Menyalin Kenyataan
Beyond Realistic Order menopang perkembangan seni lukis realistis yang tidak akan pernah mati.
Mungkin saja kemunculan fotografi dan berkembangnya impresionisme sejak abad ke-19 makin meminggirkan seni lukis realisme. Namun, esensi melukis realistis demi menyalin kenyataan akan selalu menarik untuk memantik dunia pesan dari sebuah perubahan sosial dan gagasan-gagasan baru.
Dahulu seorang bocah menjelang tidur mungkin akrab dengan belaian sambil mendengar dongeng dari orangtua. Pelukis realistis Rendra Santana menyalin kenyataan atas perubahan yang kini berlangsung.
Seorang bocah laki-laki dilukiskan terlelap dengan tangan kanan masih menggenggam remote control televisi. Rendra terinspirasi oleh anaknya sendiri yang terlelap di depan sebuah televisi yang masih menyala di tengah malam meski siaran televisi itu sudah habis.
Ada pendar sinar biru dari televisinya. Warna itu kemudian menghiasi corak lukisan realistisnya yang monokromatik biru.
Dengan lukisan itu, Rendra menyalin kenyataan atas perubahan sosial dunia anak-anak. Kini, menjelang tidur anak-anak tidak pernah lagi diiringi belaian tangan orangtua dan dongeng. Itu sudah tergantikan televisi.
Rendra dengan lugas menuangkan potret kenyataan itu pada lukisannya yang diberi judul, ”Malam” (2019), dengan media cat minyak di atas kanvas berukuran 200 x 300 sentimeter.
Karya itu dihadirkan dalam pameran lukisan realistis bertajuk, Beyond Realistic Order, di ruang pamer Yun Artified Community Art Center, Jakarta, 23 November-22 Desember 2019. Sebanyak 48 lukisan karya 18 perupa dari berbagai kota ditampilkan di sana.
Kurator pameran Jim Supangkat menyebutkan, lukisan realistis sebagai upaya menyalin kenyataan yang ternyata sudah muncul sebagai gagasan sejak 25 abad silam atau pada tahun 500 sebelum Masehi (SM). Tatkala itu, filosof Aristoteles mengemukakan teori yang kemudian dikenal sebagai teori mimesis untuk mempersoalkan rekaan realitas atau kenyataan.
Rekaan realitas dibuat untuk dipelajari dan dipikirkan dalam upaya mencari kebenaran. Rekaan kenyataan mengusung wacana realistis kontekstual dan problematik, kemudian digunakan untuk mencari kebenaran.
”Teori mimesis meyakini lukisan realistis bisa menyalin kenyataan secara tepat, dibandingkan deskripsi tekstual,” kata Jim Supangkat di dalam catatan kuratorialnya.
Jim menyebutkan, teori mimesis masih dibahas hingga sekarang walaupun sudah tidak lagi diyakini bahwa lukisan realistis sebagai representasi paling mendekati kebenaran.
Keseimbangan
Meski kian terdesak, lukisan realistis tetap menarik dalam upaya menyuguhkan wacana realistis. Perupa Chusin Setiadikara menyuguhkan lukisan yang dipadu antara bentuk melingkarnya sebuah roti burger dengan keranjang ikan asin.
Lukisan separuh burgernya menyerupai asli, kemudian di tengahnya menghablur dan beralih bentuk menjadi sebuah keranjang ikan-ikan asin. Lukisan itu diberi judul, ”Daily” (2010), dengan media cat minyak di atas kanvas berukuran 200 x 140 sentimeter.
Chusin melengkapi lukisan itu dengan sebuah kursi kantor. Melalui karya ini, Chusin mengetengahkan gagasan keseimbangan yang kerap dibahasakan sebagai yin dan yang.
”Filosofi yin-yang menjadi landasan dinamika di segala hal yang terjadi di muka bumi,” ujar Chusin.
Bagi Chusin, burger merepresentasikan dunia Barat, ikan asin merepresentasikan dunia Timur. Burger dan keranjang ikan asin dilukis dalam bentuk satu lingkaran yang sama.
Teknik itu menunjukkan betapa terbuka dan masih luasnya pengembangan lukisan realistis. Imajinasi atau dunia gagasanlah yang bisa memimpin untuk melawan marjinalisasi terhadap lukisanrealistis.
