Adipati Sukma Pergi ke Surga
Jiwa manusia adalah jiwa yang bebas berkelana. Tidak diatur oleh siapa pun termasuk oleh sang pemilik tubuh. Jiwa atau ruh itu berdiri atas kehendaknya sendiri. Bahkan terkadang bisa mengatur tubuh manusia untuk berbuat.
Aku tak tahu apa yang harus kuperbuat. Sebab ketakutan telah menjalar ke diriku. Bau anyir darah yang menusuk hidung, mayat-mayat yang bergelimpangan, juga mesiu yang berserakan di tanah. Semuanya serupa kiamat. Tak ada kehidupan lagi di sini. Hanya aku yang mungkin selamat. Selebihnya mayat-mayat manusia yang teronggok. Dan mereka tidak mungkin bisa kusebut manusia karena mereka sudah kehilangan satu hal yang terpenting dari hidup yaitu nyawa.
Mesiu. Apa kau tak percaya jika mereka menggunakan senjata api untuk menyerang kami? Meskipun banyak orang yang tak percaya, tapi kenyataannya memang begitu. Mereka menggunakan senapan entah buatan mana. Tapi yang pasti kebanyakan senjata mereka berwarna hitam legam. Selain itu, suara letupan dari bedil itu juga begitu keras. Saling berkejaran antara suara satu bedil dan bedil yang lain. Aku tak tahu dimulai entah dari mana.
Penyerangan itu begitu menyakitkan. Kadipaten ini diserang akibat dari kecerobohan sekelompok orang yang menganggap bahwa kekuasaan atas suatu daerah (kami menyebutnya wilayah tanah kehidupan) hanya bisa dipertahankan dengan pertumpahan darah. Setiap perjuangan harus didasarkan pada gejolak dan amarah. Begitulah yang sering kudengar ketika mereka memprotes jalan yang akan dipilih Adipati Sukma− orang yang memimpin kadipaten ini. Adipati Sukma memilih jalan untuk berunding dan duduk bersama agar tidak ada korban. Bukankah satu nyawa lebih penting dari sebuah kemenangan?
Ah tidak. Jika kau merasa aku keras kepala, akan kumaklumi. Karena bagiku lebih baik kadipaten ini dirampas kekuasaannya daripada harus mengorbankan nyawa. Nyawa adalah kehendak dari Gusti. Sementara kekuasaan terlahir dari sebuah kepentingan manusia. Jika ingin dibandingkan, lebih penting mana antara nyawa yang memang sudah ditakdirkan untuk lahir daripada sebuah penjajahan. Terlebih akan banyak nyawa yang melayang jika terjadi peperangan.
“Anyir darah dan kematian yang tercipta karena kebencian tak akan pernah terampuni, Jatmika.”
Begitulah yang selalu disampaikan Adipati Sukma padaku. Sebuah pernyataan yang kupegang teguh. Apa yang dikatakannya bagiku adalah sebuah sabda. Serupa ajaran yang harus diamalkan dan aku selalu memercayainya sebagai sebuah nasihat sekaligus kuanggap sebagai perantara dari Gusti padaku.
Bagiku, Adipati Sukma adalah seorang pemimpin yang sebenar-benarnya pemimpin. Ia tak pernah memercayai apalagi menerima setiap bujukan yang mengarah pada pembunuhan dan pencabutan nyawa manusia. Setiap ada ajakan untuk berperang pasti selalu ditolaknya dengan keras.
Ah bukan berperang, lebih tepatnya melawan gerilyawan yang datang entah dari mana ia berasal. Baginya, sebuah pembunuhan adalah perbuatan keji yang tak akan diampuni dan pembunuhan juga akan melahirkan teror yang amat menakutkan. Teror itu bisa datang dalam wujud khayalan, yakni arwah dari sang mati akan membayangi setiap gerak pembunuhnya. Selain itu, yang lebih sering adalah teror yang muncul dari diri sang pembunuh itu sendiri yakni sebuah rasa bersalah yang tak terampuni oleh jiwa mereka sendiri.
Jiwa manusia adalah jiwa yang bebas berkelana. Tidak diatur oleh siapa pun termasuk oleh sang pemilik tubuh. Jiwa atau ruh itu berdiri atas kehendaknya sendiri. Bahkan terkadang bisa mengatur tubuh manusia untuk berbuat. Hal inilah yang membuat Adipati Sukma begitu menghargai sebuah nyawa. Tidak ada yang memiliki hak merampas jiwa manusia selain Gusti.
