Di Sultra, Butuh Waktu Tahunan Menangkap Terpidana Korupsi
›
Di Sultra, Butuh Waktu Tahunan...
Iklan
Di Sultra, Butuh Waktu Tahunan Menangkap Terpidana Korupsi
Penangkapan sejumlah terpidana kasus korupsi di Sultra setelah buron selama bertahun-tahun dianggap belum menjadi indikator membaiknya penuntasan kasus korupsi.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
KENDARI, KOMPAS - Penyelesaian kasus korupsi di Sulawesi Tenggara belum dilakukan secara total dan menyeluruh. Penangkapan sejumlah terpidana kasus korupsi setelah buron selama bertahun-tahun dianggap belum menjadi indikator membaiknya penuntasan kasus korupsi selama ini.
Terakhir, mantan Bupati Kolaka Buhari Matta ditangkap di kediamannya setelah buron selama empat tahun. Buhari Matta, terpidana kasus korupsi penjualan nikel yang merugikan negara Rp 24 miliar, ditangkap tim Kejasaan Agung dan Kejaksaan Tinggi Sultra pada Sabtu (7/12/2019) siang.
Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasi Penkum) Kejati Sultra Herman Darmawan menyampaikan, Buhari ditangkap di kediamannya di Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan. Bupati Kolaka periode 2008-2013 ini lalu dijebloskan ke Rumah Tahanan Makassar sesuai permintaan keluarga.
Setelah ditangkap, terpidana dimasukkkan ke Rutan Makassar sesuai permintaan keluarga dengan alasan sakit.
“Terpidana ditangkap setelah masuk Daftar Pencarian Orang (DPO) sejak 2015 lalu. Setelah ditangkap, terpidana dimasukkkan ke Rutan Makassar sesuai permintaan keluarga dengan alasan sakit,” kata Herman, di Kendari, Senin (9/12).
Herman menuturkan, setelah putusan kasasi Mahkamah Agung yang menyatakan Buhari Matta bersalah dan dihukum 4,5 tahun penjara, pihaknya tidak menemukan terpidana di kediamannya. Surat pencarian lalu disebarkan sejumlah pihak terkait, termasuk ke kepolisian. Menurut Herman, pencarian terpidana terus dilakukan.
Sebelum Buhari ditangkap di kediamannya, lanjut Herman, tim dari Kejagung dan Kejati Sultra lebih dulu menangkap Atto Sakmiwata Sampetoding. Terpidana merupakan Managing Director PT Kolaka Mining International (KMI) yang dihukum lima tahun penjara oleh Mahkamah Agung karena terbukti korupsi dalam jual beli nikel kadar rendah. Atto dan Buhari dinyatakan bersalah untuk kasus yang sama.
Sekretaris Jaksa Agung Muda Intelijen Sunarta, pada 21 November lalu, mengatakan, Atto ditangkap pada 20 November di Kuala Lumpur, Malaysia. Atto merupakan buronan ke-153 yang ditangkap selama 2019 (Kompas, 22/11/2019). Atto saat ini dijebloskan ke Rutan Cibinong sesuai permintaan keluarga.
Berdasarkan putusan kasasi Mahkamah Agung, Buhari bekerja sama dengan Atto untuk melakukan penjualan nikel kadar rendah sebanyak 222.000 Wet Metric Ton (WMT). Nikel tersebut adalah milik daerah yang diperoleh dari PT Inco Tbk pada 2010.
Buhari memberikan persetujuan penjualan kepada PT Kolaka Mining International dengan sejumlah persyaratan. Belakangan, saat persetujuan tersebut diberikan, perusahaan diketahui belum memiliki keabsahan yang lengkap.
Dalam perjalanan penjualanan nikel kadar rendah tersebut, Atto juga diketahui memanipulasi pelaporan dalam dokumen Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB). Tercatat, dalam empat kali pengapalan nikel ke China, Atto menurunkan laporan harga penjualan dari yang seharusnya. Total nikel yang berhasil dijual sebanyak 191.642 metric ton (MT), sementara sekitar 30.358 MT masih berada di stock pile PT lnco Tbk di Blok Pomaala.
Berdasarkan audit BPKP, total penerimaan PT KMI dari penjualan nikel tersebut adalah sebanyak Rp 78 miliar. Dari jumlah itu, sebanyak Rp 22 miliar digunakan oleh Atto. Total kerugian negara dari kejadian ini sebanyak Rp 24 miliar.
Perjalanan kasus pejualan nikel yang merugikan negara ini telah selesai pada 2015 lalu. Akan tetapi, kedua terpidana dari kejadian ini tidak ditemukan selama bertahun-tahun. Keduanya ditangkap selang beberapa minggu setelah buron lebih dari empat tahun.
November lalu, Chandra Liwang, terpidana kasus pengadaan mobil dinas Gubernur dan Wakil Gubernur Sultra, ditangkap Kejati Sultra setelah buron selama tiga tahun. Chandra ditangkap di kediamannya di Kota Kendari.
Kenapa harus sampai empat hingga lima tahun? Padahal, institusi kejaksaan itu memiliki infrastruktur dan suprastruktur yang sangat lengkap.
Hariman Satria, pegiat antikorupsi dari Universitas Muhammadiyah Kendari menjabarkan, penangkapan buron kasus korupsi yang melibatkan mantan pejabat tinggi di salah satu kabupaten di Sultra ini bukanlah hal yang istimewa. Bahkan, terkesan hanya serupa tontonan yang ditunjukkan kepada masyarakat.
“Kenapa harus sampai empat hingga lima tahun? Padahal, institusi kejaksaan itu memiliki infrastruktur dan suprastruktur yang sangat lengkap. Mereka memiliki perangkat dan payung hukum yang sangat cukup untuk melakukan eksekusi kasus korupsi. Buktinya, terpidana ditangkap di kediamannya sendiri,” kata Hariman.
Selama ini, tambah Hariman, itikad baik untuk menuntaskan kasus korupsi di Sultra belum begitu terlihat. Bahkan, sejumlah kasus terkesan mengendap dan tidak pernah lagi diungkap ke publik. Padahal, kasus korupsi adalah kejahatan luar biasa yang berdampak luas terhadap kehidupan bahkan generasi selanjutnya.
Menurut Hariman, selama beberapa tahun terakhir, upaya untuk penyelesaian kasus korupsi di Sultra hanya jalan di tempat, bahkan terkesan mundur. “Indikatornya sederhana saja, berapa kasus korupsi yang diungkap ke publik setiap tahun? Berapa aduan, berapa yang telah ditindaklanjuti, dan berapa yang diselesaikan, baik itu di kejaksaan maupun kepolisian," ujarnya.
Selain itu, ia menambahkan, apakah ada sanksi bagi jaksa atau oknum aparat "nakal" yang membuat kasus korupsi itu tidak diselesaikan? "Kalau dua hal sederhana ini bisa ditunjukkan, maka kita sudah bisa bilang tidak mundur lagi,” ucapnya.