Sebuah film Barat berjudul, 101 Dalmatians (1996) menjadi sebuah inspirasi lukisan realistis karya perupa Tommy Aditama Putra. Tommy menghadirkan 101 panel lukisan berbentuk lingkaran dengan diameter masing-masing 29 sentimeter.
Di setiap panel itu Tommy melukis anjing kintamani dengan media charcoal atau arang di atas kertas. Lukisannya diberi judul, ”101 Kintamani” (2019). ”Nasionalisme memiliki makna luas yang tak terlepas dari kesamaan kebudayaan, cita-cita, serta tujuan,” demikian Tommy menjelaskan.
Rasa cinta Tanah Air sebagai bagian dari nasionalisme yang harus diwujudkan. Tommy mengganti anjing dalmatian dengan anjing kintamani untuk mengetengahkan wacana rasa cinta Tanah Air. ”’101 Kintamani’ adalah seri karya yang mengedepankan ikon nasional, sebuah ras unggul, harta karun Indonesia,” ujar Tommy.
Di pameran tersebut, sebagian besar perupa lainnya menyuguhkan karya lukisan realistis tentang figur manusia, benda, atau pemandangan alam.
Ini menjadi lukisan fotografis yang justru kerap menimbulkan pertanyaan terhadap yang dipamerkan, itu lukisan atau foto?
Kombinasi ilustrasi
Ada karya lukisan realistis yang dikombinasikan dengan ilustrasi untuk menyuguhkan wacana tertentu. Ini ditempuh perupa Indra Wahyu dalam lukisan yang diberi judul, ”Transformation of Movement” (2019), dengan media campuran di atas kanvas berukuran 152 x 122 sentimeter.
Di bidang sisi kiri, Indra melukis realistis wajah Jim Supangkat. Di bidang lainnya, ia melukis patung separuh tubuh bagian atas Ken Dedes. Lukisan bagian bawah patung tubuh Ken Dedes lainnya sebagai ilustrasi meski dilukis secara realistis pula. Inspirasi karya ini mengacu karya seni patung Jim Supangkat berjudul, ”Ken Dedes”, tahun 1975, yang kemudian dikoleksi Singapore Art Museum (SAM). Di lukisannya, Indra mencantumkan tulisan, ”Your body is a battleground” atau bermakna, tubuhmu adalah medan pertempuran.
Pada karya Jim, sepotong tubuh bagian bawah Ken Dedes, yakni mulai dari sebagian dada ke bawah hingga kaki, ditampilkan mengenakan celana ketat. Ritsleting celananya terbuka dan menampakkan rambut kemaluan Ken Dedes. Sementara pada karyanya, Indra mengubah atau mendeformasi bagian bawah tersebut menjadi bagian tubuh dengan kelengkapan tangan kiri menggapit boneka beruang, seraya menyelipkan sebuah pistol di celana dalam yang dikenakannya. Kulit tubuh di bagian lengan tangan, perut, pinggang, dan paha dipenuhi dengan tato.
Berbagai referensi yang membahas patung Ken Dedes karya Jim itu berbicara tentang budaya adiluhung di masa lalu yang kini justru menghadirkan identitas palsu. Melalui karya lukisannya, Indra Wahyu kemudian menajamkan persoalan ketubuhan Ken Dedes. Tubuh milik perempuan cantik pada masanya itu justru bertransformasi menjadi medan pertempuran.
Para perupa lain yang turut menyertakan karya di dalam pameran Beyond Realistic Order ini adalah Agus Cahya, Andy Dewanto, Baba, Bobby Tediana, Cecep M Taufik, Didit Sudianto, Djoko Susilo, Indyra, Karina Riskyta, Lutfi Yanuar, Patra Aditia, Prabu Perdana, Seno Andrianto, dan Toni Masdiono.
Menurut Jim Supangkat, lukisan realistis sudah mengalami kesempurnaan di masa Renaisans abad ke-19 sehingga tidak memungkinkan adanya terobosan linier. Namun, dalam pameran ini terjadi tanda-tanda baru terhadap pengembangan bahasa realistis dalam membangun ungkapan seni.
Ini kembali pada definisi umum tentang lukisan realistis sebagai upaya menyalin kenyataan. Di situ para perupa tidak hanya menyalin kenyataan, tetapi menangkap perubahan-perubahan sosial, kemudian mengungkap sebagai pesan atau kebaruan gagasan kontekstual.
Beyond Realistic Order menopang perkembangan seni lukis realistis yang tidak akan pernah mati.