Membanyolkan Abon Sripah dan Pupuk Organik Jenazah Koruptor
›
Membanyolkan Abon Sripah dan...
Iklan
Membanyolkan Abon Sripah dan Pupuk Organik Jenazah Koruptor
Teater Gandrik memanggungkan kegelisahan terhadap korupsi dengan memakai unsur futuristik saat mementasakan Para Pensiunan 2049 di Surabaya, Jawa Timur. Koruptor tak boleh dikubur tetapi dijadikan abon dan pupuk.
Oleh
AMBROSIUS HARTO
·5 menit baca
Di suatu negeri pada 2049 diterbitkan Undang-Undang Pemberantasan Pelaku Korupsi (Pelakor) dan Surat Keterangan Kematian Baik-baik (SKKB). Jenazah terpidana rasuah dilarang untuk dikebumikan. Bahkan, daging jasadnya harus dicacah, dikeringkan, dan menjadi abon sripah untuk pakan ternak. Tulang belulang ditumbuk untuk penyubur nabati alias pupuk organik jenazah koruptor atau punikjetor.
Sadis? Entahlah. Namun, toh dari suatu cara pandang, jenazah koruptor yang menjadi abon sripah dan punikjetor bermanfaat bagi masyarakat. Jadi, di negeri itu, jika ingin tenang di alam baka dengan layanan para bidadari nirwana, hiduplah jujur alias jangan korupsi.
Jika menyelewengkan dana negara, harus amat lihai menutupinya. Jangan sampai ketahuan. Pastikan tiada rekam jejak hidup tersangkut rasuah oleh Komisi Pertimbangan Kematian (KPK) yang merupakan lembaga penerbit SKKB.
Baca juga: Manfaat Jasad Koruptor ala Teater Gandrik
Secuil kronik tadi merupakan penggalan lakon Para Pensiunan 2049 yang dipentaskan oleh Teater Gandrik di Ciputra Hall, Surabaya, Jawa Timur, dua malam lalu, yakni Jumat (6/12) dan Sabtu (7/12). Mereka mementaskan hasil penggubahan atas naskah Para Pensiunan (1986) karya alm Heru Kesawamurti yang notabene pegiat Teater Gandrik.
Surabaya menjadi kota ketiga pementasan karya yang ditulis ulang oleh Agus Noor dan Susilo Nugroho (Den Baguse Ngarso). Pada April 2019, Teater Gandrik mementaskan lakon ini di Yogyakarta dan Jakarta.
Parikena
Teater yang berdiri sejak 12 September 1983 ini dikenal sebagai komunitas pengembang estetika sampakan. Mereka mempertahankan gaya ”guyon parikena” atau menyindir secara halus agar tidak membuat marah penguasa. Kelakar manifestasi kehidupan rakyat kecil Jawa ini seolah-olah mengejek diri sendiri meski sasaran sejati adalah rezim atau penguasa.
Mereka mempertahankan gaya ”guyon parikena” atau menyindir secara halus agar tidak membuat marah penguasa.
Di negeri itu, bekas penguasa lebih dari tiga dasawarsa, Doorstoot (Butet Kertaredjasa) berpulang. Keluarga dan pengikut ingin agar jenazah sang tokoh yang semasa hidup selalu tersenyum meski sedang menumpas lawan-lawan, dikebumikan. Namun, mereka berhadapan dengan Kerkop (Susilo Nugroho), administratur pemakaman yang tengil dan amat kaku terhadap aturan. Jenazah Doorstoot belum bisa dimakamkan sebab tidak berbekal SKKB.
Arwah Doorstoot gentayangan dan gelisah mencari KPK untuk mendapat SKKB. Ia merasakan sendiri ungkapan ”piye kabare? enak’an jamanku toh?” yang cukup banyak menghiasi truk, bus, dan angkutan kota. Sang sukma juga iri karena ada penguasa yang ketika mangkat begitu mendapat cinta publik. Makam mendiang penguasa yang dimaksud tak pernah sepi dari peziarah bahkan mencipratkan rezeki ekonomi. Beda dengan suatu kubur megah di puncak bukit yang sepi.
Ada sosok Jacko (Sepnu Heryanto), penguasa saat ini, yang mencanangkan revolusi mental dan kerja kerja kerja yang bagi para penyinyirnya sekadar pencitraan. Ada Stroke, salah satu anak emas Doorstoot. Stroke kalah dari Jacko dalam kontestasi politik terkini.
Selain itu, juga ada Vonis (Feri Ludiyanto), bekas lawan politik Doorstoot yang juga dikenal sebagai si penazar jalan kaki, tetapi tak jadi-jadi. Vonis kaget karena Stroke, sahabat karibnya, teryata mau digandeng oleh Jacko, bahkan menjadi salah satu pembantu utama penguasa. Vonis masih memendam ambisi ingin menjungkalkan Jacko seperti di masa lalu menyerang Doorstoot.
