Perubahan iklim menjadi ”kekuatan” yang memperburuk banyak tantangan kesehatan global. Pengurangan emisi berkelanjutan, juga adaptasi yang efektif, sangat diperlukan untuk mengurangi dampak yang terjadi.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·3 menit baca
Sekarang bukan lagi waktunya untuk janji-janji. Ini saatnya aksi untuk mencapai ambisi yang lebih tinggi mengatasi perubahan iklim global. Empat tahun setelah Kesepakatan Paris, negara-negara di dunia sudah sepantasnya berkaca diri, sudahkah mereka serius mengejar target yang telah mereka sepakati.
Pekan ini, ribuan perwakilan negara, akademisi, lembaga riset, lembaga donor, kelompok masyarakat sipil, wakil masyarakat adat, dan semua yang peduli terhadap perubahan iklim berkumpul di Madrid, Spanyol, dalam rangka Konferensi Para Pihak Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (COP-UNFCCC) Ke-25.
Jika dilihat lebih jauh, substansi dari perubahan iklim adalah isu kesehatan. Jurnal kesehatan, The Lancet, dan University of College London Institute for Global Health Commission tahun 2009 menyatakan, ”Perubahan iklim adalah ancaman kesehatan global terbesar di abad ke-21.” Dampak perubahan iklim pada kesehatan manusia dirasakan hari ini. Dampak itu terjadi secara langsung, seperti cuaca ekstrem, kelangkaan makanan dan air bersih, serta penyakit menular, ataupun secara tidak langsung, seperti melalui ketidakstabilan ekonomi, migrasi, dan memicu konflik.
Riset epidemiologis yang ketat oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahkan telah menunjukkan, kenaikan suhu yang relatif lebih hangat antara tahun 1970 dan 2004 berdampak pada kesehatan manusia. Diperkirakan, 140.000 kematian di dunia setiap tahun terkait perubahan iklim. Analisis terbaru malah memperlihatkan 400.000 kematian secara global berhubungan dengan perubahan iklim pada 2010.
Dalam hal ini, perubahan iklim menjadi ”kekuatan” yang memperburuk banyak tantangan kesehatan global. Pengurangan emisi berkelanjutan, juga adaptasi yang efektif, sangat diperlukan untuk mengurangi dampak yang terjadi.
Survei yang dilakukan WHO tahun 2018 terhadap 101 negara memperlihatkan, melindungi kesehatan masyarakat dari dampak perubahan iklim saat ini sangat mendesak dibandingkan dengan sebelumnya. Namun, mayoritas negara yang disurvei tak serius menjalankan rencana mereka untuk melindungi warganya dari dampak perubahan iklim.
Sebanyak 48 persen negara yang disurvei telah melakukan penilaian risiko akibat perubahan iklim bagi kesehatan masyarakat. Risiko paling umum yang teridentifikasi adalah serangan cuaca panas, cedera, atau kematian akibat cuaca ekstrem, dan penyakit yang ditularkan melalui makanan, air, dan vektor, seperti kolera, demam dengue, dan malaria.
Meski demikian, sekitar 60 persen dari negara-negara tersebut melaporkan bahwa temuan risiko itu tidak lantas menggerakkan pemerintah untuk mengalokasikan anggaran dan sumber dayanya bagi program adaptasi kesehatan. Isu kesehatan belum menjadi arus utama dalam pembahasan soal perubahan iklim.
Memang benar, negara-negara di dunia makin memprioritaskan perubahan iklim dan kesehatan dalam agenda pembangunan mereka. Sebagian negara yang disurvei bahkan memiliki rencana aksi nasional kesehatan dan perubahan iklim. Namun, hanya 38 persen yang memiliki sumber pendanaan untuk membiayai separuh rencana aksi nasional mereka dan kurang dari 10 persen yang menyalurkan sumber dayanya untuk mencapai rencana aksi itu.
Komunitas kesehatan global dalam Pertemuan Puncak Kesehatan dan Iklim Global di sela-sela COP-UNFCCC Ke-25 mendesak pemerintah yang hadir dalam negosiasi COP-UNFCCC untuk mengubah kata-kata menjadi aksi dan mulai menerapkan langkah-langkah memasukkan kesehatan ke dalam agenda COP. Profesi kesehatan menekankan bahwa dunia harus membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat celsius jika kita serius melindungi ”hak kesehatan”.
Apabila dunia gagal membatasi kenaikan suhu di bawah 2 derajat celsius dan gagal menekan emisi, akibatnya adalah merebaknya gangguan kesehatan akibat penyakit infeksi, polusi udara yang kian buruk, naiknya suhu, dan malnutrisi. Lalu, masihkah kita tidak peduli?