Puncak selalu menjadi dilema. Tujuan wisata favorit, tetapi alamnya rusak atau sebaliknya. Padahal, dua hal itu bisa dilakukan bersama jika penataan kawasannya jelas dan benar.
Oleh
Aditya Diveranta/Dian Dewi Purnamasari/Neli Triana
·5 menit baca
Kawasan Puncak di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, belum lepas dari buah simalakama masalah antara tujuan wisata dan area konservasi. Jabodetabek sungguh bergantung padanya. Udara dingin, alam pegunungan dan hutannya memukau sekaligus pengendali keseimbangan lingkungan Ibu Kota dan sekitarnya. Sayang, atas nama pariwisata dan ekonomi, sisi konservasi lingkungan terabaikan.
Konservasi Puncak yang terbilang terabaikan bisa dibuktikan dengan fakta ketidakjelasan kebijakan penataannya sebagai kawasan hijau atau hutan lindung. Selama 17 tahun terhitung hingga 2018, setidaknya terjadi sembilan kali tanah longsor di Jalan Raya Puncak yang meliputi tiga kecamatan, yaitu Cisarua, Megamendung, dan Ciawi (Kompas, 20 Februari 2018).
Bencana terakhir yang cukup besar terjadi awal Februari 2018, menewaskan 1 orang, 3 orang hilang, serta beberapa orang luka kritis dan ringan. Bahkan, tanah longsor terakhir itu berdampak pada penutupan jalur Gunung Mas, Cisarua, hingga Ciloto, Cianjur, selama 10 hari.
Data dari Direktorat Jenderal Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (PDASHL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), seperti dikutip Kompas, proporsi antara luas kawasan hutan dan luas daerah aliran sungai (DAS) di Puncak belum memenuhi ketentuan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dalam Pasal 18 UU No 41/1999, luas kawasan hutan minimal 30 persen dari total luas DAS dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional. Saat ini, kawasan hutan alam di Puncak tinggal 21 persen dari total luas kawasannya.
Dalam Pasal 18 UU No 41/1999, luas kawasan hutan minimal 30 persen dari total luas DAS dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional. Saat ini, kawasan hutan alam di Puncak tinggal 21 persen dari total luas kawasannya.
Kawasan Puncak merupakan hulu dari Sungai Ciliwung, Cisadane, Citarum, dan Kali Bekasi. Luas DAS Ciliwung di hulu saja mencapai 15.000 hektar dari total luas DAS Ciliwung 38.000 hektar. Sementara luas kawasan hutan di Puncak 5.243 hektar.
Masih dari sumber yang sama, PDASHL KLHK, sepanjang 2000-2016 ada 5.700 hektar hutan alam di Puncak beralih fungsi. Dalam revisi rencana tata ruang wilayah kawasan Puncak 2016-2036, kawasan hutan yang sebelumnya mencapai 2,1 juta hektar menyusut menjadi sekitar 1 juta hektar.
Upaya penyelamatan Puncak masih terbatas pada penertiban bangunan yang tidak seharusnya ada di kawasan lindung, seperti vila. Upaya lainnya lebih berorientasi proyek fisik dan berpijak pada kepentingan agar curahan air dari hulu tak langsung ke Ibu Kota, yaitu dengan membangun Bendung Ciawi dan Bendung Sukamahi di Bogor.
Saat kunjungan ke lokasi proyek akhir tahun lalu, Presiden Joko Widodo mengatakan, kedua bendung berfungsi sebagai penahan aliran air dari daerah hulu sungai yang bermata air di kawasan Gunung Gede dan Gunung Pangrango itu, terlebih saat hujan. Dengan demikian, potensi banjir di Jakarta bisa diminimalkan. Presiden juga berkata bahwa proyek akan diselesaikan tahun ini (Kompas, 26 Desember 2018).
Akan tetapi, informasi terakhir dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), karena ada masalah pembebasan lahan, proyek meleset dari target. Bendung Sukamahi dan Ciawi pun diharapkan selesai serta mulai berfungsi akhir 2020.