Yang sering membaca berita dan sejarah bisa diyakini akan paham personifikasi nama-nama tokoh dalam pementasan. Selama pementasan berdurasi lebih kurang 2 jam 30 menit, penonton yang mengerti maksud dagelan itu jelas terpingkal-pingkal sekaligus mengumpat sebagai tanda apresiasi positif kehebatan Teater Gandrik dalam menyelipkan kritik secara parikena.
Futuristik
Untuk diketahui, dalam pementasan di Yogyakarta dan Jakarta, budayawan Djaduk Ferianto yang juga adinda dari Butet Kertaredjasa didapuk sebagai sutradara. Pergelaran di bekas kapital negara (Yogyakarta) dan Ibu Kota (Jakarta) itu dianggap sukses.
Kalangan budayawan Surabaya kemudian ingin agar ”Para Pensiunan 2049” dipanggungkan juga di ”Kota Pahlawan”. Namun, telah kita ketahui, mendekati waktu pementasan, Djaduk berpulang meski kemudian acara tetap berlanjut dan bisa dibilang berhasil memuaskan penonton.
Dalam buku pengantar, sebelum wafat, Djaduk menulis struktur pemanggungan ”Para Pensiunan 2049” mengadaptasi alur pewayangan demi melestarikan spirit Teater Gandrik yang berangkat dari seni tradisi. Untuk itu, dalam pementasan, ada pemaparan, konflik, goro-goro, dan epilog. Para pemain menghadirkan peristiwa di panggung yang tak linier alias dinamis.
Baca juga: Gandrik dan Konteks Sosial
Masih menurut Djaduk yang bersama Noor, Nugroho, dan Butet sebagai tim kreatif, melalui pembacaan seluruh pemain akhirnya terarahkan untuk membuat lompatan peristiwa ke suatu tempat tak bernama di masa depan. Futuristik memberi ruang kreativitas, jalan tengah, sekaligus mampu mencerminkan fakta yang pernah terjadi.
Namun, sebagai sutradara, Djaduk tak ingin terjebak dalam masa depan yang kerobot-robotan, tetapi malah diwujudkan dalam kostum lintas kultural dan waktu yang disebutnya bergaya Mesir, Perancis, India, Arab, dan Nusantara.
Sudah diketahui, sering diberitakan, di negeri ini, kian rutin terjadi operasi tangkap tangan terhadap pelaku korupsi. Namun, yang tertangkap ya masih tersenyum alias cengar-cengir, seolah-olah tindakannya benar. Di sisi lain, atas nama keyakinan, kita disajikan fakta ada penolakan penguburan jenazah yang berorientasi politik atau agama berbeda. Tokoh-tokoh yang mencederai nilai-nilai kemanusiaan anehnya malah ditabalkan, dielu-elukan sebagai ”pahlawan”, bahkan utusan Tuhan.
Bagi Gandrik, kondisi ini sudah edan. Dalam hal korupsi, perbuatan pidana ini sudah membudaya. Jika tidak korupsi, ya tidak enak. Rasuah ibarat penyedap rasa dalam masakan. Tidak korupsi ya tidak enak, tidak lezat. Edan, kan? Untuk itu, Gandrik mengajak tamasya ke masa depan, tiga dasawarsa dari sekarang, di suatu negeri yang memiliki ”KPK penerbit SKKB”. Namun, bukan KPK dan SKKB yang di negeri ini lho ya.
Kalau boleh dipahami dari suatu sudut pandang, Gandrik seolah menghadirkan simulakra atau hiper-realitas atas kondisi saat ini. Mereka menghadirkan ”realitas” dalam panggung bertema masa depan yang bukan robot-robotan. Namun, ”kenyataan” yang dihadirkan dalam bungkus guyonan parikena itu mungkin saja lebih dipercaya oleh kalangan penonton sebagai realitas. Edan? Mungkin juga.
Rasuah ibarat penyedap rasa dalam masakan. Tidak korupsi ya tidak enak, tidak lezat. Edan, kan?
Yang terang, berat tidaknya materi yang dipentaskan oleh Gandrik bergantung pada bekal pengetahuan penonton tentang perjalanan bangsa dan negara ini. Bagi penulis, ”Para Pensiunan 2049” merupakan sajian ”sarat gizi” alias kaya nutrisi bagi pengayaan pemikiran dan sudut pandang terhadap korupsi. Mungkin saja di masa depan, negeri ini memang memerlukan suatu kebijakan berupa ”KPK penerbit SKKB” seperti dipentaskan oleh Gandrik.
Boleh saja dong berandai-andai, negeri ini bersih dari rasuah ketika merayakan seabad proklamasi kemerdekaan. Sebelum berpikir dipidanakan, masak sih tidak boleh berangan-angan, di masa depan, penyelenggara negeri ini mengambil jalan ekstrem dalam pemberantasan korupsi; menjadikan jasad koruptor sebagai abon sripah dan punikjetor.