Subsidi untuk elpiji dan bahan bakar minyak terus membengkak. Tahun depan, alokasi subsidi Rp 100,7 triliun. Sejauh ini upaya pengendalian subsidi belum jelas. Rencana subsidi tertutup belum juga disepakati.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Nasib pengendalian subsidi elpiji 3 kilogram tak kunjung jelas. Desakan Komisi VII DPR agar penjualan elpiji bersubsidi tersebut dilakukan secara tertutup belum membuahkan hasil.
Setiap tahun, kuota elpiji bersubsidi terus naik dan biaya impornya mencapai puluhan triliun rupiah.
Subsidi elpiji dan bahan bakar minyak (BBM) sejak 2016 terus naik. Nilai subsidi pada 2016 sebesar Rp 43,7 triliun, dan menjadi Rp 47 triliun pada 2017. Pada 2018, subsidi membengkak menjadi Rp 97 triliun dan untuk tahun ini target subsidi BBM dan elpiji mencapai Rp 100,7 triliun.
”Harus ada komitmen kuat dari pemerintah untuk mengendalikan subsidi elpiji. Selama ada dua harga untuk satu komoditas, selama itu pula rawan penyelewengan,” kata Ketua Dewan Pembina Indonesian Energy and Environmental Institute Satya Widya Yudha saat dihubungi di Jakarta, Minggu (8/12/2019).
Satya menengarai, akibat model distribusi terbuka elpiji 3 kilogram yang disubsidi negara, praktik pengoplosan gas terus terjadi. Distribusi terbuka memungkinan siapa saja, baik masyarakat kaya maupun miskin, untuk membeli elpiji 3 kilogram di pasaran. Distribusi tertutup adalah hanya masyarakat penerima subsidi yang berhak membeli elpiji 3 kilogram dengan harga subsidi.
”Pemerintah sebaiknya menerapkan subsidi langsung, seperti halnya subsidi listrik. Semua bergantung pada komitmen pemerintah itu sendiri,” ujar Satya.
Pekan lalu, dalam rapat dengar pendapat di Komisi VII DPR, Wakil Ketua Komisi VII Gus Irawan Pasaribu dari Partai Gerindra mendesak pemerintah melaksanakan kesepakatan yang sudah dibuat dengan DPR. Kesepakatan itu mengenai penerapan distribusi tertutup pada elpiji 3 kilogram. Model ini menggunakan kartu beridentitas tertentu sehingga hanya pemegang kartu yang berhak membeli elpiji bersubsidi.
”Dalam rapat dengan Kementerian ESDM beberapa tahun lalu sudah ada kesepakatan untuk melaksanakan model distribusi tertutup. Padahal, sudah ada proyek percontohan penerapan distribusi tertutup ini. Bagaima kelanjutannya?” tanya Gus Irawan.
Menanggapi hal tersebut, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Djoko Siswanto mengakui, hasil evaluasi proyek percontohan distribusi tertutup belum diumumkan kepada publik. Proyek percontohan tersebut dilaksanakan di Kota Tarakan, Kalimantan Utara. Penjelasan mengenai penerapan distribusi tertutup pun kurang gamblang.
”Apakah Kementerian Keuangan sudah siap untuk menyalurkan subsidi langsung kepada masyarakat yang berhak menerima subsidi?” Djoko balik bertanya.
Sebelumnya, pada April 2017, Kementerian ESDM menandatangani nota kesepahaman dengan Bank Indonesia. Dalam nota kesepahaman itu, kedua pihak menyepakati perluasan kerja sama untuk meningkatkan akses keuangan. Salah satunya tentang penyaluran subsidi secara elektronik lewat Kartu Keluarga Sejahtera (KKS).
”Salah satu yang ingin dicapai adalah pengaturan penggunaan elpiji 3 kilogram. Subsidinya akan dimasukkan ke dalam kartu (KKS) sehingga distribusi elpiji 3 kilogram bisa tepat sasaran,” kata Menteri ESDM Ignasius Jonan ketika itu.
Separuh dari kebutuhan elpiji di Indonesia yang setiap tahunnya mencapai 7 juta ton diperoleh dari impor. Nilai impor elpiji Indonesia mencapai Rp 85 triliun per tahun. Nilai tersebut terdiri dari nilai impor oleh Pertamina sebesar Rp 35 triliun dan Rp 50 triliun dari anggaran negara. Pemerintah memiliki program konversi minyak tanah ke elpiji dan pembagian konventer untuk nelayan.