Peredaran kabar bohong atau hoaks di media sosial memicu disintegrasi bangsa. Hoaks sering kali sengaja disebar untuk menguatkan narasi pembuatnya. Ironisnya, peredaran hoaks kerap ditelan mentah-mentah masyarakat awam.
Oleh
Andy Riza Hidayat
·3 menit baca
MALANG, KOMPAS — Peredaran kabar bohong atau hoaks di media sosial atau medsos memicu disintegrasi bangsa Indonesia. Hoaks sering kali sengaja disebar untuk menguatkan narasi pembuatnya. Ironisnya, peredaran hoaks kerap ditelan mentah-mentah oleh masyarakat awam karena minimnya literasi digital.
Pandangan ini disampaikan Staf Khusus Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Benny Susetyo saat menghadiri seminar nasional dengan Tema ”Debating the Future of Human Rights” dalam Festival Akademik Peringatan Hari HAM Sedunia Ke-71 di Universitas Brawijaya (Unbraw), Malang, Jawa Timur, Jumat (6/12/2019).
Menurut Benny, salah satu ancaman hak asasi manusia (HAM) saat ini adalah efek negatif dari kemajuan teknologi yang disalahgunakan tanpa literasi yang baik. Hal ini menimbulkan kabar bohong yang berdampak pada perpecahan dan penindasan martabat manusia.
”Kemajuan teknologi dan penggunaan media sosial yang salah karena kurangnya literasi dan edukasi masyarakat menimbulkan perpecahan dan penghancuran martabat manusia,” ucap Benny.
Acara yang dihadiri 150 mahasiswa ini digelar di Fakultas Hukum Unibraw. Di tengah ancaman itu, tidak ada satu pun nilai-nilai Pancasila yang bertentangan dengan HAM. Nilai yang terkandung dalam ideologi itu justru menguatkan HAM. ”Nilai-nilai Pancasila tidak ada yang bertentangan dengan HAM. Justru yang ada nilai Pancasila itu menguatkan HAM,” kata Benny.
Benny menegaskan, martabat kemanusiaan itu tidak bisa direduksi seiring dengan kemajuan zaman. ”Martabat manusia itu adalah hal yang mendarah daging sejak lahir dan tidak bisa direduksi oleh kemajuan zaman karena sudah mendarah daging,” tuturnya.
Ia menambahkan, masyarakat Indonesia juga harus ingat, kemerdekaan bangsa Indonesia tidak terlepas dari dukungan negara-negara lain. Karena itu, masyarakat pun harus bisa menerima segala perbedaan dan kemajuan zaman sekarang.
”Harus diingat bahwa kita harus menerima perbedaan dan perkembangan zaman. Sebab, bangsa Indonesian bisa merdeka tidak terlepas dari dukungan negara-negara lain,” lanjut Benny.
Pada forum yang sama, dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, Iman Pribandana, menjelaskan tentang HAM yang mengatur hubungan antara negara dan rakyat. ”HAM itu ditujukan kepada negara-negara dan mengatur hubungan antara negara dan rakyat. Negara tempat korporasi beroperasi tidak memiliki keinginan membuat regulasi pengaturan HAM,” ujarnya.
Harus diingat, kita harus menerima perbedaan dan perkembangan zaman. Sebab, bangsa Indonesian bisa merdeka tidak terlepas dari dukungan negara-negara lain.
Adapun dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unibraw, Mohammad Annas, menjelaskan bahwa agama harus selaras dengan HAM. ”Agar agama bisa selaras dengan HAM, maka diajarkan panduan universal, yaitu menjaga keturunan, menjaga akal, menjaga jiwa, menjaga agama, dan menjaga harta,” ujarnya.
Pembicara lain, Arief Setiawan, dosen FISIP Unibraw, menjelaskan, saat ini masalah HAM global semakin beragam. ”Masalah global yang berhubungan dengan HAM adalah krisis pengungsi, ekstremisme, politik identitas, dan neoliberalisme,” ucapnya.
Sudah saatnya, lanjutnya, ada upaya pengarusutamaan HAM melalui kemajuan teknologi dan komunikasi. ”Kemajuan teknologi juga menjadi media yang membantu dalam pengarusutamaan HAM saat ini, baik dari institusi, kelompok, bahkan individu yang pernah menjadi korban HAM,” ujar Arief.