Mengecil, tetapi Mekar
Aksara yang pernah dikenal sebagai toko buku andalan untuk mencari buku-buku impor telah menutup semua cabangnya di pusat perbelanjaan. Namun, di kantor dan toko pusat di Kemang, Aksara berubah, lebih segar dan mekar.
Aksara menutup semua cabang toko bukunya di pusat perbelanjaan karena biaya operasional yang terlalu mahal. Di Kemang, toko bukunya juga menyusut dengan hanya menyisakan satu deret lemari pajang di salah satu sisi gedung Aksara.
Deretan lemari pajang di sisi lain gedung dan deretan rak yang dulu memenuhi ruangan gedung ini menghilang. Kenangan sesaknya buku yang pernah menjadi harta Toko Buku Aksara Kemang terekam dalam foto-foto di kartu pos yang dijual di kasir.
Namun, mengecil bukan lantas membuat toko buku sebagai jantung Aksara jadi layu. Ia mengecil, tetapi justru mekar dengan menyediakan pilihan buku yang belum terpenuhi ketersediaannya di pasaran. Buku-buku yang dijual didominasi buku dari penulis dan penerbit independen dengan kurasi yang ketat.
Koleksi bukunya terutama adalah buku-buku yang sulit didapat dan tidak bestseller, baik internasional maupun Indonesia. Bekerja sama dengan sebuah toko buku independen, Post, Aksara berganti tema kurasi buku setiap tiga bulan sekali. ”Smaller, tetapi kurasi lebih tajam. Kami fokus pada selection dan tanggapannya bagus,” ujar Direktur Aksara Adinda Simandjuntak.
Tema kurasi saat ini, misalnya, bertajuk ”Membaca B-Sisi” untuk menemukan karya-karya penulis terkenal yang kurang dikenal. Buku yang bisa dijumpai antara lain adalah karya penulis fiksi dan nonfiksi Gabriel Garcia Marquez yang dikenal lewat buku One Hundred Years of Solitude. Ia ternyata juga menerbitkan karya jurnalisme berupa News of a Kidnapping.
Penulis lainnya, Sylvia Plath, yang dikenal dari bukunya The Bell. Ternyata, ia juga menulis banyak cerita pendek yang dikompilasi dalam buku Johnny Panic and the Bible of Dreams.
Toko buku Aksara yang tinggal satu larik ini bisa lebih fokus pada kurasi karena tak lagi memikirkan tentang biaya operasional yang tinggi. Biaya tersebut kini sudah tertopang dengan hadirnya lapak-lapak beragam di Gedung Aksara. ”Tanpa khawatir harus punya 100 bestseller agar besok sales target tercapai,” kata Adinda menambahkan.
Pengunjung Aksara pun ternyata sangat merespons pilihan barang yang fokus dan terseleksi. Karena pemanfaatan lain dari gedung yang tak melulu toko buku, lebih banyak orang yang datang dan menikmati buku-buku tersebut.
”Ritel menjadi lebih segar. Dia mengecil, tetapi jadi segar. Energi toko bukunya masih sangat kuat,” kata Adinda.
Desain lama
Memasuki Gedung Aksara, nuansa serba putih segera menyergap pemandangan. Rak-rak buku tergantikan oleh kursi-kursi yang nyaman untuk duduk bersantai sembari menyeruput kopi. Selain menikmati memilih buku-buku yang sudah terkurasi dengan baik di toko bukunya, pengunjung bisa menyeruput kopi di Kafe Kopi Ruang Seduh yang terletak di sisi terdepan ruangan.
Ruang Seduh tampil istimewa dengan mesin penyeduh kopi manual. Penikmat kopi bisa menyeduh kopinya sendiri di kafe tersebut. Konsep putih dari Gedung Aksara juga terinspirasi dari Ruang Seduh yang dulunya hanya menempati ruang kotak 5x5 meter di bagian belakang toko buku. Ketika Ruang Seduh pindah ke depan, warna putih Ruang Seduh pun melebur dengan desain baru Gedung Aksara.
Saat direnovasi pada 2018, Gedung Aksara ini tetap mempertahankan keaslian bangunan lama yang didesain arsitek Andra Matin. Bagian yang dipertahankan antara lain adalah konstruksi kuda-kuda dan plafon di bagian atap bangunan. ”Kita menghormati desain gedung ini,” ucap Adinda.
Arsitek Danny Wicaksono yang merombak bagian depan dari Gedung Aksara antara lain menambahkan lengkungan di bagian atap untuk menambah suasana baru. Tata cahaya ruang yang dulunya temaram diganti menjadi lebih terang. Cahaya terang dengan dinding yang seluruhnya dicat putih memberi energi yang lebih bersemangat.
Bagian belakang bangunan yang dulunya semiterbuka dengan cahaya alam telah dirombak menjadi halaman belakang. Bagian yang dirombak ini adalah pertemuan atap yang memang menjadi sumber kebocoran. Jika dulu ruang belakang tersebut merupakan seksi penjualan buku anak, kini telah berubah fungsi menjadi tempat kontainer warung donat kampung.
Ragam lapak
Lapak yang disewakan di Gedung Aksara pun sengaja dipilih agar tetap sesuai dengan energi Toko Buku Aksara. Selain kafe kopi, ruangan di bagian depan juga menjadi lapak bagi Kafe Gion Kyoto yang menyediakan masakan dari wilayah Gion di Kyoto, Jepang. Kawasan ini yang terkenal dengan minuman teh matcha dan salmon sashimi.
Melongok ke bagian belakang gedung, ruang-ruang yang ada terisi dengan banyak kegiatan komunitas. Mikrosinema Kinosaurus, misalnya, sudah hadir di Gedung Aksara sejak 2015. Kinosaurus menjadi satu dari sedikit bioskop independen alternatif di Jakarta dengan program yang konstan. Selain pemutaran film, Kinosaurus juga membuat kursus film.
Romantisisme penggunaan kamera analog juga hadir lewat Komunitas Labrana. Menempati salah satu ruang di Gedung Aksara, (Lab) Rana menjadi ajang pertemuan bagi para pencinta kamera analog. Mereka bisa mencuci film analog hingga membeli kamera analog di sana. Komunitas ini juga rutin menggelar bazar fotografi analog.
Gedung Aksara makin ramai dengan kelas seni dari Sekolah Kembang, La-la Records yang menjadi sentra pegiat koleksi plat vynil, hingga ruang pameran.
Di lantai dua, ada pula dingdong disco dan dingdong dinner. Keragaman lapak inilah yang kemudian melahirkan lalu lintas pengunjung yang ramai, juga berdampak pada tingginya minat di Toko Buku Aksara.
”Biarpun dalam wujud lebih kecil, detak jantung di tengah gedung ini tetap toko buku. Aksara will always be bookstore at heart meski nama Aksara sekarang lebih luas dari sekadar toko buku, mewakili gedung dan mewakili sebuah energi,” tutur Adinda.
Toko Buku Aksara sempat menjadi salah satu pendorong menggeliatnya dunia sastra dan musik di Ibu Kota. Ia kini bertransformasi, tak sekadar toko buku. Ia memerankan peran yang lebih abstrak dari sekadar sebuah toko buku.
Sebagai detak jantung yang menggerakkan, Toko Buku Aksara bersinergi menggapai pengunjungnya untuk datang, berdiskusi, memilih buku, dan berkomunitas di ruang yang hangat serta sarat sejarah literasi.