Berita tentang penertiban vila atau rehabilitasi kawasan konservasi Puncak pun meredup. Yang terus menjadi pembicaraan dan perhatian publik ataupun pemerintah justru isu macet parah di jalur Puncak nyaris tiap akhir pekan. Pencarian solusi pun lebih fokus pada urusan mengurai macet agar wisatawan nyaman.
”Save Puncak”
Sabtu (7/12/2019) ini, Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) akan menguji coba sistem 2-1 di jalur Puncak, Bogor, untuk kedua kalinya. Dengan sistem ini, arus dari kedua arah ke dan dari Puncak menuju Bogor atau Jakarta bisa dilalui. Saat banyak arus kendaraan ke arah Puncak, dua jalur jalan dibuka untuk mereka. Demikian sebaliknya.
Kepala BPTJ Bambang Prihartono, melalui keterangan tertulis, menyebutkan, keputusan uji coba sistem 2-1 di jalur Puncak diambil setelah rapat di Kantor Bupati Bogor pada akhir Oktober lalu. Selain itu, BPTJ juga sudah menggelar rapat di Kantor Polres Bogor pada awal Desember. Hasilnya, uji coba yang pertama kali dilaksanakan pada Minggu (27/10/2019) akan kembali dilaksanakan pada Sabtu, 7 Desember.
”Sistem rekayasa lalu lintas 2-1 yang diujicobakan ini tidak akan otomatis mengurangi kemacetan di jalur Puncak. Tujuan dari uji coba sistem 2-1 adalah mencari alternatif (jangka pendek) penataan lalu lintas di jalur Puncak guna memberikan ruang aksesibilitas dua arah bagi warga setempat setiap akhir pekan/musim liburan,” tutur Bambang.
Kanalisasi 2-1 ini dibarengi dengan penertiban pedagang kaki lima yang biasanya mengokupasi sebagian badan jalan serta memicu penyumbatan arus kendaraan. Selain itu, jalan raya Puncak dibenahi agar 3 jalur mulus terwujud.
Sebelum kanalisasi, kebijakan buka tutup atau one way diterapkan. Kebijakan ini banyak mendapat protes dari warga setempat yang mengalami kesulitan bermobilitas karena peraturan itu juga berlaku bagi mereka.
Sistem 2-1 ini juga merupakan bagian dari usulan jangka pendek penanganan transportasi jalur Puncak sebagai bagian dari program ”Save Puncak”. Upaya lain yang termasuk dalam kerangka jangka pendek antara lain penyediaan program wisata ke Puncak dengan angkutan umum massal point to point dari Jakarta menuju Puncak, penyediaan shuttle service dan park and ride menuju jalur Puncak, sosialisasi jalur alternatif (menjelang Exit Tol Cibubur), percepatan pelaksanaan pelebaran jalan dari Gadog hingga Puncak, serta percepatan pembangunan rest area di Gunung Mas.
Saat ini, misalnya, sudah tersedia bus wisata dari Pasaraya Blok M, Jakarta Selatan, ke Taman Safari pergi-pulang Rp 400.000 per orang.
Secara keseluruhan, program pembenahan kemacetan di Puncak terbagi juga dalam tahapan kerangka jangka menengah dan panjang. Program kerangka jangka menengah adalah penyediaan jalur alternatif melalui Sentul (Poros Tengah Timur) dan pembangunan jembatan penyeberangan orang (JPO).
Dalam kerangka jangka panjang, akan diusulkan pengembangan alternatif transportasi massal berbasis rel dari Kota Bogor menuju kawasan Puncak.
Dari rencana besar Save Puncak itu, belum terbaca rencana menyelamatkan Puncak dengan mengembalikan keseimbangan lingkungan alam setempat. BPTJ dan Kementerian PUPR bisa menyatakan bahwa hal itu memang bukan ranah mereka.
Namun, dari pemerintah daerah setempat, juga dari pusat, seperti KLHK, pun belum jelas kebijakannya. Di tengah banyak kebijakan diterapkan di Puncak, kawasan itu seperti dibiarkan rusak.