netumbo Nandi-Ndaitwah menyampaikan, banyak pihak yang belum memahami bahwa selain isu sosial, isu perempuan masuk pula dalam ranah keamanan. Paradigma itu muncul ketika Namibia menginisiasi pembahasan Resolusi 1325 di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 2000.
Resolusi 1325 membahas dampak konflik terhadap perempuan dan anak perempuan serta peran perempuan dalam pencegahan konflik, pembuatan perdamaian, dan pembangunan perdamaian. ”Akhirnya, untuk pertama kalinya, perempuan tidak lagi dianggap hanya sebagai korban, tetapi pembuat dan pembangun perdamaian,” kata Nandi-Ndaitwah.
Menteri Luar Negeri serta Menteri Perempuan Australia dan juga anggota Partai Liberal, Marise Payne, menjelaskan, saat ini, Senat Australia terdiri dari 50 persen perempuan dan 50 persen laki-laki. Sementara komposisi perempuan di DPR mencapai 30 persen.
”Partai yang saya wakili berupaya untuk memastikan perempuan memiliki kesempatan di berbagai posisi kunci sebagai pemimpin. Kami yang telah menjabat berupaya untuk meninggalkan jejak bagi perempuan lain untuk maju dan tidak menutup kesempatan bagi mereka,” kata Payne.
Menteri Luar Negeri Kenya Monica Juma menambahkan, Kenya menyadari betul keunggulan peran perempuan itu. Peran pemimpin yang sadar akan peran perempuan pun menjadi sangat menentukan partisipasi perempuan dalam demokrasi. Untuk itu, Pemerintah Kenya menyediakan jalur pendanaan khusus bagi perempuan dan anak muda.
”Pemerintah Kenya menyadari pendidikan sebagai kunci utama mengingat krisis dapat membuat perempuan dua atau tiga kali lipat mudah keluar dari sekolah,” kata Juma. Menurut dia, masyarakat tidak akan sejahtera jika setengah anggotanya yang merupakan perempuan tidak diberdayakan.
Lawan oligarki
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini mengatakan, di Indonesia, keberadaan perempuan dalam politik dapat mengurangi oligarki. Meskipun begitu, memang tidak bisa dibantah ada pejabat perempuan yang menjabat karena oligarki itu sendiri.
”Namun, perempuan membuat kita lebih mampu melawan oligarki. Hal ini karena perempuan sebagai minoritas dalam dunia politik yang berarti keterlibatan mereka membuka akses yang lebih inklusif sehingga dominasi kelompok elite berkurang,” ujar Titi.
Titi mengatakan, di Indonesia, perlu itikad baik dari petinggi partai untuk memberi ruang pada perempuan melalui kaderisasi sejak awal, bukan hanya menjelang pemilihan. Pada akhirnya, eksistensi partai politik dan perempuan saling berkaitan.