Pelemahan kinerja ekonomi Indonesia tidak hanya dipengaruhi lesunya perekonomian global. Persoalan korupsi di Indonesia juga berpotensi memperlemah kinerja perekonomian, salah satunya berdampak pada investasi langsung.
Boleh dikata, korupsi adalah persoalan lama yang terjadi Indonesia. Isu korupsi sudah menjadi perbincangan di masa awal Orde Baru. Lebih jauh ke belakang, ungkapan ”korupsi sudah membudaya” telah diungkapkan wakil presiden pertama Mohammad Hatta sejak setengah abad lalu.
Merasa kecewa dengan perampasan potensi negara dan hak rakyat Indonesia, berbagai upaya dilakukan untuk memberantas korupsi. Pada 1967, dibentuk Tim Pemberantasan Korupsi. Namun, pada praktiknya, tim tersebut tidak berfungsi dengan baik. Namun, semangat memberantas korupsi terus berlanjut hingga terwujud Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2002.
Kenyataannya, praktik korupsi masih merajalela sampai saat ini, bahkan meningkat dari tahun ke tahun sejak 2015. Anti-Corruption Clearing House (ACCH) KPK mencatat, pada 2018, terdapat 199 kasus korupsi, meningkat 64 persen daripada tahun sebelumnya, 121 kasus.
Penurunan investasi
Penurunan produktivitas dana yang dikorupsi menyebabkan kinerja perekonomian Indonesia juga berkurang. Dengan kata lain, boleh jadi perlambatan ekonomi yang tengah terjadi tidak hanya disebabkan pelemahan perekonomian global, tetapi juga dipengaruhi penggelapan uang negara.
Kinerja ekonomi yang kian menurun secara tidak langsung berdampak pada kurang menjanjikannya perekonomian Indonesia. Laju pertumbuhan investasi dalam negeri yang menunjukkan kecenderungan meningkat sejak 2015 agaknya belum cukup kuat mengubah arah tren laju investasi di Indonesia secara keseluruhan. Pola laju pertumbuhan keseluruhan investasi cenderung konsisten dengan tren laju pertumbuhan investasi asing yang tercatat melambat.
Laju pertumbuhan modal asing 2011-2012 masih tercatat 26 persen dan selalu positif hingga tahun 2017. Sementara itu, sepanjang tahun 2017-2018, laju pertumbuhan investasi asing langsung ke Indonesia tercatat minus hampir 10 persen.
Keberadaan investasi langsung dari luar negeri tidak bisa dipandang sebelah mata mengingat dinamikanya berdampak pada tren investasi secara keseluruhan. Investasi menjadi salah satu variabel utama pembentuk perekonomian nasional.
Kecenderungan penurunan investasi asing mengindikasikan beberapa hal. Faktor krisis global dengan kelesuan ekonomi yang ditimbulkannya tentu tak bisa diabaikan. Hanya saja, kenyataan lain juga menunjukkan, ada negara yang relatif konsisten mengalami pertumbuhan aliran modal asing. Salah satunya adalah Vietnam, negara tetangga sekaligus negara di dalam kawasan ASEAN.
Vietnam mencatat laju pertumbuhan investasi asing yang lebih baik ketimbang Indonesia. Pada 2014-2015, Vietnam mencatat laju pertumbuhan modal asing lebih dari 28 persen. Angka itu setara dengan 1,5 kali laju pertumbuhan investasi asing langsung ke Indonesia dalam kurun waktu yang sama.
Antara 2016 dan 2017, pertumbuhan modal asing langsung ke Vietnam (11,9 persen), juga berada di atas Indonesia (8,6 persen). Bahkan, antara 2017 dan 2018 laju investasi asing langsung ke Vietnam masih tumbuh positif hampir 10 persen.
