Sebagian besar kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah terkait dengan pelayanan publik, seperti infrastruktur, kesehatan, dan pendidikan. Jika acuh tak acuh, masyarakat terus dirugikan.
JAKARTA, KOMPAS —Berkaca dari kasus-kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah di Indonesia, masyarakat harus berhati-hati menggunakan hak pilihnya pada pilkada serentak 2020 yang melibatkan 270 daerah. Ini karena sebagian besar korupsi yang melibatkan kepala daerah mengancam hak-hak masyarakat untuk mendapatkan pelayanan dasar.
Korupsi kepala daerah yang terus terjadi juga dapat menjadi justifikasi untuk mengembalikan proses pemilihan kepala daerah ke DPRD. Alasannya, pemilihan langsung yang berbiaya tinggi berpotensi membuka peluang korupsi. Wacana ini telah bergulir kembali beberapa minggu terakhir ini, padahal sebagian kepala daerah hasil pemilihan DPRD juga terlibat korupsi.
Hasil analisis Litbang Kompas sepanjang pekan lalu terhadap 139 perkara korupsi yang melibatkan 121 kepala daerah yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan setidaknya 57,6 persen kasus korupsi kepala daerah itu terkait hak publik secara langsung. Kasus itu terkait penyalahgunaan anggaran daerah dan suap terkait infrastruktur, seperti jalan, jembatan, dan sekolah. Selain itu, mencakup anggaran kesehatan.
Beberapa kasus mencolok terjadi di Jombang, Jawa Timur. Mantan Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko pada 2018 ditangkap KPK karena korupsi terkait dana kapitasi BPJS Kesehatan. Kemudian, mantan Bupati Boven Digoel, Papua, Yusak Waluwo, menyalahgunakan dana otonomi khusus untuk pembangunan daerah.
Sementara itu, dari 16 kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah, yang ditangani Kepolisian Negara RI, selama 2014-2018, semuanya terkait sektor pelayanan publik. ”Pembangunan infrastruktur dan perbaikan pelayanan publik merupakan kebutuhan mendasar bagi masyarakat. Tentu sangat disayangkan hal ini terus berulang, padahal upaya pencegahan sudah dilakukan,” kata Ketua KPK Agus Rahardjo, akhir pekan lalu di Jakarta.
Berkaca dari data, sektor infrastruktur termasuk yang paling banyak dikorupsi kepala daerah. Pembangunan daerah pun terhambat karena terkendala infrastruktur yang pengerjaannya tak optimal, seperti jalan atau jembatan rusak.
Rimawan Pradiptyo, pengajar Fakultas Ekonomi Bisnis UGM, mengingatkan, masyarakat tak hanya terdampak dari hasil pembangunan yang tak optimal atau pelayanan publik yang tak memadai. Masyarakat pun turut menanggung beban dari dana yang telah dikorupsi penyelenggara negara, termasuk kepala daerah.
Berdasarkan data kajian FEB UGM, kerugian negara akibat korupsi sampai 2001-2015 mencapai Rp 203,9 triliun. Sementara total hukuman finansial kepada para koruptor hanya Rp 21,26 triliun atau sekitar 10 persennya.
Menurut Rimawan, selisih kerugian ini membebani masyarakat. ”Sama saja masyarakat menyubsidi koruptor selama ini,” kata Rimawan. Sementara itu, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin menuturkan, perkara korupsi yang ditangani Kejaksaan Agung didominasi kasus korupsi yang juga menyasar optimalisasi pelayanan publik.
Korupsi di Indonesia, katanya lagi, tak dapat dilepaskan dari sektor pelayanan publik karena dilakukan penyelenggara negara yang bertanggung jawab terhadap upaya pembangunan dan perbaikan pelayanan publik. Proyek pembangunan yang kemudian jadi sasaran empuk, tak terkecuali oleh penegak hukum, yang memanfaatkan keadaan. ”Ini semakin merugikan ke depannya, saat penegak hukum juga ikut serta,” katanya.
Kembali terpilih
Dalam beberapa kasus, calon kepala daerah yang pernah jadi terpidana korupsi bisa kembali terpilih. Bupati Kudus, Jawa Tengah, Muhammad Tamzil, misalnya, divonis atas korupsi dana bantuan sarana dan prasarana pendidikan Kabupaten Kudus pada 2004. Tamzil bebas pada 2015 dan mencalonkan diri sebagai Bupati Kudus di Pilkada 2018. Setelah ia terpilih kembali, Tamzil tersandung kasus korupsi.
Contoh serupa ditemukan pada kasus Bupati Hulu Sungai Tengah non-aktif Abdul Latif yang divonis penjara enam tahun karena menerima suap proyek fasilitas kesehatan di Hulu Sungai Tengah. Sebelumnya, saat menjabat anggota DPRD Kalimantan Selatan, Abdul Latif pernah ditahan karena kasus korupsi pembangunan sekolah baru pada 2005-2006. Dia mencalonkan diri di Pilkada 2015 dan terpilih menjadi Bupati Hulu Sungai Tengah. Ia kemudian ditahan KPK tahun 2018 karena kasus korupsi.
Terkait hal itu, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini mendorong penyelenggara pemilu menyediakan informasi yang memadai termasuk soal kasus hukum terkait calon kepala daerah berstatus bekas terpidana. ”Jadi, para pemilih sadar betul bahwa akan ada konsekuensi setiap pilihan atas calon yang dia pilih di bilik suara,” katanya.
Peneliti Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Moch Nurhasim menuturkan, publik menjadi garda terakhir, terutama di tengah buruknya sistem pencalonan kepala daerah, perilaku korup elite dan partai politik, serta ketidakberdayaan penyelenggara pemilu mencegah bekas terpidana korupsi kembali mencalonkan diri.
”Perilaku masyarakat yang permisif dan acuh tak acuh pada akhirnya merugikan karena berujung pada terenggutnya hak-hak publik. Publik harus lebih bijak menggunakan hak suaranya untuk menghasilkan pemimpin yang baik di antara calon-calon yang buruk,” kata Nurhasim. (AGE/SAN/IAN/NIA)