Kualitas kebebasan berkumpul menjadi salah satu masalah yang membayangi situasi demokrasi dan penegakan hukum dewasa ini. Padahal, kebebasan berkumpul adalah urat nadi demokrasi.
Oleh
Edna C Pattisina
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kualitas kebebasan berkumpul menjadi salah satu masalah yang membayangi situasi demokrasi dan penegakan hukum dewasa ini. Padahal, kebebasan berkumpul adalah urat nadi demokrasi.
”Ini mengulangi fenomena yang terjadi prareformasi, yaitu aparat hukum digunakan untuk membatasi kelompok-kelompok yang menggunakan haknya untuk menyeimbangkan diskursus negara,” kata Yati Andriyani, Koordinator Badan Pekerja Kontras, terkait laporan terbaru Kontras, akhir pekan ini.
Negara, melalui pihak kepolisian, tambah Yati, kerap menolak menerbitkan tanda terima pemberitahuan kepada pengunjuk rasa dengan berbagai alasan, seperti melanggar ketertiban umum atau mengganggu stabilitas keamanan. Padahal, kebebasan berkumpul tidak hanya dimaknai sebagai kegiatan demonstrasi atau pawai besar menyusuri jalan terbesar di Ibu Kota yang dipimpin seorang aktivis.
”Kebebasan berkumpul merupakan sarana penting karena melalui kebebasan tersebut publik dapat mengekspresikan pandangan mereka kepada siapa pun, seperti kebijakan negara atau pejabat publik. Kebebasan berkumpul mendukung terwujudnya keragaman publik dan salah satu alat yang tepat untuk mencapai perubahan dalam masyarakat,” tutur Yati.
Terhitung sejak 2015 hingga 2018, dalam laporannya, Kontras mendokumentasikan 1.056 peristiwa dari semua provinsi di Indonesia yang menyangkut berkumpul secara damai.
Dengan menggunakan pemantauan media, Kontras memantau peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM, termasuk hak atas kebebasan berkumpul, yang terjadi selama empat tahun terakhir (2015-2018). Kontras menyadari angka itu merupakan angka yang terdokumentasi. Terbuka peluang untuk kurang atau bahkan secara hipotesis melebihi yang tercatat.
Temuan Kontras lainnya, ada pola pembatasan hak berkumpul menggunakan restriksi aparat penegak hukum yang tidak terukur. Pola pembatasan hak berkumpul ini diarahkan secara khusus kepada kelompok-kelompok sipil yang sebenarnya tengah menggunakan hak konstitusionalnya untuk menyeimbangkan diskursus negara.
Selain itu, juga ada ketiadaan mekanisme akuntabilitas negara yang efektif mampu memberikan keadilan kepada korban ketika masyarakat sipil mencoba menguji ruang-ruang akuntabilitas internal dan eksternal terhadap praktik pembubaran paksa dari kebebasan berkumpul di beberapa kasus.
Hendri Satrio, dosen Universitas Paramadina, mengatakan, kebebasan berkumpul dan berpendapat adalah hal yang penting karena merupakan nadi dari demokrasi.
Ia menyoroti, tahun 2019 banyak sekali fenomena lapor-melapor. Ada juga fenomena hantu radikalisme, dengan radikalisme kerap jadi alasan untuk menyerang orang-orang yang punya pendapat berbeda.
Apalagi pemilik media massa sekarang banyak yang terjun ke politik sehingga terjadi pemaksaan isu atau ide.
”Apalagi pemilik media massa sekarang banyak yang terjun ke politik sehingga terjadi pemaksaan isu atau ide,” kata Hendri.
Ia mengatakan, secara teori, situasi ini disebabkan beberapa hal, seperti ekonomi yang tidak merata. Namun, ketika masyarakat bersuara, mereka malah dilaporkan. Juga ada masalah pada hukum dan kedewasaan berpolitik.
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.