Kondisi tersebut memunculkan pertanyaan, mengapa investor asing enggan menanamkan modal di Indonesia? Berbagai kemungkinan dapat menjelaskan hal ini, salah satunya adalah hasil analisis yang pernah dilakukan KPK. Hasil penelitian yang dilakukan KPK itu menunjukkan korelasi signifikan antara korupsi dan sejumlah variabel ekonomi.
Salah satu variabel adalah investasi. Riset yang dilakukan lembaga antirasuah menghitung, korupsi berkorelasi senilai 0,793 terhadap investasi langsung pada skala o sampai 1. Hasil itu menunjukkan bahwa korupsi memiliki pengaruh signifikan menurunkan investasi.
Kondisi ini dapat dibaca bahwa aktivitas ekonomi bawah tanah yang kian marak memperkuat sinyal kewaspadaan pada calon investor asing, yang dicerminkan dari penurunan tren masuknya modal asing ke Indonesia.
Hilangnya potensi
Penurunan investasi sejalan dengan banyaknya praktik suap di Indonesia. Persoalan suap ini, merujuk pada data KPK, melibatkan tidak sedikit pejabat negara, baik di level pusat maupun daerah.
Berdasarkan data yang dihimpun dari laman KPK, sepanjang tahun 2004-2018, hampir lebih dari 80 persen dari total 887 kasus korupsi melibatkan kementerian/lembaga pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.
Keberadaan investasi langsung dari luar negeri tidak bisa dipandang sebelah mata mengingat dinamikanya berdampak pada tren investasi secara keseluruhan.
Salah satu contoh untuk memberikan gambaran mengenai kasus korupsi adalah yang pernah terjadi di tubuh BUMN. Pada 2018, korporasi PT Ninda Karya ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh KPK atas dugaan korupsi proyek pembangunan di Sabang. ICW mencatat, kerugian negara akibat kasus korupsi di BUMN mencapai Rp 3,1 triliun, lebih dari 50 persen kerugian total akibat korupsi (Kompas, 8 Agustus 2019).
Kasus suap antara lain yang melibatkan aparatur pemerintah juga tecermin dari potret ekonomi ”bawah tanah” di Indonesia. Publikasi IMF Working Paper yang memuat penelitian Leandro Medina, Januari 2018, menunjukkan bahwa rata-rata nilai ekonomi ”bayangan” terhadap PDB dari 158 negara adalah 31,77 persen. Semakin tinggi peringkat di suatu negara menunjukkan bahwa negara bersangkutan semakin terbebas dari persoalan ekonomi bawah tanah.
Adapun rata-rata nilai ekonomi bawah tanah Vietnam adalah 18,7 persen dari PDB, menempatkan negara tersebut di peringkat 30. Sementara itu, aktivitas ekonomi bawah tanah Indonesia tercatat 24,11 persen dari PDB. Catatan itu menempatkan Indonesia di peringkat ke-116 dari total 158 negara.
Bukannya pembangunan terlaksanakan dan perekonomian menjadi kuat, justru inefektivitas kian mengemuka sebagai buah dari korupsi. Mengacu pada analisis dalam laman Pusat Edukasi Antikorupsi KPK, paling tidak uang temuan korupsi senilai Rp 168 triliun saja sudah dapat digunakan untuk membangun 195 gedung sekolah dasar baru dengan fasilitas yang lengkap. Uang yang dikorupsi juga bisa untuk membiayai pendidikan hingga menjadi sarjana untuk setara 3,36 juta orang.
Bayangkan jika tidak ada korupsi, jutaan sumber daya manusia (SDM) bisa mendapat kesempatan untuk belajar, sejalan dengan visi pemerintah saat ini, ”SDM Unggul, Indonesia Maju”. SDM yang produktif akan mewujudkan visi misi pemerintah dan menjawab mimpi para pendiri bangsa.
Hal itu juga akan mendongkrak perekonomian. Akhirnya, keunggulan ini meyakinkan pihak asing untuk menjadi investor di Indonesia.
(Litbang Kompas)