Air Mata Kekuatan
Michelle Tjokrosaputro sudah memikul beban berat di usia muda. Air mata menjadi kekuatan utama hingga membuktikan kemampuannya.
Usianya baru 25 tahun ketika sang ibu meminta untuk memikul beban berat. Tidak pernah digadang-gadang untuk mewarisi tampuk pimpinan, Michelle Tjokrosaputro (39) harus siap ketika ternyata akhirnya dia yang diminta berjuang ”menyelamatkan” perusahaan keluarga yang terlilit kredit macet. Air mata menjadi kekuatan utama hingga membuktikan bahwa ia mampu.
Sosok Michelle menunjukkan ketangguhan seorang perempuan. Sebagai ibu dari tiga putra, ia berusaha mencurahkan banyak waktu buat mereka. Hari-harinya diisi dengan padatnya pekerjaan serta mengurus anak di Jakarta lalu menjadwalkan satu hari dalam seminggu untuk mengurus pabrik Danliris Group di Solo, Jawa Tengah.
”Saya punya tiga anak. Anak saya nakal kayak saya. Enggak bisa ditinggal harus (dipantau) CCTV, harus mobile. Enggak bisa nungguin pabrik 24 jam sehari. Saya enggak melulu di situ, tapi kalau ke factory selalu ada ide yang lebih segar. Saya zoom out, zoom in lagi. Dapat banyak perspektif,” kata Michelle, Senin (2/12/2019).
Sebagai CEO Danliris Group, ia harus bekerja keras bagi perusahaan produsen tekstil dan garmen dengan pemasaran lebih dari 20 negara yang antara lain membuat busana untuk merek ternama, seperti Calvin Klein, Trutex, DKNY, dan Marks & Spencer. Danliris Group awalnya dibuat pada 1974 di Solo, sebagai pabrik pendukung untuk produksi batik. Apalagi, kakeknya adalah pendiri Batik Keris.
Seiring waktu, pabrik ini terus memproduksi garmen dan tekstil kualitas wahid, namun tak lagi memiliki mereknya sendiri. Pada 2012, Michelle lantas menyiapkan pabrik untuk memproduksi batik dengan labelnya sendiri, yaitu Bateeq. Dari satu toko pada 2013 di Solo, Bateeq kini bisa ditemukan di sekitar 80 titik penjualan.
Ditemui di rumahnya, Michelle menunjukkan motif batik kawung yang dicetak di busana yang dikenakannya. Batik tersebut terasa sangat muda dengan sentuhan warna-warni pastel, namun tak kehilangan ciri khasnya sebagai motif batik. Kualitas bahan yang digunakan pun ditingkatkan dengan menggunakan kain yang lebih nyaman seperti rayon.
Anak muda
”Ibu saya luar biasa. Saya mau bikin batik, tapi tidak suka batik. Then make your own. Gimana anak muda perspektifnya terhadap batik seperti apa? Jangan kamu kopi yang dulu-dulu dong. Create!” tambah Michelle menirukan sang ibu.
Berbeda bangunan, tapi hanya bersebelahan lokasi dengan rumahnya yang terletak di salah satu ruas jalan utama di Jakarta, Michelle membuat kantor untuk para desainer muda yang bekerja untuk mendesain Bateeq. Para desainer muda ini ditantang membuat motif batik dengan siluet yang menyasar anak muda.
Motif batik tetap harus memperhitungkan pakem, tapi dibuat modern. ”Ingin modis, young, dan fun. Harus bisa eksis. Menunjukkan bangga Indonesia. Karena sumbernya dari pabrik, kami terinspirasi dari batik lebih ke motifnya bukan cara pemrosesan. Daripada anak muda enggak suka batik mending berkreasi bagaimana interpretasi terhadap batik,” kata Michelle.
Bateeq tetap memproduksi batik cap dan tulis secara terbatas karena memang sulit diproduksi massal dengan skala pabrik. Kapasitas produksi batik cap hanya 200 meter per bulan, sedangkan kebutuhan pasar bisa belasan ribu meter per bulan. ”Saya berfokus pada apa yang mesin pabrik bisa lakukan. Enggak sekadar ngomel, bisa berkarya,” katanya.
Musim lalu, Bateeq mulai membuat kombinasi dengan lurik. Lurik ini diproduksi perajin lansia di Klaten, Jawa Tengah. Tenunan tangannya dibuat dari bahan daur ulang limbah benang dari pabrik Danliris. Seluruh desain batik ataupun tenunan ini orisinal dari Bateeq dengan pembuatan dari benang sampai baju semuanya benar-benar buatan Indonesia.
Sejak kecil terpapar batik dari kakek yang pendiri Batik Keris dan kerabatnya pun pendiri Batik Semar, tetapi selera Michelle lebih dibentuk dari perjalanannya melanglang buana. Sejak SMA, ia sudah sekolah di Pennsylvania lalu mengambil kuliah di Paris. Oleh karena itu, ia merasa ingin berbusana batik yang sesuai tren dunia.
”I learned different taste, different culture. Kalau (pasar) internasional terobsesi dengan sustainability pakai serat yang lebih ecofriendly. Saya juga pengin. Karena ini pabrik saya sendiri, saya bisa memaksa semua orang ayuk kita ikut dengan pergerakan dunia ini. Memikirkan seluruh aspek dari baju tersebut. Lebih dari sekadar: I look good, but I feel good,” tambahnya.