Namun hal itu tak membuat para kelompok keras kepala luluh. Setiap apa yang diucapkan oleh Adipati Sukma selalu tidak diterima oleh mereka. Padahal mereka adalah bagian dari kadipaten yang haruslah mengikuti setiap perkataan pemimpinnya. Mereka bersikeras bahwa jika kami tunduk apalagi harus berunding, maka mereka takut jika kami kelak akan ditipu. Sebuah muslihat yang direncanakan oleh pihak seberang yang berunding.
Hal itu bisa saja terjadi karena mereka pasti berpikiran bahwa Adipati Sukma tidak akan berbuat yang demikian. Ia tidak akan menipu. Mereka tahu, karena hal itu adalah sebuah tindakan yang mustahil dilakukan. Sikap menerima Adipati Sukma mudah untuk dikelabuhi pihak seberang. Selain itu, mana mungkin dari perangai Adipati yang baik budi dan tindakannya itu akan melakukan hal yang buruk. Mungkin hal yang paling dibisa diandalkan darinya adalah sikap was-was dan telaten. Tapi hal itu dianggap tidak cukup oleh mereka.
“Adipati Sukma, tolong sekali ini saja kabulkanlah permintaan kami.”
“Apakah dengan aku mengabulkan apa yang kalian inginkan dapat menjanjikan sebuah kehidupan yang tenang dan nyaman bagi keberlangsungan hidup masyarakat di kadipaten?” tanya Adipati Sukma menanggapi permintaan mereka untuk melakukan penyerangan daripada harus berunding karena ketakutan mereka pada keputusan yang diambil Adipati Sukma. Apalagi ketakutan mereka semakin membumbung jika saja pihak seberang menjalankan tipu muslihat.
Tak ada jawaban selanjutnya. Aku yang berada di samping Adipati Sukma memilih menunduk dan mendengarkan dengan seksama apa yang sedang mereka perbincangkan. Untuk sekadar menyela pun aku tak berani. Hal itu karena rasa hormatku pada Adipati Sukma. Terlebih karena aku tak ingin mengambil keputusan yang salah. Saat itu, aku menganggap bahwa diam adalah nisbi sebuah kemaslahatan.
“Sebuah peperangan hanya akan mendatangkan korban. Apakah kalian ingin mati?” Tiba-tiba Adipati Sukma memecah keheningan, “memang benar jika kematian itu pasti adanya. Tapi bukan kita yang berhak menghadirkan kematian itu. Terlebih kita hanyalah makhluk ciptaan yang lemah.”
“Baiklah jika Adipati tidak mau mengabulkan permintaan kami. Tapi kami tidak akan berhenti sampai di sini. Bukankah mereka itu licik? Apalagi jika harus berunding, bukankah itu sama saja menyerahkan harga diri kita pada mereka,” jawab salah satu dari mereka.
Lantas mereka pun pergi meninggalkan perbincangan dengan Adipati Sukma. Aku masih tetep memilih untuk diam dan menunggu apa keputusan dari Adipati Sukma. Aku yakin ia akan bisa memilih jalan yang sebenar-benarnya baik untuk kami dan demi keberlangsungan kadipaten ini.
Selepas kelompok keras kepala itu pergi, suasana menjadi hening. Adipati Sukma tampak berpikir keras dan mencoba menemukan jalan keluar. Itu kudengar dari lenguh napasnya. Lenguh napas panjang seseorang yang gelisah. Memang, kegelisahan dapat didengarkan dengan seksama jika kita memahami alam. Terlebih apa yang kita dengarkan itu adalah hasil kegelisahan yang harus mendapat jalan keluar.
“Kita akan tetap berunding dengan pihak seberang. Semoga saja orang-orang keras kepala itu tidak berbuat di luar kendali,” Adipati Sukma berbicara dengan nada yang lembut. Serupa ucapan manusia yang pasrah akan keadaan. Tapi itu tak mungkin dilakukannya. Kau yakin bahwa Adipati Sukma sedang berpikir agar mendapatkan jalan yang terbaik.
