Kematian ternak babi akibat penyakit yang diduga demam babi Afrika (African swine fever/ASF) masih terus terjadi di 16 kabupaten di Sumatera Utara.
Oleh
NIKSON SINAGA
·4 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Kematian ternak babi akibat penyakit yang diduga demam babi Afrika (African swine fever/ASF) masih terus terjadi di 16 kabupaten di Sumatera Utara. Peternak belum mendapat informasi apa pun dari pemerintah tentang penyakit mematikan itu. Di sisi lain, perdagangan ternak sehat dan sakit masih berlangsung.
”Kami tidak tahu penyakit apa yang menyerang ternak babi ini. Selama 17 tahun beternak babi, baru kali ini kematian babi sebanyak ini. Sudah lebih dari 100 ternak babi saya mati sebulan ini,” kata Robinton Tambunan (40) di sentra peternakan babi di Desa Helvetia, Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, Senin (9/12/2019).
Di 16 kabupaten sentra peternakan di Sumut, kematian ternak babi diperkirakan mencapai 23.000 ekor dari 1,2 juta ekor populasi babi di Sumut. Penyakit yang disebabkan virus ASF itu hingga kini belum bisa diobati dan belum ada vaksinnya.
”Kami biasanya menjual 1.000 babi per bulan. Namun, saat ini yang terserap pasar hanya sekitar 200 ekor per bulan,” kata Sianturi.
Gejala awal penyakit itu, ternak tidak mau makan dan badannya demam. Dalam beberapa hari, ternak terkulai dan tidak mampu berdiri. Badan dan mata memerah. Beberapa ada yang pendarahan dari mulut dan dubur. ”Biasanya babi akan mati kurang dari tujuh hari sejak babi tidak mau makan,” kata Robinton.
Pantauan Kompas, wabah yang diduga ASF menyerang hampir semua kandang di sentra peternakan itu. Beberapa kandang kosong karena semua ternaknya mati. Namun, beberapa ternak babi masih dibawa ke luar sentra itu. Beberapa pengepul bahkan datang untuk mencari babi yang sakit karena harganya murah.
”Babi saya beratnya 80 kilogram saya jual Rp 100.000 karena sudah sakit. Padahal, dengan Rp 30.000 per kilogram, (harga) babi itu seharusnya Rp 2,4 juta,” kata Tiurma boru Sihotang (50), peternak babi di Helvetia.
Para peternak babi di Helvetia tidak mengetahui penyakit apa yang menyerang peternakan mereka. Mereka tidak mendapat penjelasan apa pun dari pemerintah atau penyuluh peternakan.
Para peternak tidak pernah mendengar istilah demam babi Afrika. Mereka berupaya mengobati ternaknya dengan mencampurkan amoxicillin atau parasetamol ke pakan babinya. Ada pula yang memberi bubur instan bayi dan ramuan tradisional China. ”Informasi apa pun yang kami dengar dari tetangga akan kami coba. Namun, tetap saja ternak kami mati,” kata Tiurma.
Sementara itu, peternakan skala besar yang menerapkan sistem biosecurity yang baik masih aman dari serangan ASF. Namun, penjualan mereka tidak berjalan karena konsumsi babi menurun drastis akibat isu virus ASF.
”Kami biasanya menjual 1.000 babi per bulan. Namun, saat ini yang terserap pasar hanya sekitar 200 ekor per bulan,” kata Manajer Farm PT Mabarindo Sumbul Multi Farm Bitua B Sianturi.
Pengumuman wabah penyakit ASF belum dilakukan karena sepenuhnya kewenangan Menteri Pertanian.
Sianturi mengatakan, kandang mereka yang berada di Kecamatan Sinembah Tanjung Muda Hilir, Deli Serdang, kini penuh ternak babi karena banyak ternak tidak terjual. Mereka berharap pemerintah menanggulangi wabah penyakit itu dan memberikan sosialisasi kepada masyarakat tentang penyakit ASF.
Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Sumut Azhar Harahap mengatakan, mereka masih terus memantau perkembangan wabah penyakit babi yang merebak di Sumut. Selain karena ASF, kematian babi juga disebabkan penyakit hog cholera. Penyakit ini bisa dicegah dengan vaksinasi.
Azhar mengatakan, mereka telah menyampaikan sosialisasi agar lalu lintas ternak babi dibatasi. ”Kementerian Pertanian pun telah membagikan disinfektan kepada sejumlah peternak,” katanya. Pengumuman wabah penyakit ASF belum dilakukan karena sepenuhnya kewenangan Menteri Pertanian.
Desakan deklarasi
Ketua Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) Muhammad Munawaroh mengatakan, melihat wabah ASF yang terus meluas di Sumut, Menteri Pertanian seharusnya mengumumkan wabah ASF, seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. ”Pengumuman itu sangat penting untuk memutus penyebaran virus ASF,” katanya.
Pengumuman wabah penyakit hewan seharusnya diikuti penutupan daerah tertular, pemberantasan penyakit, pengobatan hewan, pemusnahan hewan tertular, dan alokasi dana yang memadai. Pemerintah juga wajib memberi kompensasi atas ternak yang dimusnahkan.
Munawaroh mengatakan, pemerintah harus berhati-hati dengan serangan ASF di Sumut karena ternak dari Sumut dijual ke Jakarta dan sejumlah daerah lain. Pengumuman wabah dan penanganan yang tepat akan mencegah virus ASF menyebar ke sentra peternakan di daerah lain.
Secara terpisah, Ketua Gabungan Usaha Peternakan Babi (Gupbi) Provinsi Bali I Ketut Hari Suyasa menyatakan, Gupbi Bali mendesak Menteri Pertanian segera mendeklarasikan wabah demam babi Afrika untuk mencegah penularan penyakit itu ke sejumlah daerah, termasuk Bali. Pengumuman dari pemerintah itu dibutuhkan agar pemerintah daerah dan peternak babi di Bali ataupun daerah lain lebih waspada.
”Jangan sampai terlambat mengambil tindakan karena ribuan peternak babi menggantungkan nasibnya,” kata Suyasa.
Ia menambahkan, Gupbi Bali menaungi sekitar 3.000 peternak babi, mulai peternak tradisional yang memelihara kurang dari 10 babi hingga peternak babi berskala besar dengan jumlah ternak di atas 100 ekor.