Merosotnya moralitas dan mental yang korup dianggap sebagai pemicu utama dari korupsi berulang pada berbagai lini sektor pelayanan publik yang dilakukan kepala daerah
Oleh
Rini Kustiasih dan Riana A Ibrahim
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Merosotnya moralitas dan mental yang korup dianggap sebagai pemicu utama dari korupsi berulang pada berbagai lini sektor pelayanan publik yang dilakukan kepala daerah. Tahun pertama menjabat menjadi ujian bagi seorang kepala daerah untuk tetap berpegang pada komitmennya pada masyarakat atau justru terjebak pada korupsi dan oligarki.
Pada polling Litbang Kompas yang terbit pada Senin (9/12/2019), responden yang berasal dari masyarakat menyebutkan mental atau karaktaer yang korup menjadi faktor utama kepala daerah melakukan korupsi. Disusul dengan sistem pencegahan pengawasan keuangan yang tidak efektif, sistem politik biaya tinggi. Terakhir, persoalan ekonomi dan biaya hidup yang mendorong korupsi.
Adapun dari pengolahan data dari data milik Komisi Pemberantasan Korupsi oleh Litbang Kompas, diperoleh 73,4 persen dari jumlah 121 kepala daerah yang diproses KPK ditetapkan terlibat korupsi pada periode pertamanya. Untuk rentang masa jabatan, sebanyak 37,4 persen saat masih 1-2 tahun menjabat. Kemudian, 28,8 persen saat menjabat 3-4 tahun menjabat. Sisanya saat 5 tahun dan pasca periode pemerintahan.
Dari data yang diperoleh, Bupati Buton Selatan Agus Feisal Hidayat misalnya. Baru menjabat selama satu tahun sebagai kepala daerah sebelum terjerat operasi tangkap tangan KPK pada 2018 karena kasus suap infrastruktur. Namun belakangan, Agus diketahui merupakan anak dari mantan Bupati Buton Safei Kahar yang tengah mencalonkan diri sebagai Cawagub Sulawesi Tenggara pada 2018.
Ambisi Agus sebagai kepala daerah juga terlihat dari upayanya mengikuti berbagai Pilkada di sejumlah daerah sebelum menjadi Bupati Buton Selatan. Ada juga Adriatma Dwi Putra yang hanya menikmati jabatn Wali Kota Kendari selama satu tahun. Adriatma juga mewarisi tampuk kekuasaan ayahnya Asrun yang sebelumnya menjabat Wali Kota Kendari. Sebelum menjadi kepala daerah, Adriatma lebih dulu berkarier sebagai anggota DPRD Kendari.
Wakil Ketua KPK Laode M Syarif di Gedung KPK Jakarta, Senin (9/12/2019), kembali mengingatkan sejumlah hal yang perlu dicermati dalam memilih, terlebih lagi jelang Pilkada 2020. Menurut Syarif, masyarakat cukup memahami penyebab utama pelaku korupsi adalah bobroknya mental, serakah, hingga ingin membangun dinasti politik.
Namun ada kendala lain yang membuat pada akhirnya pemilih menjatuhkan pilihan pada sebagian sosok yang diduga bermasalah dan memiliki afiliasai kekerabatan dengan pimpinan sebelumnya karena tak memiliki pembanding atau termakan politik uang. Hal ini pula yang kemudian berdampak pada terpilihnya kembali mantan napi korupsi sebagai kepala daerah.
Aturan tentang mantan napi korupsi tak dapat dipilih kembali yang semestinya dicantumkan pada PKPU untuk Pilkada 2020 pun tak lagi ada. “Itu jelas kemunduran. Kali ini, saya sangat meminta pada parpol pada akhirnya. Masa mau mencalonkan lagi mantan napi atau calon bermasalah. Kalau memang bermasalah, mungkin KPU harus mengumumkan rekam jejak masing-masing orang di website atau TPS,” kata Syarif.
