Guyuran Hujan Belum Berhasil Padamkan Titik Api di NTT
›
Guyuran Hujan Belum Berhasil...
Iklan
Guyuran Hujan Belum Berhasil Padamkan Titik Api di NTT
Meski memasuki musim hujan, masih ditemukan sebaran titik api di Nusa Tenggara Timur. Kebakaran yang terjadi sejak Juni-Desember 2019 telah merusak ribuan hektar hutan di NTT.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·4 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Meski memasuki musim hujan, masih ditemukan sebaran titik api di Nusa Tenggara Timur. Kebakaran yang terjadi sejak Juni-Desember 2019 telah merusak ribuan hektar hutan di NTT. Tidak semua lahan yang terbakar diolah sebagai lahan pertanian, sebagian besar kebakaran justru ulah segelintir warga yang tidak bertanggung jawab.
Prakirawan cuaca Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika Stasiun Metereologi El Tari Kupang, Gulton Kharisma, di Kupang, Minggu (8/12/2019), mengatakan, berdasarkan analisis peta sebaran panas dengan pantauan Satelit Terra, Aqua, Suomi NPP, dan NOAA20 oleh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, diketahui terdapat dua titik panas di wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT), 7-8 Desember 2019. Titik panas di Kabupaten Kupang terfokus di Kecamatan Amfoang Timur dan di Kabupaten Sikka ditemukan di Kecamatan Nita.
”Dua titik panas itu masing-masing memiliki luas 1 kilometer persegi atau total keduanya 200 hektar. Tidak semua wilayah di NTT terpantau satelit karena cuaca kabut saat musim pancaroba saat ini, dari musim kemarau ke musim hujan,” kata Gulton.
Direktur Yayasan ”Tukelaka” NTT Marianus Minggo mengatakan, hujan sudah terjadi di beberapa wilayah di NTT meskipun intensitasnya masih terbatas. Namun, hujan itu mengisyaratkan semua pihak agar tidak lagi membakar hutan. Mereka harus fokus mengolah lahan yang sudah dibakar sebelumnya.
Pemda selalu beralasan kebakaran itu terjadi karena pembukaan lahan baru oleh petani dengan cara berpindah-pindah tempat atau sistem tebas bakar. Alasan lain, kebakaran itu agar tumbuh rumput muda dan hijau sebagai pakan ternak. Padahal, alasan itu tidak semuanya benar.
Dua titik panas itu masing-masing memiliki luas 1 kilometer persegi atau total keduanya 200 hektar.
Memasuki musim tanam 2019/2020 tidak semua lahan bekas kebakaran digarap petani untuk menanam. Petani di lahan kering hanya menggarap 5 are-20 are per petani. Itu pun hanya dilakukan petani berusia di atas 50 tahun. Mereka ini masih setia mengolah lahan secara tradisional.
Tidak semua kabupaten di NTT memiliki budaya beternak hewan besar, seperti sapi, kerbau, dan kuda. Alasan pemda bahwa aksi pembakaran hutan oleh masyarakat untuk mendapatkan rumput muda dan hijau bagi ternak itu tidak benar. Pulau Flores, Lembata, dan Alor tidak memiliki kuda, sapi, dan kerbau dalam jumlah banyak yang dilepas di padang, seperti di Sumba, Timor, Sabu, dan Rote.
NTT menempati urutan pertama kasus kebakaran hutan di Indonesia sepanjang musim kemarau tahun ini. Ribuan hektar hutan tersebar di 22 kabupaten/kota terbakar hampir setiap pekan, sejak Juni-Desember. Tidak satu pun kabupaten/kota di NTT bebas dari kebakaran hutan.
Karena kebakaran itu tidak menyebabkan kabut asap dan dampak penyakitnya, seperti infeksi saluran pernapasan akut, pemda pun menganggap kebakaran itu lumrah, dengan alasan persiapan pembukaan lahan pertanian dan menghasilkan rumput muda bagi ternak. Penyebab kebakaran antara lain NTT sangat gersang, tandus, dan jarang ditemukan hutan rimba.
Kasus kebakaran di NTT sebagian besar oleh sikap iseng yang tidak bertanggung jawab dari masyarakat. Penegakan hukum yang lemah terkait kebakaran di NTT menyebabkan tindakan membakar hutan selalu berulang.
”Saya menilai pemda bersikap masa bodoh dan membiarkan kebakaran hutan terus melanda daerah ini karena kebakaran itu tidak memiliki dampak langsung bagi masyarakat, seperti kabut asap dan penyakit ISPA. Pemahaman ini sangat membahayakan NTT pada 30-50 tahun ke depan,” tutur Minggo.
Mengajarkan
Ketua Kelompok Tani Noetnana Kelurahan Fatukoa, Kecamatan Alak, Kota Kupang, Daniel Aluman mengatakan, pihaknya selalu mengajarkan kepada 35 anggota kelompok tani di kelurahan itu untuk tidak membakar hutan. Kebakaran terjadi di seluruh NTT akibat sikap iseng dan masa bodoh dengan lingkungan sekitar.
Petani yang mendapat penghargaan sebagai petani teladan tingkat provinsi tahun 2017 ini mengatakan, kebakaran di Kelurahan Fatukoa pun sangat meresahkan masyarakat setempat. Sejumlah tanaman cendana, pisang, mangga, dan tanaman perkebunan lain milik petani setempat ikut terbakar sehingga tidak berbuah sesuai harapan.
Ia mengatakan, ke depan pemda harus lebih tegas mengatasi masalah kebakaran ini. Semua ketua RT/RW, kepala desa, camat, dan lurah dilibatkan mengamankan hutan sekitar permukiman warga dari ancaman kebakaran.
”Apabila perlu, ada penghargaan terhadap aparat pemerintah dan aparat keamanan yang benar-benar menjaga wilayah itu sampai bebas dari kebakaran. Sosialisasi mengenai manfaat hutan dan dampak dari kebakaran itu kepada masyarakat pun tidak dilakukan,” kata Aluman.
Kepala Biro Humas Setda NTT Marius Jelamu mengatakan, setiap memasuki musim kemarau, Pemprov NTT menyurati bupati dan wali kota agar masyarakat menjaga lingkungan hutan dari kebakaran. Akan tetapi, tindak lanjut dari surat itu di tingkat RT/RW, kepala desa, dan lurah masih lemah. Kebakaran masih terjadi di mana-mana, bahkan Gunung Ile Mandiri di samping Kota Larantuka pun ikut terbakar.
Kasus kebakaran di NTT sepanjang tahun 2020 sangat disayangkan. Ini menjadi perhatian serius pemprov pada tahun yang akan datang. Pemprov akan membentuk tim khusus menangani kasus kebakaran ini, baik di tingkat provinsi ataupun kabupaten/kota.