Aku mendengarkannya dengan seksama. Lalu menatap sekeliling. Dan semua orang yang mendengar tampak terkesima dengan keputusan Adipati Sukma. Kukira hanya orang-orang keras kepala itulah yang tak peduli sama sekali dengannya. Sebuah kekeraskepalaan yang akut. Sebenarnya mereka juga dihargai oleh Adipati Sukma. Sebab mereka juga bagian dari kadipaten. Hal itulah yag mendasari bahwa Adipati Sukma tidak membeda-bedakan. Untuk sebutan orang keras kepala− itu adalah sebutan dariku− karena aku tidak menyukai apa yang mereka lakukan. Apa yang mereka inginkan bagiku di luar kewajaran. Mereka selalu saja menginginkan pertempuran dalam memepertahankan kadipaten ini.
Namun apa yang ditakutkan oleh Adipati Sukma dan tentu saja olehku tak dapat terhindarkan. Kudengar kabar ketika ada yang melaporkan pada Adipati Sukma bahwa orang-orang keras kepala itu sudah berangkat secara diam-diam untuk menyerang pihak seberang. Padahal perundingan baru akan dilakukan dalam waktu sepasar1) mendatang. Tentu saja hal itu membuat kegaduhan di dalam pemerintahan di kadipaten. Sebuah tindakan yang ceroboh dan memantik amarahku.
Adipati Sukma tampak begitu cemas. Aku memandangnya dengan lekat. Di dalam kecemasannya itu, tak tampak sebuah amarah. Sebuah sikap yang bagiku sangat bijaksana dan pantas ditiru. Tapi dalam hal ini, aku masih menunggu apa keputusan yang akan diambilnya. Apakah akan mengikuti jejak orang-orang keras kepala itu atau menunggu apa hal yang akan terjadi sebelumnya. Sebab setahuku− jika sebuah janji dan kesepakatan diingkari− tentu saja akan melahirkan sebuah amarah. Dan hal yang paling kutakutkan saat ini ialah pihak seberang akan menyerang kadipaten karena mereka merasa ditipu dan dilecehkan. Sebab di dunia ini, pengingkaran sebuah janji adalah sebuah pelecehan dan penghinaan yang tak dapat terampuni.
“Sebaiknya kita menunggu saja. Jangan gegabah. Semoga saja tidak terjadi apa-apa.” Begitulah keputusan yang diambil oleh Adipati Sukma. Tentu saja aku menuruti apa perkataannya.
Nahas. Segalanya telah terlambat. Ternyata pihak seberang terbakar amarahnya oleh orang-orang kepala. Tak lama setelah orang-orang keras kepala itu masuk ke pihak seberang, amarah mereka berkobar. Ketakutanku akhirnya terjadi. Kadipaten ini diserbu oleh pihak seberang. Adipati Sukma yang semula tenang-tenang saja berubah menjadi begitu gelisah dan memutuskan untuk melawan pihak seberang. Tapi karena keterbatasan pada persenjataan, akhirnya kematian tak terhindarkan.
Dan pada akhirnya, karena kekeraskepalaan mereka yang semula kami ajak berjuang bersama, malah menghancurkan kadipaten ini. Karena mereka yang keras kepala itu, pihak seberang tersulut untuk menyerang. Bukankah sebaiknya mereka bisa menahan pertempuran. Seperti yang kukatakan di awal, bahwa amarah akan meluluhlantakkan kedamaian. Terlebih menyebabkan kematian.
Dan pertanyaanku adalah dari apakah manusia keras kepala itu tercipta?
Aku masih tak percaya dengan apa yang terjadi. Ruap anyir darah dan bau mesiu semakin dalam menusuk hidungku. Aku menatap sekeliling. Mencoba mencari di mana Adipati Sukma berada. Apakah ia masih hidup dan dibawa oleh pihak seberang atau mati bersama yang lain. Mataku menyapu sekeliling. Tak menemukan Adipati Sukma di antara mayat-mayat yang ada. Apakah ia dibawa Gusti naik ke surga?
________________________
Eko Setyawan, lahir di Karanganyar, 22 September 1996.
Mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia FKIP UNS.
Bergiat di Komunitas Kamar Kata Karanganyar.
Menerima penghargaan sebagai Insan Sastra UNS tahun 2018.