"Itu jelas kemunduran. Kali ini, saya sangat meminta pada parpol pada akhirnya. Masa mau mencalonkan lagi mantan napi atau calon bermasalah. Kalau memang bermasalah, mungkin KPU harus mengumumkan rekam jejak masing-masing orang di website atau TPS”
Di sisi lain, lemahnya sistem pencegahan dan pengawasan di daerah juga menjadi celah lain. KPK telah berkeliling ke berbagai daerah untuk membantu membangun sistem elektronik untuk penganggaran, perencanaan, hingga pengadaan. Namun meski telah dibangun sistem tersebut, masih ada celah yang dapat ditembus oleh para penyelenggara negara melalui pembahasan langsung antar pihak bersangkutan.
Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin juga menegaskan, pencegahan perlu dikedepankan tapi tidak cukup hanya dari para penegak hukum. Semua elemen dan instansi harus memperkuat pencegahan dan tidak menjadikannya sebagai formalitas saja. Umumnya, para pejabat daerah merasa cukup hanya dengan penandatanganan nota kesepahaman lewat acara seremonial tapi tidak ditindaklanjuti dengan implementasi. “Ini yang nanti kami juga akan perkuat nanti lewat kejaksaan yang ada di daerah,” ujar Sanitiar.
Kompleksitas korupsi
Pengajar hukum pidana Universitas Parahyangan Agustinus Pohan saat dihubungi Senin (9/12/2019) mengatakan, kompleksitas persoalan korupsi tidak bisa dipisahkan dari sejumlah faktor yang saling berkelindan. Mulai dari masalah karakter moral atau mental penyelenggara negara yang menormalkan perilaku korupsi, persoalan sistem yang memunculkan celah untuk korupsi, sampai penegakan hukum yang lemah.
Meski demikian, ia melihat, persoalan paling mendasar adalah banalitas korupsi itu sendiri. Ketika korupsi tidak lagi dilihat sebagai kejahatan luar biasa, melainkan hal yang wajar, sistem yang dibangun pun ikut lemah. Pejabat pun tidak lagi berpikir panjang sebelum melakukan praktik korupsi. Seiring dengan itu, penegakan hukum pun melemah karena korupsi tidak lagi dilihat sebagai kejahatan luar biasa.
Hal itu menjadi paradoks dari upaya pemberantasan korupsi yang semakin masif tetapi justru semakin menormalkan perilaku korupsi.
“Selama ini kita menerima begitu saja perilaku koruptif. Kalau tidak memberi tip pada pegawai negeri untuk mengurus sesuatu, dianggap tidak biasa. Korupsi seolah diterima sebagai bagian dari kehidupan," kata Agustinus.
“Selama ini kita menerima begitu saja perilaku koruptif. Kalau tidak memberi tip pada pegawai negeri untuk mengurus sesuatu, dianggap tidak biasa. Korupsi seolah diterima sebagai bagian dari kehidupan"
Untuk mengubah pandangan itu, seharusnya penegakan hukum dipertegas agar efek jera bisa dicapai. Namun, realitas sekarang menunjukkan sebaliknya. Pembahasan sejumlah rancangan legislasi oleh DPR dan Pemerintah belakangan ini menunjukkan langkah mundur.
Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang saat ini sudah berlaku justru melemahkan beberapa kewenangan penindakan lembaga antirasuah itu. Melalui pembahasan Rancangan KUHP, ancaman hukuman bagi terpidana korupsi juga diperingan. Terpidana korupsi juga lebih mudah mendapat grasi dengan pertimbangan hak asasi manusia.
Cara lain, menurut Agustinus, pendidikan antikorupsi perlu ditanamkan sejak dini di sekolah untuk mengubah pandangan mengakar yang semakin menormalisasi korupsi. Itu karena perilaku korup dalam bentuk sederhana sudah ditemukan di berbagai lini, termasuk di lingkup keluarga dan sekolah.
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.