Penyusunan RUU Pemasyarakatan disesuaikan dengan visi pemidanaan dalam Rancangan KUHP. Visi pemidanaan dalam RKUHP tak lagi pemenjaraan, tetapi pemasyarakatan.
Oleh
Rini Kustiasih
·3 menit baca
Penyusunan RUU Pemasyarakatan disesuaikan dengan visi pemidanaan dalam Rancangan KUHP. Visi pemidanaan dalam RKUHP tak lagi pemenjaraan, tetapi pemasyarakatan.
JAKARTA, KOMPAS — Perlindungan hak asasi manusia bagi narapidana diharapkan menjadi salah satu fokus pengaturan pemidanaan dalam Rancangan Undang-Undang Pemasyarakatan. Hal itu diwujudkan lewat model penilaian individual yang memberi kesempatan napi memenuhi standar nilai tertentu dengan penilaian ketat dan terukur oleh pembimbing kemasyarakatan atau PK.
Anggota tim perumus RUU Pemasyarakatan, Ali Aranoval, di Jakarta, Jumat (6/12/2019), mengatakan, penyusunan RUU Pemasyarakatan itu disesuaikan dengan visi pemidanaan dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP). Visi pemidanaan dalam RKUHP tak lagi pemenjaraan, tetapi pemasyarakatan. Dalam pengertian itu, pemenuhan hak individu warga binaan di lembaga pemasyarakatan menjadi utama.
”RUU Pemasyarakatan sebenarnya satu tarikan napas dengan RKUHP, karena tujuan pemidanaan adalah pemasyarakatan. Oleh karena itu, norma- norma yang diatur dalam RUU Pemasyarakatan akan mendorong integrasi sosial lebih cepat terealisasi dan mendorong percepatan restorative justice,” kata Ali.
Upaya ke sana dilakukan antara lain dengan percepatan pemberian remisi yang selaras dengan efek pencegahan atau efek jera yang ditimbulkan dari penerapan pidana. Aturan pembatasan remisi hanya kepada warga binaan yang menjalani sepertiga dari masa pidana akan tetap dipertimbangkan. Namun, mekanisme pemberian remisi akan dilakukan lewat instrumen yang adil dan terukur, bukan penilaian petugas lapas terhadap kepatuhan napi.
”Yang menentukan seseorang napi akan lama atau tidak di lapas, dan apakah mereka layak mendapat hak-haknya, seperti remisi dan pembebasan bersyarat, adalah diri mereka sendiri. Sebab, mereka akan dinilai dengan ukuran tertentu, dan bukan penilaian subyektif petugas. Jadi, ada alat ukur yang dipakai untuk menilai keberhasilan pembinaan,” tutur Ali.
”Yang menentukan seseorang napi akan lama atau tidak di lapas, dan apakah mereka layak mendapat hak-haknya, seperti remisi dan pembebasan bersyarat, adalah diri mereka sendiri. Sebab, mereka akan dinilai dengan ukuran tertentu, dan bukan penilaian subyektif petugas. Jadi, ada alat ukur yang dipakai untuk menilai keberhasilan pembinaan”
Dalam prosesnya, wali pemasyarakatan melakukan observasi, dan ada penilaian dari asesor. Dua hasil penilaian itu dikirim ke PK, yang selanjutnya PK menganalisis dalam penelitian kemasyarakatan (litmas). Hasil litmas dibawa atau disidangkan oleh tim pengamat pemasyarakatan (TPP). ”Standar dalam mekanisme pemberian hak-hak napi itu cukup ketat dan rapi. Hal itu berbeda dengan ketentuan sebelumnya yang hanya ditentukan oleh PK, litmas, dan sidang TPP, sedangkan ukuran tertentu yang dinilai oleh mereka dari diri napi belum jelas,” ujar Ali.
Pranata pemidanaan
Ali menambahkan, sekalipun ada batasan waktu bagi seorang napi mendapat hak-haknya, antara lain menjalani sepertiga dari masa hukumannya, hal itu bukan faktor penghambat. Penetapan waktu lebih dianggap pranata pemidanaan untuk memberikan batasan waktu jelas dan efek jera sebelum napi mendapat hak-hak yang patut dan adil.
Namun, penilaian individual warga binaan ini baru bisa diterapkan optimal jika lapas tidak kelebihan penghuni. Problem ini pun tidak bisa diselesaikan Ditjen Pas sendiri, tetapi juga kesadaran dari aparat penegak hukum lainnya, seperti kepolisian dan kejaksaan, saat penetapan seseorang sebagai tahanan. Salah satu penyebab lapas kelebihan penghuni ialah tingginya overstaying (penahanan melebihi batas) karena tak adanya kejelasan administrasi dan masa penahanan yang tegas.
Sebelumnya, Dirjen Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM Sri Puguh Budi Utami saat rapat koordinasi dengan unsur penegak hukum (APH) dan Mahkamah Agung menegaskan, pihaknya menargetkan persoalan overstaying akan dituntaskan semua per 31 Desember 2019.
”Pada 31 Desember 2019, masalah overstaying kami targetkan selesai. Kami tak akan menahan seseorang tanpa syarat administrasi. Demi penegakan hukum, kami akan keluarkan dari lapas,” kata Utami.
”Pada 31 Desember 2019, masalah overstaying kami targetkan selesai. Kami tak akan menahan seseorang tanpa syarat administrasi. Demi penegakan hukum, kami akan keluarkan dari lapas”
Untuk mengatasi persoalan kelebihan penghuni, antara lain karena overstaying, Dirjen Pas memerintahkan semua kepala divisi pemasyarakatan berkoordinasi dengan aparat terkait dengan administrasi dan kejelasan masa penahanan di lapas dan rumah tahanan.
Peneliti Center for Detention Studies, Gatot Goei, mengatakan, selain persoalan overstaying, pengaturan pemberian remisi kepada pengguna narkotika, terutama, jadi penting yang mesti diatur dalam RUU Pemasyarakatan. Idealnya, pengguna narkotika tak dipenjara, tetapi direhabilitasi. ”Harus ada keselarasan dalam pemidanaan terhadap kasus narkoba. RKUHP jangan memenjarakan pengguna narkotika, tetapi memberi alternatif rehabilitasi,” kata Gatot.