Ujian Nasional merupakan platform evaluasi belajar pada level kognitif dasar. Ke depan, evaluasi belajar tidak hanya mengukur kecerdasan, tetapi juga karakter siswa.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
Evaluasi belajar tetap diperlukan untuk mengetahui hasil pemelajaran yang diperoleh siswa di kelas. Ke depan, evaluasi belajar yang saat ini disebut Ujian Nasional, tidak hanya mengukur kecerdasan, tetapi juga karakter siswa.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah tetap menyelenggarakan evaluasi hasil belajar siswa, yang saat ini disebut Ujian Nasional. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tengah mendiskusikan secara internal metode asesmen hasil belajar berstandar nasional yang efisien dan adil bagi siswa. Perubahan diharapkan bisa terjadi di aspek cara pengujian, substansi soal, dan waktu penyelenggaraan.
"Evaluasi hasil belajar merupakan amanat dari Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, tetapi memang metode dan konteksnya juga harus disesuaikan dengan kebutuhan zaman," kata Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Totok Suprayitno ketika ditemui Kompas di Jakarta, Jumat (6/12/2019).
Ujian Nasional merupakan platform evaluasi belajar pada level kognitif dasar. Ujian Nasional sebagai metode evaluasi kerap menjadi momok bagi masyarakat. Walaupun UN sudah bukan merupakan syarat kelulusan sekolah, Kemdikbud mengamati perlakuan guru, siswa, dan orangtua terhadap UN tidak banyak berubah.
Walaupun UN sudah bukan merupakan syarat kelulusan sekolah, perlakuan guru, siswa, dan orangtua terhadap UN tidak banyak berubah.
Kecemasan disertai latihan soal terus-menerus merupakan tradisi yang dilakukan demi menyambut UN. Bahkan, nilai hasil UN didewakan sebagai penentu seseorang bisa diterima di SMP atau SMA di dekat domisilinya walaupun Kemdikbud sudah memberlakukan kebijakan zonasi.
"Sistem evaluasi yang tengah dikembangkan nanti tidak hanya mengukur kecerdasan ilmiah siswa, tetapi juga perkembangan karakter dan perangai ilmiah mereka," ujar Totok.
Totok mengatakan, sistem evaluasi yang tengah dikembangkan kemungkinan juga akan seperti UN Berbasis Komputer 2019 yang di dalamnya terselip berbagai angket pertanyaan untuk melihat pola pemelajaran yang didapat siswa di kelas. Melalui metode itu dapat tergambar jika siswa selalu diberi kesempatan bereksplorasi dan berpikir kritis oleh guru, atau justru sebaliknya siswa tidak diberi kebebasan berpendapat dan mencari berbagai informasi yang ada karena hanya boleh mendengar ajaran guru.
Tujuan evaluasi terstandar ini nanti, kata Totok, ialah agar kepala sekolah dan guru bisa mengambil pembenahan pola belajar berdasarkan data perolehan hasil. Untuk itu memang pihak sekolah juga perlu didampingi dalam membaca dan mengolah data menjadi program belajar.
"Selain itu, juga diharapkan guru bisa mengembangkan soal-soal ujian yang baik. Baik bukan berarti soal tersebut harus rumit, tetapi merangsang penalaran siswa. Oleh sebab itu harus ada kompetensi guru menerjemahkan materi pelajaran seperti rumus dan teori ke dalam skenario kehidupan sehari-hari siswa," tuturnya.
Tidak di akhir
Nisa Felicia, peneliti Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK), mengusulkan agar nama program evaluasi diganti, tidak menggunakan istilah UN lagi. Alasannya karena jargon itu telanjur menimbulkan kesan menakutkan di benak masyarakat.
Dari segi waktu penyelenggaraan, menurut Nisa, sebaiknya pemerintah tidak melakukan evaluasi pada akhir tahun pelajaran. Selama ini UN dilaksanakan pada akhir kelas IX dan XII sehingga mengakibatkan stres pada siswa dan guru. Meskipun tidak lagi sebagai penentu kelulusan, pelaksanaan di akhir tahun pelajaran tetap mengesankan bahwa ini adalah ujian akhir.
Kami menyarankan evaluasi berstandar nasional diselenggarakan untuk siswa kelas V, VIII, dan IX.
"Kami menyarankan evaluasi berstandar nasional diselenggarakan untuk siswa kelas V, VIII, dan IX," ujar Nisa. Ketika hasil ujian keluar, guru masih memiliki kisaran waktu satu tahun untuk membenahi pola pemelajaran sehingga ketika siswa lulus sekolah dan akan mengambil jenjang lebih tinggi mereka sudah memiliki kompetensi standar.
Rahasia
Metode yang digagas oleh PSPK mirip dengan praktik yang dilakukan di Finlandia. Duta Besar Finlandia untuk Indonesia Jari Sinkari beserta Konsuler Bidang Sains dan Pendidikan Kedutaan Finlandia di Singapura Anna Korpi ketika diwawancara Kompas pada 5 Maret 2019 mengungkapkan, pelaksanaan UN di Finlandia justru tidak diketahui oleh para siswa. "Hanya Kementerian Pendidikan dan sekolah yang tahu jadwal UN karena setiap tahun selalu berubah," kata Sinkari.
Dia mengatakan, siswa tidak tahu bahwa mereka sedang mengerjakan UN karena praktiknya disamarkan dengan ujian harian. Guru hanya mengatakan bahwa siswa akan melakukan ulangan mendadak. Hal ini tidak membuat siswa terkejut karena setiap pekan guru per mata pelajaran biasa melakukannya. Jenis soalnya juga menuntut nalar dan kreativitas. Sebagian soal bahkan berbentuk esai singkat.
Usai siswa mengerjakan soal, jawabannya dikirim untuk dinilai oleh pemerintah. Menurut Sinkari, cara ini menjamin kemampuan nyata siswa karena mereka tidak dalam keadaan cemas dan stres ketika mengerjakan ujian. Selain itu, siswa tidak melakukan persiapan khusus seperti mengikuti bimbingan belajar hanya demi bisa mengerjakan soal UN.
"Nilai hasil UN dikirim ke sekolah. Dinas pendidikan, pengawas sekolah, kepala sekolah, dan guru dikumpulkan dalam ralat khusus membahas nilai UN. Ujian ini bertujuan bukan menilai siswa, tetapi menilai kinerja guru dari capaian siswa. Justru, guru yang diberi intervensi dan pengayaan kompetensi, bukan dibebankan kepada siswa," kata Sinkari.