Potongan piza
Meskipun menganalisis dan mencermati perkembangan mode, Michelle mengaku tidak terlahir sebagai desainer. Baginya, mode hanya sepotong piza dari begitu banyak bisnis yang dilakoninya. Ia merasa lebih terfokus pada manusia dan terstimulasi dengan orang-orang yang berani melakukan sesuatu yang berbeda.
Berlatar belakang pendidikan bisnis dan komunikasi, potongan piza lain dalam hidupnya antara lain berupa produksi kerajinan tangan yang diekspor antara lain untuk Zara Home, Marks & Spencer Home, serta Habitat. ”Banyak ngambil sampah lalu diekspor. Saya pikir yang menstimulasi sekali lagi adalah inovasi. Dari apa saja, dari sampah, kita buat sesuatu, kita jual ke internasional,” ujarnya.
Kepiawaian menembus pasar internasional itu selanjutnya dibagikan ke desainer muda. Pabrik milik Michelle menyediakan ruang bagi desainer yang ingin mengerjakan baju koleksi mereka. Kebanyakan desainer seperti terintimidasi dengan pabrik, terutama terkait kuantitas minimum produksi. Michelle lantas menyediakan pabriknya agar produksi puluhan atau ratusan item pun bisa dikerjakan di pabrik.
Selain Bateeq, Michelle juga memproduksi baju untuk Barbie, boneka beruang Teddy, hingga seragam Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres). Keragaman produk itu seiring dengan kepribadiannya yang suka tantangan. Namun, kecintaan pada tantangan ini bukan menjadi alasan utamanya ketika memutuskan menerima peran sebagai pimpinan perusahaan pada 2005.
Begitu lulus kuliah pada 2002, ibunya memintanya memproduksi tas yang lantas dijual ke banyak supermarket, seperti Carrefour, Ramayana, atau Matahari. ”Dulu masih idealis. Enggak berasa butuh duit. Saya manja banget. Perusahaan kecil enggak apa-apa yang penting happy,” ujarnya.
Pada 2004 ketika perusahaan mulai dibagi-bagi, Michelle diminta hanya membantu di bagian garmen. ”Yang sering bermasalah di tekstil. Ayah masih ada. Kakak perempuan masih ada. Di garmen sudah ada direkturnya. Karena family business, saya hanya kayak anggota keluarga yang harus tanda tangan cek. Enak banget hidup saya, hanya tinggal tanda tangan cek,” tambahnya.
Beberapa saat setelah ia menikah pada 2005, ayahnya terserang stroke dan perusahaan chaos karena kredit macet dan marak unjuk rasa. Kakaknya menyerah untuk mengelola perusahaan. Tiap bulan, Michelle harus menghadapi petugas penagih utang hingga dimaki-maki karyawan. Di bawah kepemimpinannya, perusahaan mulai membaik dan lepas dari kredit macet pada 2015.
”Saya rasa waktu itu enggak ada pilihan. Ayah ibu saya mungkin juga mules-mules. Apalagi saya bukan orang yang selalu ikut aturan. Saya nakal banget, meeting saya suka cabut. Semua orang cinta batik, saya enggak suka sendiri. Orangtua saya must be very desperate kasih perusahaan ke saya. Satu sisi mereka lebih percaya daripada saya percaya diri saya sendiri,” kata Michelle.
Tanpa tekanan dalam memimpin perusahaan, Michelle beruntung karena mengenal dekat seluruh karyawan perusahaannya. Dibantu tim yang terdiri dari 12 orang yang telah lama bekerja bersama ayahnya, mereka sama-sama memikirkan keberlangsungan perusahaan
Dari awalnya bercita-cita jadi ibu rumah tangga, Michelle bermetamorfosis dari sosok manja menjadi perempuan pekerja keras yang terus memperjuangkan nasib 10.000 karyawan. ”Keluarga saya itu workaholic. Ayah, ibu saya. Ngapain, sih, segitunya. I understand now mereka enggak hanya mikirin diri sendiri. Beban untuk memastikan karyawan gajian tiap bulan. Orang tambah makmur,” ujarnya.
Demi keseimbangan hidup, Michelle memilih rutin berolahraga pilates. Kala menginap di Solo, ia pun menyempatkan joging keliling pabrik. Jika tidak olahraga, melancong, baca buku, atau nonton drama Korea ternyata efektif membuang stres. Melongok pada masa-masa sulit, ketika beban terlalu berat, kekuatannya diperoleh dari kesendirian kala menangis dan tekadnya memilih tidak egois dengan tidak menyerah.
MichelleTjokrosaputro
Lahir: Karanganyar, 22 Mei 1980
Pendidikan:
- 1992 SD Kalam Kudus
- 1995 SMP Tarakanita
- 1998 SMA Westtown School, Pennsylvania
- 2002 Bachelor of Arts di International Business Administration and International Communications American University of Paris
Karier:
- 2004-sekarang CEO Danliris Group: PT Dan Liris, PT Ambassador Garmindo, PT Multiyasa Abadi Sentosa, PT Efrata Retailindo, PT Tabor Andalan Retailindo
Organisasi:
- Wakil Ketua Hubungan Industri, Indonesia Textile Association (API)
- Board Member International Textile Manufacturers Federation (ITMF)
- Anggota Young Presidents\' Organizations (YPO)
Penghargaan:
- 2018: TOP CSR untuk TOP Leader, CSR Commitment 2018
- 2017 & 2016: SWA\'s 100 Business Women of the Year
- 2016: Her World’s Women of the Year
- 2016: Women\'s Obsession Magazine 71 Indonesian Inspiring Leaders
- 2015: Winner of SWA’s Indonesia Young Women Future Business Leaders